Enam Belas. Maaf

8.8K 1.2K 257
                                    

Sudah 12 hari saja semenjak terakhir kali aku update. Maafin. Lama nunggu ya? Dari hari minggu kemarin udah dapet kacamatanya. Cuma di sekolah ada Mid test, jadi gitu. Senin nanti ada gladi bersih untuk UNBK pula. Hadeuh.

Ini bab enam belasnya. Jangan lupa komen ya. Aku penasaran sama 2 hal sih sebenarnya. Harusnya aku tanyain di akhir part ini sih. Tapi nanya sekarang aja deh. Kalian jawab setelah baca part ini aja ya.

1. Menurut kalian, sikap Ika itu wajar enggak sih?

2. Kalau nemu cowok yang kayak Archie apa yang akan kalian lakuin? Bagaimana cara kalian ngehadapin cowok kayak dia? Aku ngerasa kalau nih cowok kayak muka tembok banget.

Makasih udah pada nunggu cerita ini. Happy reading.


*ilma*


"Aku menyesal." Adalah kalimat pertama yang diucapkan Archie setelah lama diam disampingku. Kalau memang 2 kata itu bisa disebut kalimat. Aku tidak mengerti kenapa dia baru membuka mulut begitu bale-bale tempat kami duduk mulai ramai oleh mahasiswa-mahasiswi lain. Lebih tidak mengerti lagi, kenapa dia bisa sebebas itu keluar masuk kampus ini. Seakan kampus ini miliknya saja.

Suasana hatiku masih buruk setelah bertemu dengan Pak Adi, dosen pembimbing kedua ku. Bukan karena Pak Dosen marah padaku, tapi karena skripsi yang kuserahkan sebelumnya masih perlu di revisi lagi sementara teman-temanku yang lain sudah beralih ke Pak Razak, dosen pembimbing pertamaku. Menyebalkan rasanya harus tertinggal seperti ini.

"Kamu tidak terlihat tertekan. Kupikir kamu akan terpuruk dan mengurung diri di kamarmu seperti biasanya." Katanya lagi.

"Kamu juga tidak terlihat menyesal." Aku menghela napas. Sulit untuk mengabaikan keberadaan orang seperti dia.

"Setidaknya seperti ini lebih baik. Dibanding harus mengkhawatirkanmu sepanjang hari karena tidak tau apa yang kamu lakukan."

"Sebenarnya kamu harusnya lebih khawatir melihatku seperti ini." balasku seraya tersenyum kecil.

Archie menggeser duduknya hingga merapat padaku. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang mengarah padanya. Tanpa sungkan, dia menopangkan dagunya di puncak kepalaku. "Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semuanya. Lagipula, aku terlalu mengenalmu untuk tau, kamu itu malas menyimpan dendam. Dendam akan membuat hidupmu jadi sulit, sementara yang kamu inginkan adalah kehidupan yang mudah."

"Bagaimana kalau aku tidak menganggap apa yang kurasakan pada mereka adalah dendam? Bagaimana kalau.. aku hanya menganggap ini sebuah permainan? Permainan kecil yang membuatku punya semangat untuk hidup."

"Aku tidak melarangmu, tapi bukankah lebih baik kalau kamu mencoba menjalani hidup yang kamu inginkan. Cobalah hidup untuk dirimu sendiri."

"Aku sudah mencoba melakukan itu. Tapi kalian yang tidak membiarkanku, ingat?"

"Mengakhiri hidupmu bukan pilihan. Aku memintamu untuk menjalani hidupmu." Kekesalan Archie terdengar jelas.

"Aku tidak menjadikan itu pilihan. Itu hanya caraku untuk membalas perbuatan kalian, semacam peringatan mungkin."

Archie menegakkan duduknya lalu menoleh hingga bisa menatap wajahku. Ekspresi wajahnya mengeras. "Kamu berubah menjadi kekanak-kanakan."

Aku mengedikkan bahuku tidak peduli. "Hanya cara kekanak-kanakan itu yang bisa membuat kalian menyadari bahwa apa yang kalian lakukan bisa melukai seseorang. Kalian perlu untuk melihat luka di tubuhku untuk menyadari bahwa aku merasakan sakit."

VinkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang