Aku tahu, sebenarnya bukan salah Bang Dika yang telah mengenalkanku pada Arya. Ini murni kesalahanku. Kenapa aku jatuh terlalu mudah. Seharusnya aku tak tergoda dengan perhatiannya. Di saat aku mulai merasakan bagaimana kupu-kupu itu mengepakkan sayap di dalam perutku, mereka terpaksa mematahkan sayapnya sebelum mereka sempat terbang dengan bebas di dalam sana. Bodoh, kenapa aku terlalu naïf. Seandainya saja aku bisa membangun perisai yang lebih kuat. Maka aku takkan mudah jatuh seperti ini.
Setelah menyelesaikan telepon dengan Bang Dika yang memastikan aku tak lagi menangis, saat ini aku terdiam di balkon sembari duduk bersandar pada kaca besar penghubung balkon dan kamarku. Air mataku memang sudah susut. Dan aku tak ingin menangisi kebodohanku lagi. Saat ini aku justru merasa kebingungan. Memang ada sakit di dalam hati. Tapi bersamaan dengan itu, aku juga merasakan hampa.
Sedang asyik memandang langit gelap tanpa bintang, aku dikagetkan oleh dering ponselku yang berada di saku piyama. Aku hanya menghela napas pendek. Pasti Arya. Sedari pulang sekolah tadi, satu pun pesannya tak ada yang kubalas.
Malas-malasan aku membuka pesannya. Dan benar saja, ada nama Arya terpampang di sana.
Daritadi gak dibales, Nik. Kenapa? Sibuk kah? Atau habis pulsa? Yaudah, selamat malam ya, Nik. Jangan tidur malem-malem.
Selesai membaca pesannya, aku hanya tersenyum sinis. Entah aku yang terlalu bodoh karena begitu mudah terpikat hanya karena pesan-pesan seperti ini atau dia yang terlalu pintar membuatku terpikat? Ingin rasanya kubalas pesannya dengan sinis. Tapi jika aku memakinya dan memintanya untuk menjauh dariku, rasanya aku belum siap.
Ah, sial. Aku termakan oleh ketakutanku sendiri. Aku terlanjur terbiasa dengan pesan-pesannya yang masuk ke dalam ponselku.
*****
Aku sedang mengulurkan lembaran seribu rupiah sembari memegang sebotol air mineral saat ada suara yang menginterupsi tepat di sampingku.
"Sekalian sama ini, Bu," ujarnya.
Aku menoleh kemudian berdecak kesal. "Bang Dika kalo mau bayarin yang lebih mahal kek. Air mineral gini doang aku sanggup bayar kali," gerutuku sembari melewati beberapa siswa yang berjubel menghalangi pintu masuk koperasi sekolah. Di sampingku, Bang Dika berulang kali mengucap kata 'permisi' agar mendapat jalan ke pintu keluar. Sungguh, jika saja tak lupa membawa bekal air mineral seperti biasanya, aku takkan mau berada di koperasi saat jam istirahat seperti ini.
"Ya siapa suruh cuma beli air mineral," balasnya setelah kami benar-benar berhasil keluar dari koperasi.
Aku membalasnya dengan tawa. "Makanya kalo mau traktir tuh bilang. Kan Niki bisa persiapan."
Bang Dika tertawa setelah meneguk kopi berkemasan kotak yang sedang ia genggam. Sebelah tangannya mengacak-acak rambutku.
Ah, seandainya saja bukan Arya yang menarik perhatianku. Mungkin semuanya akan lebih mudah jika orang itu adalah Bang Dika.
Sedang menggerutu sembari merapikan rambutku yang sedikit berantakan karena ulah Bang Dika, aku mendadak menghentikan langkahku saat ada seorang kakak kelas menghalangi jalanku sembari tersenyum lebar. Dari tempatku, aku melirik Bang Dika yang masih setia di sampingku sembari memandang gadis di hadapanku ini dengan pandangan penuh tanya.
"Hai." Masih dengan kebingungan, aku memandang tangan yang terulur di hadapanku. "Niki kan?"
Aku menaikkan sebelah alisku. Sedikit terkejut karena dia mengetahui namaku. "Iya."
Di hadapanku, ia menggerakkan tangannya lagi, mengisyaratkanku untuk balas menjabatnya. Ragu-ragu, aku menyambut uluran tangannya.
"Niki."
Masih dengan senyuman, ia menyahut, "Nadia."
Ya, aku tahu namanya. Aku tahu nama itu. Diam-diam aku melirik sebentar ke arah Bang Dika. Di sampingku, Bang Dika hanya menggeleng-gelengkan kepala seperti tak mengerti juga apa maksud Nadia yang tiba-tiba menghampiriku.
"Maaf aku sempet cemburu sama kamu gara-gara baca sms kalian berdua kemarin." Nadia tertawa. Dan aku masih diam. Tak berniat untuk menginterupsi atau menanggapinya meski terasa ada yang tercubit di dalam hatiku. "Tapi Arya terus jelasin kalo kalian cuma deket biasa dan kamu udah dianggep adik sama dia. Jadi mulai sekarang kamu adikku juga, oke?"
Aku terdiam. Refleks aku menggenggam pergelangan Bang Dika dengan erat.
"Salam kenal ya, Niki." Nadia menepuk bahuku pelan kemudian berlalu pergi.
Adik. Suara Nadia masih terngiang jelas. Arya menganggapku sebagai adik.
*****
a/n
aku benci menjadi Niki
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan yang Hilang
القصة القصيرةSampai waktu berjalan, aku selalu berharap bahwa kau akan kembali. Tapi dengan pengharapan yang makin besar pula, aku ditampar sekeras mungkin oleh kenyataan bahwa kau takkan kembali. Kau takkan mengucapkan 'Halo' lagi seperti saat kita pertama kali...