"Gara-gara lo, kita jadi tontonan orang," Dian mencibir setelah selesai merapikan tampilan wajahnya yang berantakan karena tangisan hebohnya. "Liat, cowok itu jadi merhatiin kita terus! Dia pasti nganggep gue aneh."
Aku memperhatikan arah pandang Dian dan tatapanku bersirobok dengan cowok yang berada di tengah ruangan. Dia tertangkap basah memperhatikan kami, tapi bukannya mengalihkan pandangan, tatapannya malah semakin lekat. Seakan dia begitu penasaran dengan apa yang kami bicarakan.
Tidak ingin kalah, aku menantang tatapan itu. Mataku ikut menelusuri wajah orang itu. Jarak kami memang lumayan jauh, tapi tidak cukup jauh untuk menyadari bahwa cowok itu lumayan.. manis? Mukanya enak dilihat, seperti cowok-cowok cantik di drama korea yang sering kutonton. Mata itu.. aku seperti pernah melihatnya. Tapi dimana?
Dian menyenggol lenganku. Dagunya mengedik menunjuk ke arah pintu masuk. Disana, aku melihat Kak Alan yang baru saja berjalan masuk. Tanpa kata, aku membereskan barang-barangku kemudian berdiri untuk bersiap pergi. Dian ikut melakukan hal yang sama dan berjalan mengekor di belakangku tanpa mengatakan apapun.
Langkahku terhenti saat si cowok manis tiba-tiba berdiri membuat kursi yang didudukinya menabrak tubuhku yang berniat berjalan melewatinya. Tasku terjatuh. Mulutku terasa kaku untuk membalas kata 'maaf' dari cowok itu saat dia mengembalikan tas kepadaku. Tangan cowok itu menahan lenganku sebelum aku berjalan menjauh, dia kembali berjongkok mengambil 2 ponsel yang terlihat tergeletak di lantai. Satu ponsel di ulurkan padaku sementara yang satu lagi dia letakkan di mejanya. Mungkin ponselnya ikut terjatuh saat kami bertabrakan.
Aku mengangguk sekali lagi saat dia mengatakan permintaan maafnya. Kugumamkan kata 'tidak apa-apa' seraya mengambil ponsel itu dan segera melanjutkan langkah. Mataku menatap lurus ke depan. Jantungku berdetak lebih cepat saat aku semakin mendekati tempat Kak Alan berdiri mematung. Nafasku tertahan saat jarak kami sangat dekat. Tanpa sengaja aku mencium wangi khas Kak Alan, wangi parfum yang selalu kuminta agar dia memakainya. Seperti perpaduan wangi rempah juga jeruk. Dulu, aku kadang memakainya saat merindukan Kak Alan tapi wangi parfum itu saat ditubuhku tidak pernah sama saat aku menciumnya langsung dari Kak Alan. Wangi yang selalu kuhirup saat Kak Alan memelukku yang mencoba tertidur agar tidak lagi merasakan sakit setelah menerima hukuman dari Ayah.
Aku mengepalkan tanganku mencoba menahan diri untuk tidak menghambur kepelukannya. Mataku terasa perih saat melewati Kak Alan begitu saja, terus melangkah hingga melewati pintu kafe.
Dian mengusap bahuku yang bergerak naik turun dengan cepat. Saat kurasa diriku sudah tenang, aku menoleh untuk melihat kembali ke dalam kafe. Kak Alan terlihat duduk berhadapan dengan cowok tadi. Seperti menyadari tatapanku, Kak Alan mengangkat wajahnya untuk melihat kearahku tapi aku segera membuang pandangan.
"Gue enggak ingin lagi perduli pada mereka," bisikku meyakinkan diri.
Dian merangkul bahuku dan membawaku pergi dari sana. "Ya, berhenti mikirin mereka. Lo yang penting. Bukan Mereka."
-Vinka-
"Lo yakin mau nginap sini?" Untuk kesekian kalinya, Dian mempertanyakan niatku untuk menginap di rumahnya. Aku menghembuskan napas kesal lalu meliriknya yang berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa? Lo enggak mau gue nginep?"
Dian tertawa kikuk. "Bukannya gitu, tapi lo kan enggak pernah nginep diluar gini? Bokap lo enggak marah? Lo enggak mau ngehubungin Bokap lo dulu gitu?"
"Enggak usahlah," kataku malas-malasan seraya menyamankan diri di ranjang Dian.
"Vinka, jangan gitu lah." Dian mendekat dan duduk di tepi ranjangnya. Dengan nada minta dikasihani, Dian berkata, "Gue emang bilang kalau diri lo yang penting tapi tolong perduli sama keluarga gue juga lah. Kalau bokap gue dipecat karena bokap lo ngira gue mengaruhin lo buat ngebangkang gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Vinka
Teen FictionBukankah ini menyedihkan, saat aku harus melukai diriku sendiri hanya agar melihat orang yang paling kubenci tersiksa? Cover by @ariski