Waktu berjalan begitu cepat. Semua berubah, Arya berubah, dan aku pun sama. Ini tahun ketiga semenjak aku mengenalnya kala itu. Hanya satu yang sama sekali tak berubah ... perasaanku. Perasaanku masih sama. Masih berada di tempat yang sama.
Aku tak pernah tahu bahwa menahan rindu seperti ini, rasanya bisa sungguh menyakitkan. Seolah ada yang membuat napasmu terasa sesak sampai terasa ingin menangis.
Aku rindu semua tentangnya. Rindu perhatiannya. Rindu ocehannya yang terdengar di telepon saat ia tahu aku pulang terlalu sore.
Maka, karena rindu itu, di sinilah aku berada, duduk di pinggir lapangan bagian luar. Aku memang sudah lulus setahun lalu dan kondisi sekolah belum banyak berubah. Lapangan luar masih sama. Di siang seperti ini, masih ada beberapa siswa yang sibuk bermain bola, tak peduli dengan teriknya matahari yang membuat mereka berkeringat.
Dulu aku sering duduk di sini untuk melihatnya bermain bola bersama Bang Dika. Dan aku merindukan momen seperti itu. Benar, tempat yang menyimpan kenangan tentangnya memang tak berubah. Tapi dia yang berubah. Dia yang pergi dan tak kembali lagi.
"Hai, Kak."
Aku tersenyum tipis saat mengenali satu sosok dengan rambut berantakan, menyapaku dan mengambil duduk persis di sebelahku. Aku mengenal wajah itu. Wajah yang begitu mirip dengan Arya.
Dengan keringat yang mengucur di pelipisnya, dia memandangiku lekat. "Kakak ngapain di sini?"
Aku tersenyum lagi seraya mengalihkan pandangan ke arah tengah lapangan. Betapa tempat ini menyimpan begitu banyak kenangan. "Enggak. Kakak kangen aja."
Aku mendengar ia menghela napasnya dengan keras. "Kakak kangen Bang Arya?"
Aku tersenyum masam. Anggara memang tahu tentang perasaanku pada Arya. Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. "Dia pergi dua tahun lalu, Ngga. Bahkan Kakak enggak dikasih kesempatan buat jelasin semuanya."
Aku masih mengingat semuanya. Seberapa lama aku menangis waktu itu saat dia pergi bahkan tanpa sempat aku menjelaskan apa pun saat itu. Waktu berlalu dari hari ke hari. Aku semakin tak mampu untuk menahan kesedihanku. Dia pergi tanpa mau menoleh lagi. Dia pergi meninggalkanku yang setahun kemudian kembali ke tempat yang sama hanya untuk menunggunya kembali. Dia pergi meninggalkan rindu yang pekat. Aku bisa memandanginya tanpa bisa menyapanya lagi. Semua ... semua terasa menyakitkan.
*****
Pertengahan 2006, saat semua masih baik-baik saja
"Bang, mie ayamnya dua ya," ujarku pada Bang Pendi, penjual mie ayam gerobak yang setiap siang mangkal di luar gerbang sekolah.
Setelah mendapat satu anggukan dan acungan jempol dari Bang Pendi, aku berjalan menuju dudukan semen di bawah pohon rindang. Keringatku belum sepenuhnya kering setelah latihan Paskibra tadi. Aku butuh tempat berteduh saat ini.
"Kamu dijemput jam berapa, Nik?" Nanda bertanya padaku seraya menguncir rambutnya menjadi satu. Wajahnya yang benar-benar putih sudah berubah menjadi kemerahan karena terlalu lama berdiri di panas matahari saat kami latihan selama dua jam tadi.
Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kananku. "Jam empat, Nand."
Nanda mengangguk. "Oke deh, sama."
Di sampingku, aku melihat Nanda mengeluarkan satu note kecil dari dalam tasnya. Ia membalik lembarannya sampai berhenti di satu halaman.
"Kamu udah siap buat diklat penempuhan lencana besok, Nik?"
Ah iya, Sabtu besok kami harus menginap di sekolah selama dua hari untuk penempuhan lencana putih. Jika ingin naik tingkatan di Paskibra, kami harus mengikuti penempuhan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan yang Hilang
Short StorySampai waktu berjalan, aku selalu berharap bahwa kau akan kembali. Tapi dengan pengharapan yang makin besar pula, aku ditampar sekeras mungkin oleh kenyataan bahwa kau takkan kembali. Kau takkan mengucapkan 'Halo' lagi seperti saat kita pertama kali...