12. Tak Sanggup

7.7K 870 69
                                    

Pikiranku rasanya masih melayang jauh di atas kepala. Bahkan aku masih termenung di tepian tempat tidurku tanpa tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku memejamkan mataku perlahan seraya menyentuh puncak kepalaku. Sentuhan tangan Arya saat berpamitan tadi masih terasa di sana, hangat. Sementara dia tadi bisa tersenyum teduh, aku tak bisa melakukan hal yang sama. Kedua sudut bibirku terasa kaku. Buat apa aku memaksakan senyum jika aku kesulitan menahan tangis?

Saat tiba-tiba layar ponselku berkedip menampilkan nama Arya di sana, aku bahkan tak bisa tersenyum seperti biasa. Semuanya berbalik begitu saja. Senyum bahagiaku kini diganti oleh tangisan yang tertahan.

"Nik?"

Aku hanya mampu memejamkan mataku saat mendengarnya bersuara.

"Mm-hm," gumamku pelan. Aku tak mampu bersuara karena air mataku mulai berjatuhan perlahan.

"Lagi ngapain?"

Aku tersenyum miris di antara tangis. Lagi nangis, Kak. "Ini kan lagi nelpon." Aku berusaha terkekeh meski terdengar hambar di telingaku sendiri.

"Nik?"

Aku mendengar keraguan di suara Arya.

"Mm-hm," sahutku sebelum aku menarik napas dalam-dalam. Dadaku terasa sakit. Tangisku memberontak ingin ditumpahkan seluruhnya. Tapi aku tak bisa. Aku tak ingin dia mendengarku tergugu. Bahkan aku harus menggigit ujung bantalku agar suara tangisku bisa tersamarkan.

"You okay?"

Senyumku mengembang tipis. Dia menepati janjinya, tak mengurangi perhatiannya sedikit pun.

Aku berdehem sebentar. Berharap sakit di tenggorokanku bisa hilang. Ah, kenapa menahan isakan rasanya bisa menyakitkan seperti ini?

"Apa Niki harus merasa enggak baik-baik aja, Kak?"

Aku mendengar ia menghela napasnya. "Kakak enggak masalah sama perasaanmu, Nik. Kakak enggak akan berubah. Semua akan tetap sama. Tapi—"

Aku mengutuk isakanku yang lolos tanpa bisa aku tahan lagi.

"Jangan nangis, Nik."

Air mataku semakin menderas. Jangan ..., jangan buat Niki enggak bisa lepas seperti ini, Kak, batinku seraya menggeleng pelan. Kali ini perhatiannya terasa membunuhku perlahan.

Aku berdehem lagi. "Niki lagi cegukan, Kak. Bukan lagi nangis."

Lagi-lagi aku mendengar Arya menghela napasnya dengan keras. "Semua akan tetap sama. Tapi kamu juga jangan berubah, Nik," lanjutnya.

Aku hanya diam. Tak ingin menjanjikan apa pun padanya.

"Selamat malam, Nik," tutupnya setelah ada jeda panjang di antara kami.

Aku masih bergeming. Ponselku kugenggam erat. Aku memang menyayanginya. Tapi tak seperti ini caranya. Dia menjanjikan sesuatu yang membuatku ingin memercayainya. Sekali saja. Cukup dengan satu kali, aku ingin berharap lagi.

*****

Tetep kayak gini aja ya, Nik.

Lagi-lagi aku menghela napas panjang saat suara Arya terus bergema di dalam kepalaku. Semalam setelah kami selesai bicara, Arya menepati janjinya: dia tak berubah sama sekali. Dia tetap memperlakukanku dengan baik. Tapi semua yang ia lakukan justru semakin membuatku sakit. Seolah dia yang kita cintai sedang merentangkan tangannya untuk menyambut kita, tapi kita tak pernah bisa memeluknya karena ada satu batas tak kasat mata. Dan batas itu adalah ... kekasihnya.

Kakak punya Nadia.

Kali ini aku memejamkan mataku rapat-rapat. Ini sungguh menyakitkan. Aku lebih memilih dia menjauhiku daripada seperti ini. Dia tak bisa kumiliki tapi dia menawarkan yang lebih. Setidaknya jika dia menjauhiku karena perasaanku, aku memiliki satu alasan untuk membencinya. Tapi dia tak melakukannya. Dia terus menarikku. Menjagaku untuk terus berada dalam lingkaran.

"Hai, Nik."

Aku sedikit tersentak saat mendengar suara yang sepertinya sengaja membuyarkan lamunanku.

"Hai, Kak." Aku tersenyum kecut.

Gadis di sebelahku membalas senyumanku dengan begitu lebar. Tapi aku bisa melihat bahwa senyuman itu tak sampai ke ujung kedua matanya.

"Kamu sendirian?"

Aku mengangguk. Sedikit penasaran juga kenapa dia mendatangiku saat jam istirahat seperti ini dengan senyum lebarnya.

Nadia memandangiku lekat. "Kamu habis nangis, Nik?" tanyanya seraya memegang erat bahuku. "Kenapa? Ada masalah?"

Aku bisa mendengar nada simpatik dari suaranya. Aku hanya menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. Sebelum dia sempat mengeluarkan suara lagi dari bibirnya yang terbuka, aku mendahuluinya bicara, "kenapa Kak? Tumben Kak Nadia nemuin aku?"

Aku melihat senyum lebar di wajah Nadia. "Wah kamu peka juga ya, Nik."

Aku sempat bingung saat senyum lebar di wajahnya berganti dengan senyuman miring. Nadia mengangkat bahunya sekilas. Ia sempat menyedot minuman di gelas plastiknya sebelum menjawab pertanyaanku. "Kamu tau aja kalo aku ada maksud."

Aku hanya menghela napas pendek saat mendengar nada cerianya yang sedari tadi kudengar, kini berganti dengan nada kelewat datar tanpa ekspresi.

Kedua mata Nadia memandangku tajam. Aku sempat menangkap tatapan mencemoohnya meski hanya sekilas karena disamarkan dengan cepat oleh senyum lebarnya. "Kemarin habis pergi sama Arya?"

"Iy—"

"Jaga perasaanmu, Nik. Jangan main-main," ujarnya lambat seraya menepuk-nepuk bahuku pelan.

Dahiku berkerut dalam. "Maksudnya, Kak?"

Mendengar pertanyaanku, senyuman lebarnya seketika menghilang. Ia menatapku tajam. Keramahannya tadi benar-benar pergi entah kemana. Sentuhannya di bahuku semakin erat. "Kamu bisa mencintai Arya. Tapi kamu tahu bahwa kamu enggak pernah bisa memilikinya."

Aku hanya diam saat melihat sudut bibirnya sedikit naik. Bahkan aku mendengar ia mendengus pelan. Tatapan mencemoohnya yang sempat hilang kini kembali.

"Jangan coba macam-macam, Nik. Percuma kamu mau menangis se-lama apa pun, Arya akan tetap memilihku. Bukan kamu."

Deg

Jantungku rasanya seperti ditikam belati. Aku tahu kenyataan itu. Tapi saat mataku dipaksa terbuka lebar untuk menghadapinya, rasanya aku tak sanggup menerima. Kenapa selalu terasa menyakitkan jika kita harus menghadapi kenyataan yang tak ingin kita sadari?

Aku masih bergeming saat tiba-tiba Nadia berdiri seraya menepuk-nepuk bagian belakang roknya. Sebelum ia pergi, ia menyempatkan diri untuk menyentuh puncak kepalaku, menepuknya pelan. "Jaga diri baik-baik ya, Adik kecil," pesannya sembari tersenyum ramah.

Berkenalanlah dengan Nadia, Nik. Dia ingin mengenalmu.

Tiba-tiba permintaan Arya beberapa waktu lalu kembali terngiang di dalam telingaku. Aku memejamkan mataku seraya menggeleng pelan. Tidak bisa ..., aku tak bisa melakukannya. Melihat Nadia tadi, rasanya aku dan Nadia takkan bisa menjadi teman baik karena satu perasaan yang kali ini membuatku rapuh.

*****


a/n

maaf karena telat update ya. Baru pulang liburan, teman-teman xD


Kepingan yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang