Part 7

131 7 6
                                    

↑↑ Biro in mulmed ↑↑
--------++--------

"Sen, gue seneng banget bisa ketemu lo lagi," ujar Biro disamping Sena yang sedang menyetir mobil.

"Gue juga seneng, Bi. Gue gak nyangka lo berubah banget. Mulai dari lo yang masih ingusan, ingus dimana-mana. Lo yang cadel, poni lo yang nutupin jidat, sampe kelakuan lo yang konyol abis sewaktu SD. Gue gak nyangka lo bisa berubah kayak gini," tutur Sena menatap Biro yang sedang menyetir.

"Ih, lo mah gitu. Buka-buka aib orang seenaknya. Lagi pula inget gak lo dulu sering main ke rumah gue cuman pake kaus kutang ama CD doang," tawa Biro pecah setelah menceritakan kembali kejadian masa lalu mereka.

"Hahahaha.. Trus lo juga kadang mandi dirumah gue. Gara-gara kalo mandi di rumah lo gak ada air angetnya. Dan lo takut sama air dingin," lanjut Sena yang juga geli menceritakan masa lalunya.

"Eh, tapi gue sekarang udah gak takut air dingin loh, Sen. Hahaha.." tawa Biro renyah.

"Ohiya, Bi. Betewe rumah lo sekarang dimana? Trus lo kok bisa balik lagi sih?" tanya Sena.

"Mau tau banget nih?" goda Biro sambil melirik Sena yang sedang menatap lurus kedepan.

Dicubitnya lengan kiri Biro hingga ia mengaduh kesakitan. "Aduuh! Sen, sakit gila!" keluhnya.

"Sukurin! Salah siapa diajak ngomong serius malah bercanda,"

"Elaaah.. Cena ngambek deeh.. Utuk..utuk.." goda Biro menirukan gaya orang gemas melihat bayi sambil mencubit pipi Sena gemas.

Sena langsung menepis tangan Biro yang mencubit pipinya. Seketika tawa Biro pecah melihat Sena yang ia kenal masih sama saat kecil,
"Lo masih belom berubah ya, Sen. Masih kayak anak kecil. Lo kalo di depan orang lain juga kayak gini gak? Hahaha," entah kenapa Sena sangat merindukan sahabat kecilnya ini. Sikap Biro juga tidak berubah. Masih menjadi Biyo nya yang riang dan selalu menghibur Sena.

"Ya gak lah, gue kayak gini cuman ke elo sama ke Kak Dion aja," ucap Sena sewot.

"Ih ya biasa aja dong jawabnya. Betewe, kak Dion sekarang dimana?" lantas pertanyaan Biro membuat hatinya seakan diremas.

"Di surga," ucapnya lirih menatap lurus ke depan.

Pertanyaan Biro barusan membuat Sena seperti terhunus pedang hingga dalam.

"Ha? Maksudnya?" tanya Biro heran menatap Sena yang tiba-tiba merubah raut mukanya.

"Kak Dion udah gaada, Bi. Dia sakit, dua tahun dia pendem sendiri. Dan kita sekeluarga baru tau ketika dia udah sekarat," tuturnya lemah dan hanya bisa menundukkan kepalanya saat bercerita.

Mendengar berita tersebut dari mulut Sena membuat Biro seketika menolehkan kepalanya ke arah Sena. Biro tak pernah tahu bahwa Dion, yang juga teman Abangnya itu telah tiada. Bahkan Abangnya sekalipun tak pernah memberitahukan sepeninggal Dion. Tak menyangka seorang yang ia kagumi dahulu telah berpulang dengan cepat. Merasa bersalah Biro berkata, "Maaf ya, Sen gue gak bermaksud," ujar Biro seraya mengelus pundak Sena.

Sena hanya bisa tersenyum menatap Biro, "Santai kali, Bi. Gue udah ikhlas kok kak Dion pergi," Kali ini Sena melepaskan tangan Biro di pundaknya. Seakan ia tak butuh dikasihani karena Biro tahu betul bahwa Sena sangat menyayangi kakak sulungnya itu.

"Abang gue kok gak bilang apa-apa,ya?" gumam Biro pada dirinya sendiri.

"Sibuk kali, Bi. Eh, Bang Iko juga kemana sekarang?" tanya Sena yang mencoba mengalihkan pembicaraan lain.

"Dia kerja, di Bandung. Kalo weekend dia pulang. Tapi kalo kerjaan dia numpuk, boro-boro dia inget keluarga," sepertinya Biro sudah lupa soal pembicaraan sebelumnya setelah Sena berhasil mengalihkannya.

InsensibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang