Chapter 6: 17 Agustus

135 12 0
                                    

Angin berhembus dengan lembutnya. Sinar matahari sore menyatu dengan warna tanah. Memberikan kehangatan pada penghuni bumi. Tanah yang ditetesi oleh keringat adalah bukti bahwa orang-orang telah bekerja keras pada hari ini. Dan disuatu tempat, rasa puas dan bangga muncul di tubuh mereka yang penuh keringat.

"Yosh. Akhirnya semua selesai. Kelas kita udah cantik dan rapi. Kagak kayak dulu lagi", kata Cella sambil berdiri didepan kelas mereka yang telah direnovasi. Dinding yang dulunya rapuh dan keropos telah mereka perbaiki dan di cat. Atap mereka yang dulunya bocor sudah tak lagi bocor. Meja-meja dan kursi-kursi yang tak layak pakai sudah berubah jadi kursi yang bisa dibilang lumayan.

Hiasan-hiasan merah putih menempel di sepanjang kelas. Pita-pita merah putih, bendera-bendera kecil, foto para pahlawan terpampang di dinding-dinding kelas. Tak hanya itu. Bahkan dinding kelas mereka pun di cat berwarna merah dan putih.

Sambil berlinang air mata dan keringat, mereka menatap kelas mereka yang baru.

"Aku puas. Rasanya aku bisa mati dengan tenang kalau begini", kata Ryan sambil menangis.

"Hehe.. Ryan seperti kakek-kakek saja", kata Luna tersenyum

"Kalau begitu sini biar kusembelih. Nanti kami pesta-pesta pakai dagingmu", kata Yasmine mengejek.

"Baiklah semuanya. Hari sudah sore. Mari kita kunci kelasnya dan pulang. Kita istirahat", kata Kak Rini dengan nada manjanya. Semua mengangguk dan mulai bersiap untuk pulang.

"Ren, ada apa? Ayo cepat siap-siap", tanya Cella pada Reno yang terus menatap keluar. Di halaman kelas yang telah tertata rapi itu, Reno berdiri seperti patung. Menatap ke kejauhan.

"Rico", jawab Reno dengan suara pelan.

"Hah? Rico? Aku kagak liat dia", tanya Cella lagi sambil berusaha melihat ke arah yang Reno lihat.

"Tidak. Bukan apa-apa. Ayo", kata Reno sambil berbalik dan pergi.

Tak lama, matahari pun terbenam. Menandakan hari yang penuh perjuangam telah berakhir. Dan tibalah saat untuk bersantai bersama keluarga atau teman.

"Ren, menurutmu apa acara tujuh belasan versi kita itu bakal sukses?", tanya Cella sambil menonton TV dikamar Reno.

"Mana aku tau. Dan kenapa kau seenak udelmu saja masuk ke kamarku?", jawab Reno kesal.

"Hm.. setidaknya kita perlu perlombaan ya? Apa aja kira-kira, Ren?", tanya Cella lagi tanpa mempedulikan Reno yang kesal disampingnya.

"Aku tak peduli. Keluarlah! Aku mau tidur", jawab Reno dengan kasarnya.

"Kita bisa kagak buat panjat pinang ya?. Ya paling tarik tambang atau balap karung. Atau lomba makan kerupuk kali ya?", kata Cella. Reno tidak tahan lagi dengan tingkah Cella. Akhirnya ia turun dari tempat tidurnya dan mengangkat Cella keluar dari kamarnya.

"Eh eh eh, iya iya aku keluar. Turunin! Eh eh! Aah!", teriak Cella yang ketakutan diangkat Reno. Reno melemparkan Cella lalu menatap Cella yang terduduk di lantai itu.

"Hmphh.. kau kan kagak perlu kasar begitu!", kata Cella kesal.

"Kau pikir itu salah siapa?", kata Reno lalu berbalik dan menutup pintunya.

"Hmph.. Reno bego!", kata Cella kesal lalu pergi. Belum jauh Cella melangkah, Reno membuka pintu kamarnya lagi. Setengah badannya keluar.

"Kalau bisa aku ingin sepak takrau pakai kain sarung", kata Reno sambil tersenyum. Cella menoleh lalu tersenyum dan mengangkat jempolnya.

Esok paginya, Cella dan Reno tiba di kelas mereka. Melihat teman-teman mereka rebut-ribut, Cella langsung berlari kesana.

"Ada ap-", belum sempat Cella menyelesaikan kalimatnya, ia terkejut. Ruang kelasnya hancur berantakan. Hiasan-hiasan mereka di sobek, dinding mereka disiram cat dan kotoran, meja dan kursi dihancurkan.

Senyum KelulusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang