a/n
thanks to just-anny dan temen-temen pembaca yang berhasil nahan muntah karena terlalu angst-nya cerita ini hahaha
*****
"Udah nih udah jam dua belas tet. Aku tidur ya."
Aku tersenyum lebar seraya mengapit ponselku di antara bahu dan telinga saat mendengar ia berpamitan melalui telepon. Kedua tanganku yang bebas sedang asik menuliskan situs yang bisa menghubungkanku dengan akun email pribadi milikku.
"Iya. Makasih ya, Randi," tuturku seraya terkikik kecil. Empat tahun belakangan ini, dia selalu menemaniku sampai tengah malam hanya untuk menjagaku agar tak jatuh tertidur dan melewatkan kesempatan untuk menjadi orang pertama yang mensyukuri pertambahan umur seseorang, tepat di tanggal ini.
"Nik?"
"Ya?" jawabku singkat seraya menggerakkan telunjuk pada touchpad untuk mencari percakapan terakhirku dengan lelaki itu di antara beberapa email yang terkirim.
Aku mendengar Randi sempat menghela napasnya sebentar. "Aku harap ini yang terakhir kali kamu melakukan hal yang sia-sia, Nik."
Aku hanya diam, tak membalasnya. Kalimat ini sudah sering kudengar darinya. Selama empat tahun kami mengenal semenjak pertama kali masuk kuliah, dia tak pernah lelah mengingatkanku untuk berhenti. Sekalipun tak pernah.
"Selamat malam, Rand. Makasih ya," tutupku.
Sepuluh tahun berjalan, aku masih berada di tempat yang sama, tanpa berpindah. Hatiku pun begitu. Arya masih singgah di tempatnya. Di salah satu sudut ternyaman yang kubuat untuknya. Aku tau aku bodoh. Terlalu bodoh. Mencintai dalam diam rasanya memang menyakitkan. Tak pernah mendapat balasan, tak pernah mendapat jawaban. Bahkan aku pun tak pernah tau bagaimana kabarnya.
Sepuluh tahun ini pula aku tak pernah berhasil mengusir Arya untuk pergi jauh dari pikiranku. Selama waktu berjalan, selama itu pula aku berusaha menemukan dia di segala sudut dunia maya yang aku tau. Tapi tak satu pun aku temukan jejaknya di sosial media yang kumiliki. Aku rindu. Sungguh rindu. Ingin kutanyakan padanya, ada apa dengan kita dulu? Tak bisakah kau jelaskan padaku sebentar saja? Tapi nyatanya pertanyaan itu tak pernah bisa terlontar. Semua kutelan bulat-bulat tanpa kuutarakan.
Semenjak ia pergi, aku tak lagi melakukan hal yang membuatnya marah. Aku tak lagi mengikuti paskibra seperti yang ia bilang di telepon waktu itu. Aku hanya berharap ia tiba-tiba datang dan melihatku yang tak lagi melakukan hal yang tak ia sukai saat itu, kemudian ia akan tersenyum lebar dan menepuk puncak kepalaku dengan pelan. Andai saja itu terjadi. Andai saja harapanku terkabul. Andai saja ia benar hadir tanpa membiarkanku menimbun rindu di sudut hati.
Aku harap ini yang terakhir kali kamu melakukan hal yang sia-sia, Nik.
Aku terkesiap saat suara Randi kembali terngiang dalam pikiranku. Lamunanku seketika buyar. Layar laptopku menampilkan beratus percakapan satu arah melalui pesan elektronik ini. Tiga tahun setelah terakhir kali aku bertemu Anggara di lapangan waktu itu, ia memberiku alamat email ini agar bisa menghubungi kakaknya tanpa terkendala alasan nomor Arya yang berganti-ganti. Terakhir kali aku mendengar kabarnya dari Anggara, Arya saat ini ada di luar kota.
Perlahan jemariku bergerak membaca satu persatu emailku yang terkirim tanpa ia acuhkan. Satu pun tak ada yang ia balas. Aku hanya ingin mengetaui kabarnya. Aku hanya rindu. Tak bisakah ia berpikir bahwa aku menunggu? Apa mungkin emailku sungguh mengganggunya, hingga ia muak dan menandai emailku di kotak spam hingga ia tak perlu repot untuk membaca dan menghapusnya dalam sekali waktu? Atau mungkin dia sibuk sampai tak sempat mengecek satu persatu pesan yang masuk?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan yang Hilang
Short StorySampai waktu berjalan, aku selalu berharap bahwa kau akan kembali. Tapi dengan pengharapan yang makin besar pula, aku ditampar sekeras mungkin oleh kenyataan bahwa kau takkan kembali. Kau takkan mengucapkan 'Halo' lagi seperti saat kita pertama kali...