Dua Belas. Aku Nggak Kenal Kamu.

9.6K 1.5K 227
                                    

Ini pendek. Jadi, aku tambahin 1 part flashback setelah ini. Langsung cek aja ya. :)

"Saya percayakan anak saya dan kamu membiarkannya mati mengenaskan di tangan perempuan murahan itu. Sekarang kamu juga mencoba membunuh cucu saya dengan cara yang sama?" Oma berdiri berhadapan dengan Ayah yang terlihat masih kehabisan napas. Mungkin dia terburu-buru ke sini begitu Tante Cindy memberitahu mengenai kedatangan Oma.

Ayah menghembuskan napas panjang lalu menegakkan bahunya. Dia membalas tatapan Oma. "Pelankan suara Mami, ini di rumah sakit."

"Saya juga tau ini rumah sakit," nada bicara Oma naik beberapa oktaf, sengaja menunjukkan ketidakpeduliannya pada peringatan Ayah. Aku tidak pernah mendengar Oma semarah ini, dan sejujurnya ini cukup menakutkan.

"Mi, Vinka sedang sakit. Dia butuh istirahat. Kita cari tempat lain saja untuk bicara," bujuk Ayah dengan tangan yang berusaha membimbing Oma keluar. Tapi Oma menepis tangan itu bahkan sebelum menyentuh bahunya.

Posisiku yang berbaring menjadi tidak nyaman dengan keadaan yang tidak pernah kubayangkan saat aku membuka mata tadi, karena itu aku memaksakan diri untuk duduk di atas tempat tidurku.

"Saya tau. Saya tau cucu saya sakit dan saya lebih tau penyebabnya. Berani sekali kamu memaksa cucu saya tinggal bersama dengan perempuan murahan itu dan anak haramnya?"

Ayah mengepalkan tangannya menahan geram. "Vinka anak saya. Saya tau apa yang terbaik untuk anak-anak saya."

"Tau apa yang terbaik untuk anak-anak kamu?" Oma berdecih dan memandang sinis ke arah Ayah. "Mengusir Alan dari rumah karena kamu memaksakan dia menerima kehadiran penghancur itu menurutmu adalah hal terbaik untuk dia? Melihat Vinka berkali-kali mencoba mengakhiri hidupnya karena kehadiran dua orang itu di rumah yang penuh kenangan tentang keluarga bahagianya dulu adalah hal yang terbaik untuknya? Tidakkah kamu melihat betapa tersiksanya anak-anak kamu itu karena keegoisanmu?"

"Mami tidak tau apapun!" kata Ayah disela gemeretakan giginya.

"Anak saya meninggal dan kamu.."

"Siapa yang meninggal?" kataku menyela semburan amarah Oma.

Kedua orang yang sejak tadi sibuk berdebat itu kompak menolehkan pandangannya ke arahku. "Siapa yang meninggal?"

Wajah Oma semakin merah karena rasa amarah sementara Ayah tersentak di tempatnya seakan seseorang baru saja menonjoknya. Wajah Ayah memucat dan dia bergegas menuju ke arahku.

"JADI KAMU TIDAK MEMBERITAHU VINKA? Kamu bilang dia sakit tapi ternyata kamu memang tidak memberitahunya saat Bundanya.."

"BERHENTI!!" teriakan Ayah mengejutkanku dan juga Oma yang juga ikut terdiam. Mata Oma berkaca-kaca memandang Ayah tidak percaya. "Tega sekali kamu.." kata Oma lirih dan disusul dengan isak kecil.

Kesedihan Oma menular, membuatku juga mengeluarkan sedu sedan yang terdengar begitu menyakitkan. Ayah menatapku khawatir dan bergerak cepat menutup telingaku saat Oma kembali bicara. Suara Oma teredam, tapi aku masih bisa mendengar teriakan Ayah saat menyuruh Tante Cindy membawa Oma keluar.

Tindakan yang salah. Karena begitu Oma melihat Tante Cindy yang berada di depannya, Oma melupakan segala pelajaran kepribadian dan tata krama yang juga pernah diajarkannya kepadaku. Satu tamparan melayang dengan sangat keras di wajah Tante Cindy.

Tante Cindy terpaku di tempatnya. Aku terkejut. Begitu juga Ayah yang bergerak untuk memisahkan Oma yang terlihat siap membunuh istrinya.

"Dasar pelacur murahan!" umpat Oma disusul satu tamparan lagi. "Wanita sialan! Brengsek! Nggak tau diri! Anj.."

Telingaku kembali ditutup. Kali ini dengan headphone yang memutar suara Katelyn Tarver dengan you don't know- nya. Pas sekali.

Mataku mengawasi Ayah memisahkan Oma yang menjambak rambut Tante Cindy, sementara tangan Oma yang satunya tidak berhenti terayun untuk memukul apapun bagian tubuh Tante Cindy yang bisa diraihnya. Butuh usaha keras hingga Ayah berhasil mendorong Tante Cindy keluar ruangan. Tapi pertunjukan belum selesai. Karena Ayah terlihat menjadi pengganti yang harus siap menghadapi kemurkaan Oma. Tidak mengerti darimana datangnya tenaga dari tubuh kecil dan tuanya.

"Menikmati pemandangan?" Wajah dari orang yang memasangkan headphone ke telingaku muncul menghalangi pandanganku.

Aku mengangkat sebelah alisku melihat kemunculannya. Aku tau cepat atau lambat Archie akan datang.

Senyum miringnya tersungging seakan dibelakangnya tidak ada kejadian apapun. Tangannya terangkat dan menghapus air mata di pipiku.

"You don't know what its' like," bisikku mengikuti lirik lagu yang kudengar.

Dia merangkum wajahku dengan kedua tangannya yang belum meninggalkan wajahku. "Aku tau. Aku mendengarnya," dia mengatakannya perlahan sehingga aku bisa membaca gerakan bibirnya meskipun aku tidak bisa mendengar suaranya. Suara musik di telingaku terlalu besar, memekakkan telinga.

"Kalau begitu kamu tau, aku kecewa sama kamu."

Dia mengangguk.

"Kamu tau kalau kamu adalah satu-satunya orang yang kupercaya penuh, bahkan dengan semua sikapku yang menentangmu, aku selalu berakhir melakukan apapun yang kamu perintahkan?"

Dia kembali mengangguk.

"Kamu tau kalau aku lebih percaya kamu dibanding keluargaku sendiri?"

Sekali lagi dia mengangguk.

Aku menunduk, memandangi tanganku yang bergetar hingga dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Kalau begitu, apa kamu tau, kalau kamu membuatku terluka, lebih dari apa yang mereka lakukan?"

Archie mendorong headphone ku hingga terlepas. Tidak ada lagi suara ribut-ribut yang terdengar. Hanya ada keheningan di dalam ruanganku.

Perlahan Archie membawaku ke dalam pelukannya. Dia menundukkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh telingaku. "Maaf," bisiknya.

Satu tetes air mata kembali mengalir di pipiku. "Aku pikir aku kenal kamu. Setelah sekian lama nggak bertemu, kamu masih orang yang kukenal dulu."

"Aku masih orang yang sama seperti dulu," Archie mendekapku semakin erat.

"Archie yang kukenal tidak pernah melakukan sesuatu yang dia tau akan melukaiku," bisikku.

Wajah Archie semakin menunduk hingga terbenam di helaian rambutku. "Maaf."

"Aku tidak mengenal kamu lagi. Kamu berubah."

"Tidak. Aku masih orang yang sama. Orang yang akan melakukan apapun untuk memastikan kamu tidak terluka."

"Tapi kamu membuatku terluka sekarang."

"Salahku. Maaf."

"Apa aku masih punya seseorang yang bisa kupercaya?"

Archie terdiam. Dan aku menangis terisak dalam pelukannya.

-Vinka-

VinkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang