Jalanan yang kulewati mulai sepi. Aku tidak tau dimana aku sekarang. Entah seberapa jauh aku melangkah meninggalkan keramaian. Bahkan meskipun tidak ada orang di sekitar yang akan berebut oksigen denganku, aku tetap saja merasakan rasa sesak di dada.
Aku menggigit bibirku saat rasa sesak itu membuatku benar-benar kesakitan. Bahuku terangkat saat aku berusaha menarik napas sebanyak yang aku bisa. Tapi, rasa sakit itu semakin menyiksaku.
"Berhenti memaksakan diri lo sendiri! Menangis saja, gue bakal mastiin Ayah nggak bakal tau kalau lo ngelakuin itu."
Perkataan kakakku yang selalu dia katakan setiap kali melihatku begitu tersiksa kembali terputar dalam kepalaku, tapi bagaimana caranya dia memastikan Ayah tidak tau kalau aku menangis jika dia bahkan memilih untuk meninggalkanku sekarang. Seharusnya dia bisa menahan dirinya. Seharusnya dia bisa memikirkanku sebelum memilih meninggalkan rumah. Bagaimana bisa dia meninggalkanku di tengah orang-orang yang begitu asing?
"Ayah sayang banget sama lo, lebih dari apapun di dunia ini. Dia nggak bakal nyakitin lo. Lo bakal baik-baik aja tanpa gue."
Kakak salah. Ayah menyakitiku sekarang. Tapi, aku akan percaya kata-kata kakak. Aku akan percaya kalau aku adalah orang yang paling Ayah sayang di dunia ini.
"Jangan dia!!" teriakan seseorang membuatku tersentak di tempatku berdiri karena terkejut, mengangkat wajah dan mencari-cari sumber suara.
Tanpa sengaja tatapanku bertemu dengan seorang cowok yang berada di ujung jalan yang cukup gelap. Hanya ada satu lampu jalan yang menerangi sepanjang jalan ini. Tapi, aku bisa melihat wajah itu yang berlumuran darah. Dia seperti bersiap berlari ke arahku tapi langkahnya mendadak berhenti bersamaan dengan sebuah tangan yang merengkuhku dari belakang. Aku bisa merasakan hawa panas dari orang yang merengkuhku karena posisi kami yang benar-benar dekat.
Kurasakan sesuatu yang terasa dingin menyentuh leherku. Aku melirik melalui sudut mataku dan tau bahwa sesuatu itu merupakan sebuah pisau. Pisau yang sangat tajam.
"Jangan berani-berani!" geraman cowok di depanku membuatku mengalihkan pandanganku kembali kepadanya. Tubuhnya terlihat gemetar menahan amarah. Tatapan matanya dingin menusuk.
"Lo cuman perlu ngikutin semua omongan gue dan gue bakal ngelepasin cewek ini." Suara serak dan dalam dari orang yang merengkuhku terdengar jelas di telinga. Jelas hanya seorang laki-laki yang memiliki suara seperti ini. Aku mendongakkan wajahku untuk melihat siapa yang sedang berusaha menggunakanku sebagai sandera. Seperti mengerti rasa penasaranku, laki-laki itu menundukkan wajahnya dan bertatapan denganku. Ah, ternyata hanya seorang cowok yang seumuran denganku.
Kusunggingkan senyum termanis yang kumiliki saat aku mengangkat tanganku untuk memegang tangannya yang tengah menempelkan pisau di leherku. Tubuhnya menegang. Dia mengangkat sebelah alisnya, mungkin keheranan dengan ekspresi yang kutunjukkan.
"Maaf," ucapku nyaris seperti bisikan dan tanpa mengatakan apapun lagi aku menekan tangan cowok itu hingga aku merasakan permukaan pisau itu melukai leherku. Cowok itu membelalakkan matanya, terkejut dengan tindakanku. Dia mungkin bersiap untuk menekan pisau itu karena mengira aku ingin menjauhkan pisau itu dari leherku. Tapi dia salah, karena yang kuinginkan adalah sebaliknya.
"Apa yang lo lakuin?" Teriakan itu terdengar bersamaan dari dua orang yang berbeda. Tanganku ditepis dengan kasar dan aku terhuyung saat tubuhku didorong menjauh.
Apa yang aku lakukan? Aku hanya berusaha mempercayai kata-kata kakak. Aku adalah orang yang paling Ayah sayang di dunia ini sementara Ayah adalah orang yang paling kubenci. Bukankah ini menyedihkan, saat aku harus melukai diriku sendiri hanya agar melihat orang yang paling kubenci tersiksa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Vinka
Teen FictionBukankah ini menyedihkan, saat aku harus melukai diriku sendiri hanya agar melihat orang yang paling kubenci tersiksa? Cover by @ariski