Aku tersentak dari lamunanku saat pisau di tanganku tiba-tiba di rebut paksa. Kepalaku menoleh ke arah Ayah yang menjauhkan pisau itu dariku dengan tangan yang anehnya terlihat gemetar. Tatapan matanya terlihat gusar saat aku menatapnya kebingungan. Dia mengulurkan tangannya lalu menarik tanganku hingga berada di atas pangkuanku, menggenggamnya erat. Aku bisa merasakan tangannya yang dingin dan basah. Membuatku semakin bertanya-tanya saja dengan keanehannya. Ayah tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Beliau adalah orang yang paling tenang dan tidak mudah terpengaruh.
Kuangkat kepalaku dan langsung menemukan tatapan Citra yang terarah langsung padaku. Dia menatapku waspada seakan aku bisa melakukan hal gila kapan saja.
Ah! Sebuah pemahaman langsung terlintas di pikiranku. Sejak tadi berada di meja makan resto dalam ruangan vip yang ada di Hotel A, hotel milik Ayah, yang kulakukan hanya menatap pisau steak yang ada di genggamanku. Hal itu pasti membuat Ayah merasa cemas, takut aku mempermalukannya di depan orang tua Archie yang sedang ikut makan siang bersama kami. Beliau takut aku berbuat gila dengan mencoba bunuh diri lagi dengan pisau itu.
Sepertinya aku berhasil membuat Ayah ketakutan karena tindakanku semalam. Meskipun aku tidak tau secara jelas apa yang terjadi. Well, aku kan sedang tidur, bermimpi buruk lalu begitu bangun tubuhku sudah terasa nyeri dengan luka yang ada di pergelangan tangan dan leherku. Kupikir itu benar-benar hanya mimpi buruk dimana aku melukai tubuhku sendiri. Tapi melihat luka dan rasa sakit yang nyata kurasakan, aku jadi bertanya-tanya, sampai sejauh mana sebenarnya kejadian semalam yang benar-benar mimpi. Sejauh mana yang dilihat Ayah secara langsung.
Aku penasaran. Tapi aku tidak mau orang lain menganggapku mulai gila sampai tidak bisa membedakan mimpi dan kenyataan, jadi kusimpan saja sendiri pertanyaan itu. Tentu saja, Archie adalah pengecualian. Tanpa bertanya dia sudah tau semuanya. Tau yang dilakukannya saat mendengar apa yang ada di dalam kepalaku? Archie terus mengolok-ngolokku sedang mencari perhatian. Bukan hanya dia tidak sopan karena melanggar privasiku, dia bahkan malah mengejekku untuk apa yang terjadi. Cowok yang baik banget!
"Loh, kok pisaunya diambil, Drian? Itu si Vinka makannya gimana?" pertanyaan Tante Mary membuat obrolan singkat yang masih berlangsung terhenti. Fokus kini beralih ke Ayah yang mendapatkan pertanyaan.
Ayah tersenyum dan mengusap kepalaku. Tatapannya terasa berbeda saat bertemu pandang denganku. "Tangannya luka. Dia pasti kesakitan kalau harus memotong steaknya terlebih dahulu."
Aku mengangkat sebelah alisku saat melihat Ayah yang menukar piringku dengan miliknya. Steak yang ada di piringnya sudah dipotong-potong kecil. Aku bisa melihat keraguan dari gerakan Ayah saat beliau menggenggamkan sebuah garpu di tanganku sementara pisau milikku tetap dijauhkannya. Tangan Ayah terasa meremas tanganku seakan memperingatiku untuk tidak melakukan hal-hal yang aneh.
"Oh iya. Kata Alex kamu jatuh lagi di kamar. Tapi kok bisa pas banget sih itu tangan dan leher kamu yang luka. Perbannya tebel gitu lagi. Kamu juga sempat demam kan yah? Alex sampai grasak-grusuk tengah malam keluar dari rumah dan buru-buru ke rumah kamu loh waktu denger kabar dari Ayu. Eh, tapi kamu udah nggak apa-apa kan yah? Jangan sampai kamu masih sakit tapi bela-belain keluar gini karena ajakan makan siang kami."
Jatuh di kamar? Hebat banget alasannya. Kulirik Archie yang tengah menyuapkan makanan ke mulutnya tanpa berniat mengatakan apapun.
"Aku udah nggak apa-apa kok, Tante," balasku menjawab pertanyaan Tante Mary dengan senyum di bibir.
"Kamu lebih hati-hati dong, Nak," kata Om Adam mengingatkan. "Kalau kamu kenapa-kenapa, Alex bisa lebih dulu mati karena jantungan." Lanjut Om Adam bercanda kemudian tertawa kecil. Disambut tawa sama dari yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vinka
Dla nastolatkówBukankah ini menyedihkan, saat aku harus melukai diriku sendiri hanya agar melihat orang yang paling kubenci tersiksa? Cover by @ariski