PDA [3]

22 0 0
                                    

"Tanda tanganin ini."

Nata tertawa renyah, ia menghempaskan tubuhnya diatas Sofa.
"Lo mau gue tanda tangan itu ? Hak asuh ?"

Mereka berdua sedang berada di kediaman Nata. Foto keluarga bertengger manis di dinding tepatnya di belakang Awan.
Disana ada pria tampan berwajah oriental dan sangat mirip dengan Nata. Dan, Moura. Ibu Nata yang lebih dominan kebaratan. Foto keluarga yang sangat bahagia dan bersatu.
Tapi kini berbeda. Dua orang ini terpisahkan oleh kisah yang sangat klise.

Bercerai. Orang tua Nata dan Awan.

Alasan yang klasik, Ayah mereka selingkuh. Dan akhirnya Moura mengalami depresi berat setelah perceraian mereka, ditambah lagi Awan dibawa pergi oleh ayah mereka.

"Apa lo enggak punya otak ? Mau ngerebut gue dari tangan bunda begitu ? Terus tinggal sama tua bangka enggak tahu dari kaya dia." Nata meninggikan suaranya. Hatinya mencelos saat mendengar nama pria itu. Kenapa ? Harus ada pria yang sekejam itu.

Awan terdiam tidak mampu berkata lagi. Ia juga tidak menyalahkan perkataan Nata, memang benar adanya seperti itu. "Dia adalah orang yan kuat Nat, lo enggak tahu, dia bakal ngelakuin apa aja. Bahkan Bunda bisa saja terluka jika lo nolak untuk tanda tangan surat perjanjian ini." Awan benar-benar kehabisan kata, tidak tahu bagaimana cara membujuk saudara kembarnya yang usianya berbeda 5 menit.

"See ? Gue benci sama lo karena lo terlalu lemah. Kenapa lo suka memikul tanggung jawab ? Kenapa lo mau diperbudak sama lelaki kaya dia ?"

Awan terdiam tidak mau menanggapi semuanya. Hanya karena dirinya harus selamat, kekuarganya, bahkan Pelangi.

"Lo munafik. Gue tahu lo suka sama Pelangi kan ?"Nata mengucapkannya disela-sela konflik yang terjadi diantara mereka. Timing yang sangat tidak pas untuk membahas Pelangi.

Awan terdiam. Matanya menatap langit-langir ruangan. "gue gak suka dia." Lirihnya berbohong. Jemarinya saling meremas satu sama lain. Ia benar-benar gugup jika ada anggota keluarganya yang mengetahui perasaannya. Justru akan berbahaya bagi Pelangi jika keluarganya tahu bahwa Awan menyukai Pelangi.

"Okei. Bagus lah. Karena gue yakin, lo enggak bakal aman sama dia. Dan gue juga enggak ada niatan buat pindah hak asuh. Walaupun Bunda mengalami skizofrenia. Walaupun dia kaya gitu. Gue bakal tetep jaga dia dan selalu bersama dia. Enggak kaya lo, pengecut."

Awan tertawa miris. Membenarkan kata adiknya, Nata. Hanya saja, ia memang sudah menyadari sedari lama. Awan memang pengecut. Bahkan ia tidak berani mengambil resiko itu, mendekati pelangi.

* * *

Entah sudah berapa kali Pelangi menghentakan kaki-nya kesal. Gadis itu benar-benar bingung dengan perasaannya. Kerap kali ia berusaha menjauh dari Awan yang sekarang jahat, tapi Tuhan berkata lain. Mungkin ia berpikir bahwa Awan memiliki kelainan atau semacam penyakit kepribadian ganda.

Dia Kasar.

Betul, cowok itu memang super kasar dan dingin, tapi kenapa setelahnya dia bakal ngelakuin hal-hal yang bikin Pelangi melting.

Apa mungkin Pelangi yang mengalami ganguan kejiwaan, menyukai pria seperti itu. Lucu. Bahkan ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyukai Awan. Sekeras apapun usaha Pelangi untuk membentengi perasaannya, malah membuatnya semakim terjerumus dalam pesona Awan.

Tunggu ? Pesona ?.

Sudah cukup. Mungkin untuk saat ini Pelangi hanya kelelahan dan butuh tidur. Pikirannya sudah melantur kemana-mana dan tidak jelas. Okei, yang dia butuh-kan saat ini adalah tidur.

"Ngapain kamu bengong dan bukannya tidur ?"

Pelangi menoleh dan mendapati Kumala-ibunya.
"Belum bisa tidur Bun."

Kumala tersenyum jahil. "Cie, lagi mikirin cowok nih ye ?" Kumala masuk kedalam kamar Pelangi dan duduk di kasur.

"Enggak kok bun." Pelangi berdecak sebal karena Kumala selalu menggoda Pelangi. Lebih kesal lagi saat Kumala bisa membaca pikirannya. Apa bundanya seorang cenayang ?

Kumala terkikik. "iya deh. Yang enggak lagi mikirin cowok. Tapi dari tadi mandangin langit mulu."

"Loh ? Apa hubungannya langit dengan cowok ? Jadi Bunda berpikir bahwa aku udah enggak normal lagi yah ?" Ujar Pelangi polos.

"Awan." Ujar Kumala. Satu kata. Penuh makna. Tepat sasaran.

Kesal.kesal.kesal,

"Pelangi, enggak tahu maksud Bunda."

Kumala mengelus kepala Pelangi. "Kenapa anak Bunda enggak peka sekali. Kamu harusnya tanya alasannya kenapa Awan bersikap seperti itu." Kumala menjeda. "Dia Jahat sama kamu, tapi itu bukan kemauannya Pelangi. Pasti ada alasan."

"Lagian Pelangi juga udah enggak ada alasan buat dekat sama dia Bun." Pelangi terdiam. "Septi suka Awan." Bisiknya pelan.

Kumala kemudian mengelus kepalanya. "Kalau bunda liat, kayaknya Awan enggak suka Septi."

"Bunda sok tahu, ih."

Kumala terkikik, ia langsung berdiri kemudian menatap Pelangi.

"Cinta itu harus diperjuangin La, kalau diem aja mah, keburu diambil orang."

Pelangi hanya diam, setelah Kumala pergi ia baru bergumam.
"Kalau cuman Pelangi yang berjuang, Apa gunanya ?"

* * *

Nata dan Pelangi berjalan berdua di taman. Sebuah rutinitas yang biasa mereka lakukan. Berjalan, mengobrol dan bercanda pasti dilakukan oleh mereka. Akan sangat cocok jika mereka benar-benar menjadi sepasang kekasih.

"Inget gak, pas hari ulang tahun lo yang ke 17 ?" Ujar Nata.

Pelangi duduk di ayunan kemudian mengernyit bingung. "Inget kok, emang kenapa ?"

Tentu saja ia masih ingat. Nata memberikannya bunga mawar dan seribu bangau. Entahlah, hadiah sederhana seperti itu tapi mampu membuat Pelangi bahagia. Nata adalah sahabat terbaiknya. Dikala semua orang mencoba melukainya, pada saat itu Nata menolongnya dan menggantikan posisinya. Ia juga kembali teringat saat masa-masa SMP. Nata pernah memukul pria yang hanya ingin memainkan perasaan Pelangi.

"Jadi gimana, La ?" Suara Nata menyadarkan Pelangi dari lamunannya.

Pelangi menatap Nata dengan bingung. "Apanya yang gimana ?"

Nata tersenyum dan mengacak-ngacak rambutnya Pelangi dengan lembut. Ia menatap hangat langsung ke bola mata gadis itu. Senyumnya seperti ragu untuk mengucapkan satu hal.

Pelangi menjentikan jarinya. "Ada apa sih Nata ?"

Nata menggeleng. "Enggak jadi deh."

"Kan begitu, kalau ngomong pasti setengah-setengah." Pelangi kesal dengan kebiasaan buruknya Nata. Selalu berbicara tidak jelas dan tidak lengkap.

Nata menatap Pelangi dengan senyum penuh arti.
Gue belum siap buat ngerasain cinta sepihak. Gue sayang lo, mau enggak jadi pacar gue ?

Jika mulut Nata selamanya bungkam. Maka akan selamanya ia seperti itu. Penantian yang berujung kegagalan.

* * *

26 Des 2015, Sab

Pelangi dan Awan[Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang