Kak Arya: Nik?
Aku hanya memandang datar ke arah layar ponselku tanpa berniat memilih fitur pesan untuk membalas pesan Arya. Entah apa rasanya. Yang aku tahu, aku kecewa saat melihatnya berduaan dengan kakak kelasku—satu tingkat di atasku. Perkenalanku dengan Arya bahkan baru berlangsung selama dua hari, tapi aku sudah terlanjur jatuh. Bodoh. Aku merasa bodoh. Kenapa mencintai terasa sangat mudah? Kenapa perkenalan yang ia tawarkan terasa sangat indah? Ini baru awal, tapi aku sudah dihadapkan pada satu kesakitan yang mengecewakan.
Bel berakhirnya hari ini baru saja berbunyi nyaring. Diam-diam aku bernapas lega. Setidaknya aku bisa cepat sampai di rumah. Melihat interaksi antara Arya dan-entah-siapa di dekat kantin tadi sungguh memperburuk suasana hatiku.
Baru saja aku melangkah ke luar kelas, langkahku dihadang oleh Bang Dika yang tiba-tiba muncul dengan melompat langsung di hadapanku. Sepenuh hati, aku melayangkan kepalan tanganku pada lengannya. Ah, sekaligus meluapkan semuanya. Kontan Bang Dika mengaduh keras sembari meringis. Sebelah tangannya mencubit hidungku dengan gemas.
"Lepas ih!" keluhku sembari memukul punggung tangannya. Aku kesulitan bernapas.
"Sakit tau, Boncel."
Blah. Dia selalu saja memanggilku begitu.
Belum sempat tanganku melayang untuk mencubit lengannya dengan gemas, Bang Dika memutuskan untuk melepas cubitannya di hidungku. Ada bekas kemerahan di sana saat aku melirik pada kaca kelas.
"Minggir ah." Aku mendorong bahunya agar tak lagi menghalangi jalanku. "Lagi kesel. Jangan ganggu ah," aduku sembari berjalan menjauh.
"Eits." Aku merasakan Bang Dika menarik tas ranselku.
Aku berdecak kesal. Menggerakkan tasku dengan kasar agar Bang Dika melepaskan cekalannya pada tasku. Dan tanpa perlawanan, ia melepasnya.
"Apa?" ketusku sembari melipat tangan di dada.
Kali ini ganti Bang Dika yang berdecak kesal. Ia memaksaku untuk melepaskan lipatan tanganku. "Abang gak suka lho, liat kamu judes begini."
Mendengarnya, aku hanya memutar bola mataku dengan malas. Ya, aku paham sekali bahwa Bang Dika paling malas melihat kesinisanku.
"Kamu gak ada latihan paskibra kan? Abang anter pulang yuk?"
"Ogah!" tolakku sembari melangkah menjauh lagi.
Di belakangku, aku bisa mendengar jelas bahwa Bang Dika sedang berusaha menyusul langkahku.
"Hei." Kali ini Bang Dika menjepit kepalaku di antara lengannya. Kontan aku memberontak. Ah, kenapa Bang Dika sungguh menyebalkan. Aku sedang tak mau diganggu, sungguh. "Kenapa sih, Nik? Abang ada salah?"
"Banyak!" bentakku sedikit keras.
*****
"Jadi kenapa?"
Akhirnya setelah Bang Dika memaksaku agar aku mau diantar sampai rumah, di sinilah kami berada. Di taman yang letaknya dekat dengan sekolah. Taman kompleks yang letaknya bersebelahan dengan kompleks sekolah kami.
Aku hanya mampu menghela napas panjang.
"Kamu daritadi Abang perhatiin cuma hela napas mulu kenapa sih, Nik?"
Baiklah. Sepertinya aku memang harus bercerita padanya. "Atas dasar apa Abang kenalin Niki sama Arya?"
Mendengar pernyataanku, dahi Bang Dika kontan mengernyit. Sepertinya dia terkejut sekaligus bingung dengan pertanyaanku. "Maksudmu?"
"Kenapa Abang kenalin Niki sama cowok yang udah punya pacar sih, Bang?"
Ah, sial. Ada yang tercubit di satu sudut hatiku. Kilasan peristiwa tadi kembali terputar jelas di pikiranku. Bagaimana Arya pura-pura tak melihatku. Bagaimana Arya bahkan tak melirik ke arahku. Padahal dengan jelas, tadi pagi ia merajuk ingin kusapa jika kami berpapasan lagi atau kami bertemu.
"Bang Dika kok jahat sih." Suaraku bergetar. Ah, aku benci ini.
"Eh? Pacar? Arya? Tunggu—"
"Niki tadi liat Arya berduaan sama kakak kelas, tau," potongku sembari mengusap air mata yang sempat menetes. Baiklah, aku mulai terlihat menyedihkan. Menangisi kebodohanku yang mudah jatuh cinta hanya karena satu perkenalan bodoh selama dua hari.
Aku melihat kerutan di dahi Bang Dika yang semakin dalam. "Arya? Sama cewek? Rambutnya sebahu?"
Aku mengangguk. Lagi-lagi menyusut airmataku yang tumpah. Kenapa rasanya sakit sekali.
"Pipinya agak tembam?"
Aku mengangguk lagi.
Bang Dika berdecak kesal. Ia menarikku ke dalam pelukannya. Dan aku hanya mampu menangis dalam diam.
"Abang jahat banget sih, ngenalin Niki sama cowok yang udah punya pacar. Kalo Niki udah suka, patah hati begini kan gak enak, Bang." Aku tergugu.
"Maaf, Nik." Bang Dika mengusap puncak kepalaku. "Abang gak tau kalo dia balikan sama Nadia. Maaf."
Ah, hatiku patah. Aku membenci rasa mencintai yang muncul dengan begitu mudah.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan yang Hilang
Historia CortaSampai waktu berjalan, aku selalu berharap bahwa kau akan kembali. Tapi dengan pengharapan yang makin besar pula, aku ditampar sekeras mungkin oleh kenyataan bahwa kau takkan kembali. Kau takkan mengucapkan 'Halo' lagi seperti saat kita pertama kali...