Delapan. Karena Aku Harusnya Mati!

13.4K 1.6K 129
                                    

aku baru sadar kalau aku update part ini dulu pas waktu masih rajin ke kampus. sekarang pas nge-repost, udah setahun lebih setelah lulus dari kampus. baru sadar kalau cerita ini udah lama banget. tapi ending belum juga keliatan. hehe. pembaca cerita ini ternyata orang yang sabar banget ya. sampe mau aja nunggu cerita enggak jelas ini lama. makasih buat kalian yang masih setia sama cerita vinka. sisa draf yang di wattpad tinggal 6, tapi aku lagi ngerjain part barunya. :D


Keadaan rumah sepi. Kulangkahkan kakiku perlahan untuk masuk. Berhenti sejenak di dekat rak untuk melepas sepatu yang kugunakan, aku mendapati diriku sendiri kebingungan karena rok abu-abu panjang yang terlihat menutupi kakiku. Kunaikkan pandanganku dan memperhatikan baik-baik apa yang kukenakan sekarang. Keningku semakin mengerut menyadari bahwa yang melekat di badanku ini adalah seragam SMA.

Bagaimana bisa? Padahal kan sudah 2 tahun lebih sejak aku lulus dari sekolah. Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Kemudian pemahaman baru masuk ke dalam kepalaku. Ah! Ini hanya mimpi. Tapi mimpi apa?

Belum sempat memikirkan terlalu jauh, kaki ku malah melangkah dengan sendirinya memasuki ruangan. Terus berjalan ke dalam melewati ruang makan dimana aku bisa melihat sekilas sosok Bunda yang tengah sibuk menyiapkan sesuatu di sana.

"Assalamualaikum, Bunda." Sapaan itu keluar secara otomatis begitu aku melewati ruang makan menuju tangga yang akan membawaku ke kamar. Tidak ada salam dengan ciuman di punggung tangan Bunda. Bunda tidak pernah mengajarkanku melakukan itu. Pernah aku mencium punggung tangannya, karena mengikuti apa yang dilakukan teman-temanku saat berpamitan kepada orang tua mereka, tapi Bunda malah berkata, 'Bunda nggak perlu kamu menunjukkan penghormatan dengan mencium punggung tangan Bunda setiap saat. Bunda sudah senang, cukup dengan kamu menjadi anak yang penurut'. Kemudian aku pun berhenti melakukan hal yang sama seperti temanku. Yang aku lakukan hanya menjadi anak yang penurut, seperti kata Bunda.

"Walaikumsalam, Dek. Kamu udah pulang? Ganti baju ya trus abis itu turun kesini buat makan. Bunda udah nyiapin makanan." Balasan Bunda terdengar saat aku sudah menapaki anak tangga terbawah.

"Nanti aja, Nda. Aku capek banget, mau tidur dulu." Kataku lalu berniat melanjutkan langkah. Tapi kemudian suara bantingan itu terdengar keras bersamaan dengan suara benda yang pecah.

PRANG!

Langkahku terhenti dan kecemasan membuat langkahku terasa kaku saat berbalik menuju ruang makan untuk melihat apa yang terjadi.

Pecahan piring terlihat berserakan di lantai. Napasku tertahan melihat Bunda yang berdiri di sana dengan mata yang berkaca-kaca. Pandanganku menunduk, tidak berani melihat wajah beliau.

"Kemari kamu!" Perintah Bunda yang langsung kuturuti. "Duduk!"

Kuputar kursi yang ada di depan meja bar, berseberangan dengan Bunda yang berada di daerah dapur. Dengan perlahan aku duduk disana masih dengan wajah yang menunduk. Kuremas kedua tanganku erat, penuh antisipasi.

Ada hari dimana Bunda bisa menjadi orang yang begitu sensitif. Hari dimana beliau menghabiskan waktu lebih banyak mengamatiku. Kemudian saat aku melakukan sesuatu yang dianggapnya suatu kesalahan atau pembangkangan, maka boom! Kemarahan Bunda meledak. Bunda tidak memukul, setidaknya tidak sering. Tapi kata-kata yang dikeluarkannya tidak pernah gagal melukaiku. Ayah akan pulang ke rumah dan menghukumku karena membuat Bunda menangis. Kemudian keesokan harinya, semuanya akan kembali seperti semula. Semua orang bersikap seakan tidak ada apapun yang terjadi. Mereka melupakan bahwa hatiku bisa saja terluka.

VinkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang