7. Sinar gelap

1K 113 20
                                    

" Selamat ulang tahun, adikku.. "

Langkahku terhenti, tanganku yang semula ingin menggapai knop pintu kini hanya mampu mematung. Aku memejamkan mataku sembari menahan perih di dada, aku yakin meskipun hanya berupa gumaman kecil kalimat itu benar benar terucap dari bibirnya.
Lantas apa maksudnya?

" Bahagia mu adalah tanpa diriku "

Sadar akan penolakannya, aku kini sadar diri. Tahu dimana seharusnya aku menempatkan diri sebagai karyawan, bukan adik juga bukan seseorang yang memiliki hatinya.
Tanganku terulur meraih knop pintu dan membukanya tak berdaya, tubuhku mematung saat melihat wanita paruh baya tengah berdiri dihadapanku. Sama terkejutnya denganku, dia berpura pura mengalihkan pandangannya kearah lain. Berusaha menahan keinginan untuk berhambur kedalam dekapannya yang hangat adalah hal paling sulit saat ini, wanita itu tidak berubah. Harga dirinya terlalu tinggi untuk sekedar memperlihatkan kerinduannya padaku, anak yang telah dibuangnya.

" Maaf nyonya, saya permisi " ucapku, sempat kulihat tatapan matanya nanar saat aku memanggilnya nyonya.

Sejak dulu aku membiasakan diri dengan penolakan, berbagai cemooh yang ditujukan padaku hanya kubalas dengan senyuman. Berpura pura kuat meski tak jarang berakhir dengan tangisan.

" Ya? " Ucapku pada seseorang yang menelpon disebrang sana.

" Baiklah " Aku memutuskan sambungan dan bergegas menuju parkiran. Andre sudah menungguku disana,

Didalam mobil diselimuti dengan keheningan, aku memilih diam sementara Andre terlihat segan untuk memulai pembicaraan. Bukan tanpa sebab, pertemuanku bersama Erick dan Ibu tiriku yang menjadi penyebabnya.

" Ada apa? " aku menggeleng dan tersenyum. Mungkin Andre penasaran, sejak keluar dari kantor wajahku sembab.

Belum sempat aku membuka pintu mobil, tangan kokohnya lebih dulu menahanku. Dia memandangku dengan lembut, menyiratkan sesuatu hal yang serius .

" Aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku harus mengatakannya. Aku menyukaimu, " aku menahan napas saat malihat wajah tampannya mengatakannya dengan tulus.

Haruskah aku menolak laki laki sebaik dirinya?
Harus, karena dia terlalu baik untukku. .

" Maaf, kau terlalu baik untukku. Masih banyak wanita diluar sana yang lebih cocok bersanding denganmu selain diriku yang hanya seujung kuku ini "

Matanya menggelap, emosi menguasai dirinya. Ternyata penolakanku mengusik egonya sebagai lelaki .

" Belajarlah menghargai dirimu sendiri, membandingkan dirimu dengan orang lain sama halnya melukaimu "

Kami terdiam, andai dia tahu bagaimana beratnya hidup yang kujalani selama ini. Menerimanya sama saja melibatkan dirinya dalam kekacauan hidupku, demi tuhan aku tidak sepicik itu.

" Tidak banyak yang kau tau mengenai aku, " kata kata ini menjadi ucapan terakhirku sebelum mobilnya meninggalakan rumahku dengan kecepatan penuh.

Aku memandang langit malam dengan sejuta rasa yang berkecambuk dalam hatiku, rasa bahagia, sedih, sakit, hancur dan penyesalan yang besar melebur menjadi satu.
Memikirkannya saja membuat kepalaku pusing luar biasa.
Tanganku memijat pelipis dengan gerakan pelan, membayangkan kapan kebahagiaan itu akan datang.

" Ndah, ada yang nyariin lo tuh. "

" Siapa Ra? " Mungkin Andre, pikirku. Kepalaku semakin pusing memikirkannya, apa dia tidak mengerti dengan penolakan?

" Bukan, gak tau tuh. Gue juga baru kali ini liat, ganteng bingits deh.. Heran gue, yang ngedeketin lo rata rata cowok cakep tajir pula. Sayang gaada yang nyantol " Kuhiraukan semua perkataannya, rasa penasaran akan siapa yang datang membuat setiap langkahku terasa berat.

Laki laki itu, alasan dan sebab utama yang membuat hidupku berantakan kini berada didepan kontrakkanku.

" Mencariku ? " Tubuh tegapnya berbalik, dan rasanya tetap sama seperti dulu saat matanya tertuju padaku.

Dia berdehem pelan, setiap langkah besarnya memberikan efek ketakutan sendiri pada diriku.

" bagaimana keadaanmu ? " rasanya aneh saat dia menanyakan hal ini, sejauh aku mengenalnya basa basi bukanlah caranya memulai pembicaraan.

" Sejauh yang kau lihat saat ini "

" Bisa kita bicara? " Sama halnya denganku, ia terlihat tegang bahkan terkesan canggung.

" Sekarang kita sedang bicara "

" Maksudku berbicara empat mata " Nada bicara nya sedikit meninggi, mungkin mulai jengah dengan sikap acuhku.

" Jika menyangkut hal yang lalu, dengan berat hati aku menolak. "

" Kau! " geramnya tertahan.

" Apa lagi yang perlu dibicarakan? Bahkan kata maaf yang beribu kali kuucapkan tidak akan mengubah keadaan. Sadarlah kak, kekasihmu sudah meninggal sekarang bu- "

Kata kata ku tertahan saat kurasakan tangan keras dan kokoh itu menamparku dengan kuat. Suatu hal yang menyadarkanku akan ucapan yang mungkin sedikit menyakiti hatinya. Persetan dengan itu, bukankah dia juga sering menyakitiku dengan terang terangan?

" Kenapa? Kenapa menamparku?! " Emosi masih menggelitikku untuk membalasnya dengan perlawanan .

" Bahkan tamparan saja tidak cukup untuk menyadarkan dirimu yang angkuh akan dosa besarmu dimasa lalu! " Wajahnya memerah menahan emosi, demi tuhan baru kali ini aku melihatnya seperti ini.

Aku tersenyum miring, masih sanggup menantang meski hatiku ketar ketir tak sanggup untuk melawan.

" Berkacalah tuan, bahkan tanpa perlu ditampar pun aku sadar diri dengan perbuatan gilaku yang membuat calon pengantinmu meninggal! Aku tidak seangkuh dirimu yang bahkan menerima maaf saja kau tidak mau "

" Kau fikir membuat orang meninggal sama seperti kau memecahkan sebuah gelas? Semudah itu kah aku harus memberi maaf? Kau gila! " Matanya menyiratkan kesedihan, seakan tersadar aku memilih diam. Sejauh apapun aku memberontak, pada akhirnya tetap aku yang salah.

Lima tahun bukan waktu yang singkat bagiku untuk melarikan diri meninggalkan keping keping kepedihan. Tapi sekarang dia datang, menghancurkan kembali pertahanan yang selama ini kubangun.

" Lalu kau ingin apa dariku? "

Dia diam,

" Kau ingin aku mati? Hahaha, aku mengerti kematian harus dibalas dengan kematian. Bodohnya aku baru menyadari keinginanmu sekarang " Tatapan matanya menajam, rahangnya mengeras hanya dalam hitungan detik.

" Pergilah, aku bisa melakukannya sendiri " kataku disertai dengan tawa,

" Kuharap setelah ini kau akan mendapat kabar bahagia yang selama ini kau tunggu "

-
Dia memicu kendaraannya dengan kecepatan penuh, tak dihiraukannya lagi setiap umpatan para pengguna jalan yang hampir ia tabrak. Seluruh pikirannya tertuju pada ucapan gadis tadi, tidak. Demi Tuhan, bukan itu yang ia inginkan!

Dia menginjak remnya mendadak, ia tidak dapat menjernihkan pikirannya saat ini.

" Sialan kau! " Makinya dan memukul stir dengan kuat.

Tanpa sadar, air matanya terjatuh dari pelupuk matanya. Tanpa izin, ia mengalir dengan derasnya. Menyadarkan sang empunya bahwa kekhawatiran yang berlebihan menjadi penyebabnya.

--

Xoxo, vote dan comment ta kalo pingin lanjut cepet . kalo engga sih, kayanya lanjutnya lama
Lu enak baca doang, ngevote kaga ngomment kaga lah gue yg cape nulis-_-

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang