Satu. Sayang Padaku? Oh, Please?!

25.7K 2K 148
                                    

Aku benar-benar meragukan penilaian kakak tentang Ayah yang sayang padaku. Sebenarnya aku memang tidak percaya. Aku hanya berusaha percaya, karena kalimat itu keluar dari kakakku yang perasa dan sensitif dengan sekitarnya. Tapi, setelah apa yang terjadi hari ini, aku akan membantah dengan tegas kalau ada yang mengatakan Ayah 'sayang' padaku. Sayang nya pakai tanda petik, karena aku mulai berpikiran jika kakakku itu memiliki arti 'sayang' yang berbeda dari yang kupahami. Oh, please. Kenapa juga aku terus-terusan membahas hal seperti ini! Oh iya, benar. Karena aku sedang menjalani hukuman yang paling tidak berperasaan dari Ayah.

Pasti kalian juga akan berpikiran yang sama kalau tau apa yang terjadi padaku sejak aku terbangun pagi tadi di ranjang rumah sakit dengan tangan yang tertancap jarum infus di punggung tangan kiriku. Bedanya, bukan cairan putih yang mengalir melewati selang itu, melainkan cairan merah kental yang kuyakini seratus persen adalah darah. Aku sampai mual membayangkan segala darah-darah itu. Membuatku kesal setengah mati. Bener-bener setengah mati karena aku berpikir kalau aku ini sedang sekarat karena tindakan konyol dan bodohku yang menggunakan orang lain untuk melukai diriku sendiri. Menyayat leherku sendiri hanya untuk memutus urat nadiku benar-benar tindakan paling bodoh yang pernah kulakukan. Bodoh karena aku tidak mempelajari terlebih dahulu bagaimana caranya melukai diri sendiri agar bisa mati dengan cepat dan tidak perlu merasakan sakit lebih lama. Bodoh karena aku sekarang masih hidup dan merasakan sakit berkepanjangan. Nyeri banget, sumpah!

Seakan segala lukaku ini belum cukup membuatku menderita, seorang cowok telah menantiku di ruang rawat rumah sakit dengan tatapan mata super tajam dan tangan yang terlipat di depan dada. Seperti drama-drama yang aku tonton, aku berharap cowok yang sebenarnya manis itu, akan mengomeliku karena membuatnya khawatir dan kemudian cowok manis itu akan memandangku penuh kelegaan karena aku sudah sadar setelah nyaris mati. Dia akan menghambur ke pelukanku, menyuruhku berjanji untuk tidak membuatnya khawatir lagi seraya mengedip-ngedipkan matanya yang sudah berkaca-kaca. Bukankah itu manis sekali?!

Sayangnya, itu bener-bener hanya khayalanku.

Begitu mata kami bertemu, aku belum sempat untuk menanyakan pertanyaan klise seperti, 'Aku dimana?', 'Aku kenapa?', atau 'Kamu siapa?'. Dan blash.. amarahnya meledak dalam bentuk teriakan paling mengerikan yang pernah kudengar.

"LO CEWEK GILA NGGAK TAU DIRI!! KALAU LO MAU MATI, CARI CARA LAIN YANG NGGAK NGELIBATIN ORANG LAIN. LO HAMPIR NGEBUAT GUE JADI PEMBUNUH DAN NGEBUAT DIA..." Tangannya menunjuk seorang lain yang baru kusadari juga ada di ruangan ini. "...NYARIS NGEBUNUH GUE!!"

Aku syok. Speechless. Mungkin karena tidak terbiasa mendapatkan seseorang yang berani meninggikan suara di depanku, membuat air mataku jadi menggenang di pelupuk mata. Aku bukan cewek cengeng. Catat baik-baik itu. Aku hanya.. maksudku, itu hanya reaksi tanpa sadar yang kulakukan karena terkejut. Ya, benar. Hanya itu.

"Kok lo jadi nyalahin gue sih?" protesku. Suaraku terdengar serak dan bergetar tapi aku berpura-pura tidak menyadarinya dan terus membalas pelototan cowok di depanku ini.

"Lo nggak mau disalahin tapi lo ngebuat orang lain nyalahin gue atas tindakan tolol lo itu? Hebat banget lo!" dengusnya. Dia tidak lagi membentakku. Mungkin takut kena omel suster kalau terus-terusan berisik. Ini kan rumah sakit.

Aku mengerutkan kening mendengar omongannya. "Yah.. terus? Lo mau gue ngapain? Minta maaf?" tanyaku ragu saat melihat raut wajahnya yang tidak juga membaik.

"Gue mau lo ngejelasin ke orang itu kalau apa yang terjadi sama lo itu bukan salah gue. Gue nggak pernah yah pengen bikin orang lain mati. Walaupun gue sering tawuran tapi gue nggak pernah mau jadi pembunuh"

VinkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang