Bab 8

164 3 0
                                    

Dinar terkejut saat bangun dan tidak menemui mamanya di rumah. Mbok Tunim, Mang Diman, dan supirnya ikut bingung.

“Semalem mama bilang udah di jalan mau pulang waktu Dinar sms. Masak udah pagi gini belum sampai sih, Mbok.”

Dinar menggigit bibirnya. Bingung.

“Coba mbak hubungi lagi,” usul Mang Diman.

“Udah dari tadi loh, Mang. Cuma gak masuk.”

“Emang mama kemana sih, Bi?”

“nggg…Bibi juga ga tau, Mbak.”

Mbok Tunim berbohong. Sementara Mang Diman hanya menatap Mbok Tunim penuh arti.

Tak berapa lama kemudian telepon rumah berdering. Mbok Tunim mengangkat telepon itu. tiba-tiba raut wajahnya berubah.

“I … iya pak, kami segera kesana sekarang,”Mbok Tunim bicara terbata-bata.

Kemudian wanita itu menutup telepon. Tubuhnya lemas seketika.

“Dari siapa, Mbok?” tanya Dinar.

Mbok Tunim diam. Matanya berkaca-kaca. Sementara Mang Diman menatap ibunya dengan tatapan penuh tanya.

Mbok Tunim memeluk Dinar. Tangisnya pecah. Dinar sampai terbengong-bengong dipelukan Mbok Tunim.

“Ada apa sih, Mbok? Jangan buat Dinar penasaran.” Dinar memelas.

Mbok Tunim melepas pelukannya. Kemudian dia memegang wajah Dinar dan memandanginya.

“malang sekali kamu, Mbak.”

“Kenapa sih, Mak?” Mang Diman ikut penasaran.

Mbok Tunim diam sejenak sebelum mengatakan bahwa yang menelpon tadi adalah polisi yang meminta mereka untuk ke lokasi kejadian. Mama Dinar tewas.

***

Dinar sangat syok ketika mengetahui mamanya meninggal. Dia tak sanggup melihat mayat mamanya yang pucat pasi.

Papa yang mendapat kabar buruk itu langsung pulang dari Jakarta saat itu juga. Papanya lemas seketika saat melihat mayat istrinya yang terbujur di ruang tamu yang telah dipenuhi pelayat. Dinar terisak disamping mamanya sambil sesekali memeluk mayat mamanya. tangisnya histeris. Papa langsung duduk di samping istrinya dan memandangi wajahnya untuk terakhir kali. Mama Dinar dikubur selepas solat ashar.

Selesai pemakaman hanya tersisa Dinar dan papanya di samping nisan Tania.

“mama cepat banget sih pergi?” Dinar kembali terisak. Matanya bengkak. Sementara sesosok pria menatap mereka dari kejauhan. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Lelaki itu menunduk setelah melihat Dinar dan papanya. Kemudian ia pergi.

***

Walaupun masih dalam keadaan berduka, esok harinya Dinar sudah masuk sekolah. Ia tidak betah di rumah karena masih dibayangi sosok gadis yang menerornya setiap malam. Meskipun tadi malam gadis itu tidak datang untuk meneroornya, tapi ia selalu was-was. Bahkan kamar Dinar tak dikunci semalaman agar mang Diman yang akhirnya tidur di kamar sebelah Dinar bisa masuk ke kamar jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diinginan.

Sepanjang hari Dinar tidak keluar kelas. padahal biasanya saat jam istirahat dia paling suka pergi ke perpustakaan. Teman sekelsnya mengucapkan bela sungkawan yang sedalam-dalamnya. Bahkan Sisi menemaninya diam di bangku sepanjang hari.

Bel tanda pulang berbunyi. Sisi mengemasi barangnya dan barang Dinar, kemudian mengajak Dinar pulang.

“Pulang yuk, Nar. Udah bel.”

Dinar tersadar dari lamunannya dan menoleh kea rah Sisi.

“Duluan aja. Aku ntar lagi nyusul,” jawab Dinar sambil mencoba tersenyum.

Sisi menyatukan jari jempol dan telunjuknya mebentuk huruf O. “Oke deh, barang kamu udah aku masukin semua tuh.” Sisi hendak meninggalkan Dinar, namun tiba-tiba ia berpaling kea rah Dinar lagi.  “Jangan larut dalam kesedihan ya, Sayang,” sambungnya sebelum berlalu dari hadapan Dinar.

Dinar mengamati ruangan kelas. tinggal dia sendiri yang berada di kelas itu. tanpa siapapun. Tiba-tiba ia merasa dunia hampa. Tiada satu orang pun tempat ia mengadu kini. Mama telah tiada. Bahkan ia masih harus menerima terror-teror dari anak kecil di kamarnya. Dinar menangis mengingat itu semua. Ia menundukkan kepalanya dan membenamkan wajahnya ke dua telapak tangannya. Dia sedih jika harus menerima semua kenyataan pahit ini.

Raka lewat depan kelas Dinar dan mengintip ke arah kelas Dinar. Ia melihat Dinar disana, mendekap wajahnya dengan telapak tangannya. Ragu-ragu ia menghampiri Dinar. Dinar yang tak menyadari kehadiran Raka masih tetap menangis. Raka duduk di samping bangku Dinar yang kosong.

Raka bingung mau ngapain. Bahkan untuk memulai pembicaraan pun ia tak tau darimana. Ia telah mengetahui kabar dua meninggalnya mama Dinar dan ia tau Dinar saat ini masih dalam keadaan syok atas kepergian mamanya yang tiba-tiba. Akhirnya Raka hanya diam menemani Dinar. Sesekali ia menoleh keluar kelas atau sekedar mengamati isi ruangan kelas Dinar.

Mereka diam untuk beberapa menit. Namun kemudian Dinar menyadari ada seseorang di sampingnya. Dia was-was. Jantungya berdegup kencang. Kemudian ia memberanikan diri menoleh ke sampingnya.

“Kamu?” Dinar berkata lirih saat tau yang berada di sampingnya adalah Raka. Raka nyengir.

“Hehe… Iya.”

“Kok belum pulang?” tanya Dinar.

“Tadinya aku mau pulang. Tapi pas lewat depan kelas kamu aku lihat kamu sendirian belum pulang, malah nangis. Yaudah deh aku temenin,” jelas Raka.

Dinar tersenyum.

“Kamu pulang duluan aja.”

“Loh? Kok kamu jadi nyuruh aku pulang. Kalo kamu nyuruh aku pulang, kamu harus pulang juga dong.” Raka nyengir. Dia benar-benar gak tau mau berbuat apa.

Dinar menghela nafas.

“Aku masih pengen sendiri,” ujar Dinar lirih.

“Aku temenin,” sahut Raka bersemangat.

Dinar menoleh kea rah Raka.

“Ngapai kamu temenin? Yang ada kamu dicari mama kamu lagi nanti.”

Ada penekanan saat Dinar mengatakan kata mama. Dia seolah gak sanggup untuk mengucapkan satu kata itu. terlalu berat.

Raka memahaminya.

“Udah dong, kamu jangan larut dalam kesedihan gini. Percaya deh, mama kamu pasti sedih meliht kamu. kamu harus semangat. By the way, aku turut berduka cita, ya,” ujar Raka tulus.

Dinar tersenyum. “Thanks,” jawabnya singkat.

“Kalo gitu sekarang kita pulang, yuk,” ajak Raka.

“Aku takut mau pulang.”

Raka terkejut mendengar ucapan Dinar.

“Loh? kenapa?”

Kemudian Dinar menceritakan sosok gadis kecil yang menerornya beberapa hari belakangan.

“Memang semalem dia gak datang lagi. Tapi aku masih takut.”

Tak berapa lama, tangis Dinar yang sempat mereda kembali pecah.

Raka kembali bingung bagaimana caranya menghibur Dinar. Akhirnya ia hanya mengelus pundak Dinar lembut.

Kemudian dia meminta hp Dinar.

“Untuk apa?” tanya Dinar.

“Udah sini,” paksa Raka.

Dinar menyerahkan hpnya. Kemudian Raka mengetik sesuatu.

“Ini nomerku. Kalo terjadi apa-apa kamu harus mengubungiku. Oke?”

Dinar mengangguk. Ia masih belum paham apa maksud Raka.

“Sekarang kita pulang.”

Raka menarik tangan Dinar. Dinar mengambil tasnya dan berjalan di samping Raka. raka menggandeng tangan Dinar.

Saat melewati taman, Tiara menatap sinis kea rah Dinar dan Raka. raka melihat Tiara pula, namun ia mencuekinya.

Mystery of The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang