Part 3

173 12 8
                                    

 Part ini aku buat agak panjang karna menurut aku part-part sebelumnya kependekan. Tapi gak tau ya kalo menurut kalian kepanjangan hehehe.. Semoga gak bosen sama tulisan aku aja sih :v

--------

  Kejadian kemarin membuatku sulit berpikir. Sulit tidur. Sulit makan. Oke, sebut aja aku lebay atau alay yang baru deket sama crush kita aja udah sulit ngapa-ngapain. Tapi memang ini kenyantaannya. Seperti halnya sekarang. Bahkan untuk menyuapkan sesendok nasi saja sulitnya minta ampun. Kejadian kemarin masih terlalu sulit dilupakan.
"Ngapain sih, Sen. Makanannya kok diaduk-aduk terus?" kata Mamaku yang sedari tadi melihatku sedang mengaduk-aduk makanan di piring.

Iya, Ma. Perasaan Sena lagi campur aduk.

"Kenapa? Mas Handito-mu mau nikah trus kamu galau gitu?" cerca Mama sambil cekikikan.
Asal kalian tau saja, Mas Handito itu adalah tetangga plus guru vokalku saat SD dulu. Wajahnya yang tampan, pintar, ramah, dan taat agama memberikan nilai tersendiri di mataku. Aku hanya mengaguminya. Aku tekankan sekali lagi. Aku hanya mengaguminya.

Dan sekarang, apa katanya? Dia mau menikah?
"Apa?! Mama tadi bilang apa?! Nikah?!" teriakanku barusan membuat Mama tersedak makanannya sendiri. Kusodorkan segelas air untuk Mama yang langsung ditenggak habis olehnya.
"Uhuk.. Huk... Kamu tuh huk.. Kalo ngomong biasa aja, gak usah pake teriak-teriak segala." ujar Mama sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Bener, Ma. Mas Handito mau nikah?" ucapku yang melemah.
"Iya. Tuh, undangannya ada di atas TV, liat aja."

   Segera kutinggalkan makananku tadi dan berlari ke ruang TV. Benar saja, Mas Handito akan menikah 2 minggu lagi.

Sepertinya kamu harus merelakannya, Sena.

Batinku berseru.
Ketidak relaan ku pada Mas Handito yang akan melangsungkan pernikahanya membuatku berfikir bahwa ia memang layak berbahagia kelak. Ia pantas mendapat kebahagian untuk keluarganya esok. Akan senantiasa ku do'akan agar ia selalu diberikan rahmat-Nya. Dan kurelakan ia menempuh hidup baru bersama calon istrinya.

¢ΠΠΠΠΠΠΠΠ¢

"Sen, ayo ngantin. Tau aja di sana ada cogan lo." rayunya sambil mencolek-colek daguku.

"Ih.. Apaan sih, Meg. Gue lagi gak mood. Jangan ganggu deh." Entah, beberapa hari ini rasanya aku malas untuk melakukan aktivitas.

"Sen, lo gak bosen apa murung terus? Gue aja yang liat bosen." itu pertanyaan atau sindiran? Aku rasa tak perlu dijawab.

"Sen! Etdah. Lo jangan kayak anak SMP napa. Dikit-dikit galau karna gebetan. Puitis banget idup lo."

"...."

"Seeen!!! Ya ampun gue ngomong ama elu, bocah."

"...."

"Okee.. Kayaknya lo butuh sendiri. Tapi asal lo tau, Sen. Lo gak sendiri. Lo punya gue." ujarnya yang langsung pergi meninggalkanku sendiri di kelas.

Megi selalu mengerti. Dia selalu mengerti perasaanku. Dia selalu mengerti yang aku butuhkan saat ini hanya sendiri. Membiarkanku berfikir tentang perasaan yang ada dalam diriku ini.

Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku tidak boleh meratapi kesedihanku tentang perasaanku pada Reka dan juga pada Mas Handito yang sebentar lagi melangsungkan pernikahannya.

Reka

Pikiranku kembali tertuju pada laki-laki itu. Dia kembali bersemayam dalam otakku. Bayangan wajahnya terlintas kembali. Sepertinya dia memang sudah paten ada dalam hati dan pikiranku. Aku harus jalan-jalan. Untuk me-refresh pikiranku terhadap Reka yang terus saja menghantuiku.

InsensibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang