Di tangan kananku ada sekaleng minuman bersoda yang baru saja kuteguk. Aku sedang tak ingin pulang cepat. Eung ... sebenarnya bukan karena tak ingin pulang cepat sih, tapi karena aku memang sengaja menunggu Anggara yang sedang bermain sepak bola di lapangan luar. Di sini lah aku menunggu—duduk di pinggir lapangan—berpayung pohon yang cukup teduh. Aku sengaja menunggu di sini sesuai pesan Arya kemarin, bahwa ia menitipkan jaketnya pada Anggara.
Tapi sedari tadi aku menunggu di sini, Anggara tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan menyudahi permainannya. Bahkan dia seolah tak merasa bahwa aku sedang menunggunya di sini. Sebenarnya aku merasa sedikit bodoh juga, kami kan belum berkenalan. Bagaimana kalau Anggara tak mengenali wajah si Niki yang akan meminjam jaket pada kakaknya? Menyadari itu, aku hanya berdecak pelan. Baiklah, aku memutuskan untuk menunggu Anggara sampai ia selesai.
Saat sedang meneguk minumanku untuk kedua kalinya, aku dikagetkan oleh sepasang tangan yang menutupi kedua mataku. Dahiku berkerut dalam. Sebelah tanganku yang bebas, meraba pergelangan tangan si penutup itu. Saat aku meraba pergelangannya dan menemukan arloji yang melingkar di sana, aku mendengar kikikan kecil tepat di sebelah telingaku.
"Siapa nih?" tanyaku penasaran.
Aku mendengar dia berdehem pelan. Rupanya dia sedang membuat siasat agar aku tertipu dengan suaranya.
"Coba tebak," bisiknya.
Berani sumpah, suaranya benar-benar membuatku merinding karena bisikannya yang terlalu dekat di telingaku.
"Siapa sih ih?" Aku mulai kesal karena benar-benar asing dengan suaranya.
Dia tertawa nyaring.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat mendengar suara tawanya. Tapi tak mungkin dia yang menjahiliku seperti ini.
Seraya meredam debaran jantungku yang mulai tak bisa dikendalikan, aku lagi-lagi berdecak. "Buka enggak nih, atau aku siram," ancamku.
Tanpa menunggu lama, kedua tangan itu berpindah pada kedua pipiku dan mencubitnya dengan gemas. Saat berusaha menyesuaikan cahaya yang ditangkap kedua mataku, aku melihatnya tersenyum lebar dari arah samping dengan posisi seperti sedang memelukku dari belakang.
"Hai, Adik kecil."
"Kakak ngapain di sini?" Aku benar-benar tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku saat ini.
"Mau kasih ini." Dia meletakkan sebuah tas kertas berwarna coklat di atas pangkuanku.
Aku membuka tas tersebut dan menemukan satu jaket berwarna hitam dengan wangi parfum yang menyeruak masuk ke dalam lubang hidungku. Ini parfum yang selalu ia gunakan. Aku mengetahuinya.
"Katanya mau dititipin Anggara?" tanyaku padanya yang saat ini sudah berpindah tepat di sampingku.
Ia mengedikkan bahu sebentar. "Enggak jadi. Lagian kangen sama kamu."
Jantungku semakin berdebar saat melihat Arya tersenyum hangat ke arahku. Bahkan aku tak bisa berkonsentrasi saat merasakan telapak tangannya yang terasa hangat itu sedang mengacak-acak rambutku yang hari ini kuurai. Aku bahkan hanya mampu merespon dengan tawa hambar karena terlalu kaget dengan perlakuannya. Ini kali pertama kami duduk sedekat ini.
"Kamu kok belum pulang?"
"Kan kemarin Kakak bilang kalo jaketnya dititipin ke Anggara, jadi aku tunggu." Aku melirik ke arahnya sebentar. "Taunya Kakak sendiri yang ngasih."
Ia tertawa pelan. Memerhatikannya sedekat ini, rasanya aku ingin menghentikan waktu sebentar. Mengabadikan tawanya dalam potret sederhana dalam pikiranku agar bisa sering kuputar saat aku rindu.
Lagi-lagi aku harus menahan napas saat merasakan ia merebahkan telapak tangannya di puncak kepalaku.
"Tapi seneng kan?"
Ditanya seperti itu, aku refleks membuang muka karena merasakan panas yang menjalar dengan cepat di pipiku.
Aku mendengar dia tertawa kencang. Tangannya saat ini berpindah merangkul bahuku. Ibu jarinya bergerak di wajahku. Memaksa agar aku kembali memandangnya.
"Coba liat gimana mukanya kalo malu."
Ah, aku bisa merasakan pipiku benar-benar bersemu saat ini.
"Kamu lucu banget sih, Nik," ujarnya gemas seraya mencubit pelan kedua pipiku.
"Kakak ih jangan godain mulu ah," gerutuku.
Ia tertawa lagi. "Rasanya enggak sia-sia aku kasih langsung jaketnya sekarang." Tangannya lagi-lagi bermain di kepalaku. Kali ini aku merasakan ia mengusapnya dengan lembut. "Ngeliat kamu rasanya capekku hilang."
Jika terus seperti ini, rasanya aku bisa jatuh tak sadarkan diri karena terlalu sering menahan napas secara mendadak. Aku ingin kebahagiaan ini benar-benar berlangsung lebih lama. Rasanya aku rela untuk jatuh lebih dalam lagi padanya.
*****
a/n
yey. dikit banget yaaa haha aku berniat buat naikin feel yang kemarin sempet turun. berhasil enggak? kalo enggak, baiklah aku bakal kumpulin feel lebih kuat lagi. maapkan yaaaak, teman-teman xD
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan yang Hilang
Short StorySampai waktu berjalan, aku selalu berharap bahwa kau akan kembali. Tapi dengan pengharapan yang makin besar pula, aku ditampar sekeras mungkin oleh kenyataan bahwa kau takkan kembali. Kau takkan mengucapkan 'Halo' lagi seperti saat kita pertama kali...