13. 2008 dan Kenangan (2)

8.3K 918 77
                                    

a/n

sebelum ada yang bingung, part ini lanjutan dari part 8, dengan judul yang sama: 2008 dan Kenangan. Dan jika ada dialog yang di-italic, itu berarti dialog yang ada di masa flashback yaa

*****

Sudah dua tahun berlalu semenjak terakhir kali Nadia menemuiku. Setelah peristiwa itu, Nadia tak lagi merasa repot untuk berbaik hati padaku. Setiap kali kami berpapasan di koridor kelas, kantin, atau di mana pun, dia hanya melengos tak acuh. Atau bahkan dia akan memandangku lekat dengan tatapan datar.

Jangan salahkan perasaanku. Jika saja bisa, aku juga ingin pergi dan menghindar sejauh-jauhnya dari Arya. Tapi yang Arya lakukan justru sebaliknya. Ia menahanku agar tak kemana-mana. Dua minggu setelah Nadia menemuiku, aku merasa tak tahan lagi. Aku menghindari Arya habis-habisan. Bahkan aku tak mengacuhkan pesan dan teleponnya.

Tapi di hari ketiga aku menghindarinya, dia tiba-tiba muncul di gerbang sekolah seraya memandangiku tajam. Saat itu aku hanya bisa pasrah. Aku tak mampu melangkah menghindarinya.

"Kenapa harus menghindar, Nik? Kamu udah janji sama Kakak buat enggak berubah juga."

"Niki enggak janjiin apa-apa sama Kakak."

"Waktu itu kamu cuma diem, Nik. Dan itu Kakak anggap sebagai jawaban 'iya' buat permintaan Kakak ke kamu."

Sejak percakapan itu, Arya semakin menarikku mendekat. Ia menghujaniku perhatian yang membuatku perlahan-lahan terasa sesak karena perasaanku yang semakin dalam. Dan aku tak lagi bisa menghindar. Dia seperti candu.

"Kak?"

Aku tersentak saat telapak tangan Anggara menyentuh bahuku, menarikku kembali dari lamunanku yang panjang. Bertemu dengan Anggara seperti ini selalu bisa membuatku tenggelam dalam kejadian yang berlangsung dua tahun lalu.

"Kakak kenapa?"

Aku tersenyum tipis sembari menggeleng pelan.

"Aku boleh tanya, Kak?"

Aku hanya diam, menunggu Anggara kembali bersuara.

"Sebenernya Kakak sama Abang kenapa?"

Aku menggeleng lagi. "Enggak tau, Ngga. Salah paham."

Aku tau Anggara tak cukup puas dengan penjelasanku yang begitu singkat.

Tapi memang benar, aku tak mengerti apa yang terjadi pada kami. Sebulan setelah Nadia menemuiku di jam istirahat waktu itu, Arya mengamuk di telepon pada sore hari.

Aku kan udah bilang kalo aku enggak akan berubah sama kamu, Nik. Tapi kenapa kamu minta Nadia buat putusin aku?

Aku memejamkan mataku saat suaranya kembali terngiang dengan jelas. Bentakannya terasa sangat jelas di kedua telingaku. Dua tahun kedekatanku dengannya seketika berubah karena satu kesalahpahaman yang membuatnya marah besar.

"Kak?"

Suara Anggara kembali mengagetkanku. Ah, aku melamun lagi.

"Dia marah, Ngga. Dia--"

Sial. Tiba-tiba aku merindukannya.

Sepertinya aku mengambil keputusan yang salah karena kembali ke tempat ini. Mengenang semua kebahagiaan yang sempat aku cecap setelah mengenal Arya sebelum dia pergi. Dua tahun aku mengenalnya dan rasanya aku benar-benar bahagia sampai batas antara kami terasa sangat jelas di kedua mataku. Arya sudah memiliki kekasih dan aku harus menahan perasaanku agar kebahagiaanku tak membuncah terlalu besar.

Tidakkah Arya ingin menanyakan kabarku setelah dia memutuskan untuk pergi tanpa mau kembali?

"Separah itu kah, Kak?"

Aku mengangguk pelan seraya menghela napasku yang terasa berat. "Apa selama ini Arya enggak pernah cerita, Ngga?"

Kali ini Anggara menggeleng. "Sejak setahun lalu tiap aku nanyain soal Kak Niki, Abang selalu sensi dan berakhir cuekin aku seharian."

Aku hanya diam. Sedikit menyakitkan juga kenapa secepat itu dia memiliki alasan untuk membenciku lalu memutuskan untuk pergi?

"Kak Niki mau cerita ke aku?"

Aku hanya tersenyum tipis yang kemudian dibalas oleh Anggara yang tersenyum mengerti.

"Sampai Abang pergi pun dia enggak cerita sama aku."

"Dia sibuk apa sekarang, Ngga?"

Anggara mengangkat bahunya sekilas. "Tiap aku telpon, dia seringnya lagi main gitar."

Sudut-sudut bibirku terangkat dengan sendirinya. Aku ingat dia pernah bercerita kalau gitarnya bagaikan pacar kedua setelah Nadia.

"Dia sehat, Ngga?"

Anggara terkekeh saat mendengar pertanyaanku. "Sehat, Kak. Kayaknya dia seneng di sana."

Aku tersenyum kecut. "Seneng ya? Padahal aku di sini lagi sedih karena dia pergi." Suaraku melemah.

Anggara hanya diam tak menanggapi gumamanku.

"Aku pulang ya, Ngga," pamitku seraya beranjak dari dudukku.

Anggara hanya tersenyum tipis. "Hati-hati ya, Kak. Nanti aku kabarin Kak Niki kalo Abang pulang."

Aku hanya merespon dengan sekali anggukan.

Aku berjalan pergi tanpa mau menoleh lagi ke belakang, ke tempat yang menyimpan banyak kenangan sejak tiga tahun lalu aku mengenalnya. Dia yang memintaku berjanji untuk tak berubah dan aku menepatinya.

Sekali saja aku ingin meruntuhkan semua harapanku. Menghapus semua kenangan yang ia berikan padaku tanpa sisa. Sampai saat ini tak ada alasan untukku membenci meski ia sudah pergi.

Kakak enggak akan berubah, Nik.

Bohong. Dia bohong. Dia pergi dan perasaanku masih tetap tertinggal di tempat yang sama sampai saat ini.

*****


Kepingan yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang