Dinar sedang sms-an dengan Raka saat orang-orang sedang membaca yasin di lantai bawah. Dinar memutuskan untuk mengurung diri di kamar (meskipun pintu kamar gak dikunci). Dinar takut akan menangis lagi bila ia harus dibawah ikut membaca yasin.
Namun tiba-tiba ia merasakan hawa yang tidak mengenakkan. Bulu kuduknya merinding. Biasanya saat-saat seperti ini gadis kecil itu akan datang lagi.
Dinar segera mengirim pesan ke Raka.
To: Kak Raka
Kak, gadis itu sepertinya datang lagi. Bulu kudukku merinding. Ngeri banget.
Dinar berhasil mengirim pesan itu bertepatan saat ia menoleh kea rah jendela. Benar saja, gadis itu berada disana. Matanya menatap Dinar tajam penuh kebencian. Dinar berusaha tenang meskipun jantungnya serasa mau copot. Dia merasa bulunya seketika naik karena ketakutan.
Dinar mengalihkan pandangannya dari gadis itu. dia melirik hp-nya. Laporan pesan terkirim ke Raka muncul di layarnya. Dinar menarik nafas lega. Dia hendak beranjak keluar dari kamar ketika gadis itu ternyata telah berdiri di hadapannya.
Dinar gelagapan. Mulutya tak bisa terbuka sedikitpun. Gadis itu semakin menatap Dinar. Sorot kebencian tampak jelas dari sana. Pisau di tangannya terhunus tajam siap menyerang Dinar. Dinar yang telah turun dari tempat tidur berjalan mundur hingga menabrak meja belajarnya. Gadis itu semakin mendekati Dinar. Dinar menarik nafas berniat berteriak. Namun suaranya tercekat di kerongkongan.
Selangkah.. dua langkah… tiga langkah… gadis itu semakin dekat. Sambil memandang awas ke pisau tajam itu Dinar mencoba mencari celah. Namun gadis itu seolah siap menerkamnya.
“Ka..kamu..Sebenarnya kamu siapa?” tanya Dinar pelan dan lirih. Dia sangat ketautan.
Gadis itu menghentikan langkahnya ketika mendengarkan pertanyaan Dinar. Kemudian dia tersenyum. Senyuman sinis dan meremehkan.
“Kamu mau tau aku siapa?” Gadis itu menatap tajam ke arah Dinar sebelum melanjutkan ucapannya.
“Aku..Saudara tiri kamu sayang.” Gadis itu tersenyum. Sementara Dinar terlnjak kaget.
“ma…Maksudnya?” tanya Dinar terbata-bata.
“Iya, aku kakak kamu. sebelum kamu lahir mama melahirkanku. Tapi gara-gara kamu dan papamu aku jadi ditelantarkan mama hinga kematianku. Mama gak pernah peduli padaku. Dan itu semua gara-gara kamu.” Gadis itu menjulurkan pisau tajam kea rah Dinar.
“Ta…Tapi aku bener-bener gak tau ceritanya. Ka..kalau emang begitu a…aku, minta maaf.” Dinar mencoba mengulur-ulur waktu. Dia tau sebentar lagi Raka pasti akan datang. Dan pasti Mang Diman dan papa juga akan masuk. Apalagi di bawah sedang berlangsung pengajian yang menghadirkan ustad.
“kamu emang gak tau. Tapi sekarang kamu udah tau. Sebenarnya sih, aku udah puas ngebawa orang tuaku ke alam baka.” Gadis itu terdiam sejenak dan tersenyum.
Dinar kembali terlonjak.
“Ja..Jadi kamu yang bunuh Mama? Kamu jahat banget sih?” Dinar tak kuasa memendam amarahnya. Dia menangis.
Sementara gadis itu yang tak lain adalah Tiara tertawa semakin keras.
“kamu bilang aku yang jahat. Kamu yang jahat. Huh, kamu ngambil kasih sayang mama yang seharusnya untukku. Dan sekarang kamu pantas mati.”
Tiara semakin garang. Di kembali menghunuskan pisaunya kea rah Dinar. Sementara Dinar sadar dia salah tingkah. Dia mencari cara untuk mengulr waktu smpai Raka datang.
“Tapi kamu telah membunuh mama. Kamu udah membawa mama pergi dari hidupku. Apa itu kurang? Bukankah kalo aku ikut kea lam baka kasih sayang mama beralih padaku?” Dinr tergagap karena tak tau bagaimana caranya mengulur waktu. Kata-kata yang dipikirkannya langsung terlontar begitu saja.
Namun ucapan Dinar ternyata malah membuat Tiara marah. Tiara semakin garang.
“Gak. Kasih sayang mama gak boleh untukmu lagi. Gak boleh… sebenarnya aku udah puas, tai karena kamu lancing deketin kak Raka, aku gak pernah terima hal itu.” Tiara semakin marah. Sepertinya kesabarannya telah habis. “Dan cara yang paling tepat untuk mengenyahkan kamu dari kehidupan kak raka adalah membawamu kea lam baka dan mencampakkanmu ke neraka. Hanya itu tempat yang pantas untukmu. Tempat orang-orang yang merebut kasih sayang yang seharusnya bukan untuknya.”
Dinar semakin bergidik. Ia ketakutan. “ja…Jadi kamu Tiara?” tanyanya terbata-bata.
Tiara kembali tersenyum sinis sambil melangkah kea rah Dinar.
“Sepertinya tanpa dijelaskn pun kamu tau identitasku.”
Tiara semakin dekat hingga jarak 30 cm dari kening Dinar. Dinar memejamkan mata, pasrah. Namun tiba-tiba pintu terbuka. Raka dan Mang Diman berdiri disana. Melihat pisau yang hamper mengenai kening Dinar, Raka berteriak.
“Hentikan Tiara.”
Tiara terkejut dan menoleh ke arah Dinar.
“kakak?”
“Tiara, kakak mohon, hentikan. Kamu udah membawa orangtuamu untuk bersamamu selamanya. Masak sekarang kamu mau ngambil nyawa Dinar juga sih. Dia gak tau apa-apa Tiara. Jangan bunuh orang yang gak bersalah.” Rak mencoba menghentikan Tiara.
Tiara menurunkan pisaunya dan menoleh kea rah Raka.
“Apa kakak bilang? Dia gak bersalah? Dia bersalah kak. Dia yang buat Tiara mennggal. Dia juga yang ngereut kasih sayang mama dan kasih sayang kakak dari Tiara. Dia penyebab semua kesedihan Tiara. Dia pantas mati kak.”
Dinar begidik mendengr ucapan Tiara. Sementara Mang Diman pergi dari samping Raka.
“ta..Tapi aku bener-bener gak tau, Tiara. Aku gak pernah puna niat ngambil asih sayang siapapun yang diberikan padamu.” dinar mencoba berbicara meski terbata-bata.
“Bohong,” teriak Tiara.
“Gak ada siapapun yang berbohong Tiara. Kamu tau kakak sayang banget sama Tiara. Gak ada yang gantiin Tiara di hati kakak. Kalaupun kakak sama Dinar deket akhir-akhir ini itu hanya kebetulan. Plis, jangan bunuh Dinar.”
Tiara malah semakin garang mendengar ucapan Raka yag jelas-jelas membela Dinar. Tiara siap menancapkan pisau itu ke kening Dinr saat tiba-tiba Tania datang.
“Jangan Tiara. Mama mohon jangan bunuh Dinar.” Suara mam begitu lembut hingga mampu membuat Tiara berpaling lagi. Sementara Dinar lemas. Badannya telah dipenuhi keringat dingin.
“tapi, Ma……”
“Tiara, mama minta maaf selama ini gak jaga kamu sayang. Mama sayang sama kamu. Selama ini mama bukan gak mau mempedulikan kamu tapi mama gak tau dimana keberadaanmu. Mama minta maaf. Sekarang mama mau menebus keslahan mama. Ayo, kit harus kembali kea lam kita sayang. Mama akan mencurahkan seluruh kasih sayang mama untukmu.”
Mendengar hal itu Dinar ciut. Air matanya mengalir. Sementara Tiara berpaing kea rah Dinar dan memandangnya dengan sinis. Kemudian pandangannya beralih kea rah Raka yang memandang Dinar dengan cemas.
“Tapi….” Tiara belum hemdak meninggalkan Dinar yang telah lemah.
“Ayolah sayang,” ajak mama lagi.
“A…Aku minta maaf kalo aku udah merbut kasih sayang orang-orn yang kamu sayangi. Ak gak punya maksud apa-apa,” ujar Dinar terbata-bata. Tubuhnya telah basah.
“Kamu udah dengerkan Dinar meminta maaf. Kamu harus memaafkannya dan kita pergi,” ujar mama.
Tiara mengangguk dan berjalan ke arah mamanya yang mengulurkan tangannya. Diambutnya uluran tangan mamanya. mama tersenyum kepada Raka, kemudian tatapannya berpaling ke arah Dinar yang telah lemas. Tatapan itu penuh kasih, Diar ganti menatap mamanya dengan sedih.
“Ma…,” bisik Dinar pelan. Air matanya mengalir deras seiring dengan kepergian mamanya dan Tiara menembus asbes kamar.
Raka dan Dinar memandangi mereka hingga mereka tak terlihat lagi. Setelah itu seketika Dinar pingsan. Raka masuk ke kamar seiring dengan kehadiran Papa Dinar, Mbok Tunim, dan Mang Diman.