11. Pengakuan

10K 950 231
                                    

Rasanya aku bisa bernapas lega saat akhirnya aku sampai di rumah setelah menyelesaikan diklat Paskibra tepat di hari ini. Matahari sudah mulai naik saat acara selesai. Berulang kali aku memijat kedua lenganku bergantian untuk menghilangkan rasa pegal di sana.

Semalam—ah, tepatnya di dini hari tadi, aku harus melakukan diklat penempuhan lencana dengan melewati beberapa pos. Semakin akhir, pos yang disediakan semakin mengerikan. Maksudku, di pos terakhir itulah diklat ini mencapai puncaknya. Ada dua pilihan yang harus kami tempuh sebagai kesialan kami nanti. Tantangan fisik ataukah tantangan mental.

Aku merasa beruntung karena saat aku baru saja memasuki pos terakhir, aku ditarik ke bagian tantangan fisik oleh pelatihku. Meski beruntung karena aku tak ditarik ke bagian tantangan mental, tapi tetap saja aku merasa sial karena harus mendapatkan tantangan untuk melakukan push up seratus kali tanpa henti demi satu lencana berwarna putih. Aku harus melakukannya dalam kondisi yang masih setengah sadar. Betapa kombinasi yang apik menurutku.

Saat sedang sibuk mengoleskan balsem pada lenganku, ponselku menjerit-jerit kencang di atas nakas. Padahal baru lima menit aku menyalakannya. Saat melihat satu nama yang terpampang di layar, ada senyum terkembang lebar di wajahku.

"Ya, Kak."

"Udah di rumah?"

Ada yang berdesir hebat di dalam dadaku. Aku rindu suaranya setelah dua hari kami benar-benar tak berkomunikasi. "Udah."

"Nanti sore ada acara?"

Jantungku mulai bergemuruh. Apa ini artinya ... "Kakak mau ngajak Niki pergi?"

"Yep. Mau enggak?"

"Mau lah!" Menyadari bahwa suaraku kelewat semangat di telingaku sendiri, aku meringis malu.

Bahkan aku bisa merasakan pipiku yang menghangat saat mendengar Arya terkekeh di seberang sana.

"Yaudah jam tiga Kakak jemput. Bye, Nik."

Tut tut tut tut

Jantungku masih berdetak dengan ritme abnormal meski suaranya sudah tak terdengar lagi. Kenapa rindu yang membuncah rasanya bisa membuat jantungku meloncat gembira hanya dengan mendengar suaranya?

*****

"Kakak tumbenan ngajak aku pergi? Ini pertama kalinya lho." Aku berusaha menahan rasa penasaran di antara detak jantung yang bisa kurasakan sedang menghentak-hentak di dalam dada. Sebenarnya aku cukup gelisah saat duduk bersebelahan dengan Arya seperti ini. Seolah ada kepakan kawanan kupu-kupu di dalam perutku benar-benar membuatku mulas.

"Kangen aja."

Aku hampir saja tersedak saat mendengar dua kata yang diucap ringan oleh Arya.

Dengan penuh kegugupan, aku membalas, "N-Niki juga ka-kangen, Kak." Ekor mataku mencuri pandang ke arah Arya saat dia menoleh padaku.

"Emang harusnya gitu kan?"

Jika saja Tuhan memberikan satu kekuatan istimewa padaku, aku akan meminta agar diberi kemampuan untuk menghentikan waktu sekarang juga. Di sampingku saat ini, Arya sedang tersenyum manis sembari menepuk-nepuk puncak kepalaku dengan lembut.

Rasanya seperti ada aliran listik yang mengalir dari kepala hingga ujung kakiku saat ini. Telapak tangannya yang besar benar-benar membuatku merasa nyaman.

"Emang harusnya adik enggak boleh berhenti kangen sama kakaknya."

Blam!

Bahuku turun dengan lemas. Perutku terasa semakin mulas sementara jantungku masih berdetak kencang. Bukan karena senang. Sensasi ini berbeda. Aku merasakan kesakitan. Aku menundukkan wajahku dalam-dalam. Kali ini aku ingin menangis.

"Nik?"

Aku melihat ada satu tangan menangkup kedua tanganku yang sedang memilin satu sama lain.

"Kamu kenapa?"

Aku menggeleng pelan.

Rasanya semakin menyakitkan saat aku merasakan Arya menyentuhkan punggung tangannya pada dahiku. Perhatiannya padaku saat ini rasanya berada di tempat yang tak seharusnya. Tidak bisakah aku berlaku egois?

"Kamu sakit?"

Lagi-lagi aku menggeleng. Perlahan aku mendongakkan kepalaku. Aku tak berani berkedip saat merasakan ada genangan air yang mengganggu pelupuk mataku.

"Niki sayang sama Kakak." Tenggorokanku terasa tercekat. Satu air mata berhasil lolos dari kelopak mataku.

Tepat saat aku menyelesaikan kalimatku, Arya tak menunjukkan keterkejutannya sama sekali. Yang ia lakukan hanya memejamkan kedua matanya. Bahkan ada senyum tipis di wajahnya.

Sakit. Tapi aku juga merasakan lega di waktu yang bersamaan.

Arya mengelus rambutku sementara aku menangis tanpa suara. "Kakak juga sayang sama kamu, Nik. Tapi Kakak punya Nadia." Suaranya melemah.

Air mataku meluncur deras. Bahkan aku sampai menggigit bagian bawah bibirku agar tak ada satu pun isakan yang lolos dari bibirku.

Aku melihat Arya tersenyum. "Tetep kayak gini aja ya, Nik. Kakak enggak akan berubah sama kamu kok. Sampai kapanpun kamu bakal jadi adik kecil Kakak."

Cukup, Arya. Cukup! Batinku berteriak

"Kakak juga sayang sama kamu. Tapi Kakak enggak bisa. Kakak punya Nadia." Aku bisa menangkap senyuman sedih yang tersungging di bibirnya.

Aku hanya mengangguk lemah. Satu keadaan yang membuatku sesak adalah saat aku mengatakan bahwa aku menyayanginya, tapi aku tahu bahwa aku tak bisa memilikinya. Dia dekat tapi tak pernah bisa kurengkuh seutuhnya.

*****


Kepingan yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang