4. Selamanya begini

1K 89 10
                                    

Ingin mengenggam tapi terasa jauh.
Ingin mengejar tapi tak mampu berlari..
Mata ini selalu kugunakan untuk memandangnya dengan hangat dan penuh kerinduan. Tapi dia selalu menggunakan mata nya untuk menatapku dingin penuh kebencian.

Sedih jika mengingat jalan hidupku yang buruk. Atau memang ini adalah takdir yang digariskan tuhan untukku?
Di benci semua orang sudah biasa bagiku, namun ketahuilah merasa seperti orang yang terbuang dan tak diinginkan bukanlah hal yang menyenangkan.

Aku menatap langit langit gelap yang ditaburi bintang bagaikan permata diatas sana.
Bulan sabit . Bahkan hanya karena melihat lengkungan pada setiap sisinya, aku merasa seperti melihat senyumnya .

Menghembuskan nafas sedikit kasar, akhirnya aku memilih untuk memalingkan wajahku dan menenggelamkannya pada cekukan bantal yang empuk.
Rasa kantuk mulai menghampiriku.
Tapi, sebuah benda kecil yang tergeletak tidak jauh dari posisi ku berbaring terlihat sedang bergetar.

" Hallo " sapaku tanpa melihat kontak seseorang yang menelpon.

Hening. Dan aku merasa sedikit aneh pada saat ini,

" Selamat malam, dengan siapa? " tanyaku lagi dengan nada seformal mungkin.

Terdengar helaan nafas berat dari seberang telpon, dan aku bisa menjamin bahwa seseorang yang sedang berbicara padaku saat ini adalah seorang pria, tapi siapa?
Kemudian mati. Tiba tiba saja sambungan diputuskan secara sepihak dan membuatku mendengus kesal. Mungkin hanya orang iseng karena sudah terlalu lama sendiri (?)

" besok dan empat hari kedepan ikutlah bersamaku ke Bali untuk urusan klien " pesan dikirim dari serial number yang sama dengan seseorang yang menelpon ku tadi.

Dan aku merasa duniaku hancur bersamaan dengan itu

*

Aku menatap hamparan keindahan alam yang diciptakan tuhan seperti yang sering orang katakan ' nikmat tuhan mana lagi yang engkau dustakan ' .
Angin sepai sepoi tak henti hentinya berhembus hingga mengundang ombak ke bibir pantai.

Tanganku terangkat keatas, mengepal seolah aku bisa mengenggam angin walau itu sangat lah tidak mungkin.
Sama seperti ku saat ini, ingin mengenggamnya tapi selalu terasa jauh.

Bagaikan angin, dia terasa dan berada disekitar kita namun tidak bisa digapai.

Menghembuskan nafas sedikit kasar akhirnya aku menghentikan tindakan bodohku.
Malu saat kebodohanku ditonton oleh orang banyak, cukup aku yang boleh tau seberapa bodohnya aku ini.

Disinilah aku berada.
Keindahan alam semesta yang seharusnya bisa membuat ketenangan dan kedamaian bagi yang melihat, sangat tidak berpengaruh bagiku.
Aku tetaplah aku yang mempunyai nama indah, tapi tidak untuk kisah hidupku.

" sendiri kak? "

Kepalaku menoleh, mencari keberadaan seseorang tapi tidak kutemukan siapapun.

Sebuah tarikan diujung jeans celanaku menyadarkan ku bahwa telah berdiri seorang anak kecil pria yang sangat menggemaskan. Dia tersenyum tulus, tangan mungilnya menggenggam jemariku yang lentik.

" Hallo anak manis " sapaku, dia terlihat tertawa senang.

Aku berjongkok, menjajari tubuhku dengan tubuh kecilnya. Ntah perasaan dari mana, hatiku menghangat saat melihat senyum tulusnya. Jarang aku melihat orang tersenyum setulus itu padaku, yang ada hanyalah orang yang menatapku penuh rasa benci.

" kakak sendiri? " tanyanya mengulangi pertanyaannya.

" bersama mereka"
Kemudian kepalaku menoleh kearah samping, melihat sekumpulan pria berpakaian resmi sedang duduk mengumpul dalam satu meja.

Mata anak kecil itu berbinar, entah apa yang membuatnya senang sehingga sedari tadi ia tidak berhenti untuk melompat dan bersenandung kecil.

" Papaaaaa " teriak anak kecil itu ntah pada siapa.

Mataku menjajari pandangannya.
Lalu melihat seorang lelaki berperawakan tinggi dan maskulin sedang berjalan kearah anak kecil itu.
Papa nya kah?

" Papaaa, coco nemuin mama! " ucapnya riang, perubahan raut wajah pria itu terlalu kentara sehingga siapa saja yang melihatnya bisa tahu seberapa tegangnya pria itu saat ini.

Aku menelan ludah susah payah, seperti tahu apa yang ada dipikiran anak kecil ini. Apakah dia menganggap ku ibunya?

" Maaf " kata pria itu saat menangkap wajah bingungku 

Aku menggeleng dan tersenyum, selanjutnya hanya obrolan biasa yang terjalin diantara kami.
Namanya Andre, salah satu teman si dia yang berasal dari perusahaan lain. Cukup ramah, dan wajahnya juga tampan seperti para pebisnis muda pada umumnya. Hanya saja, dia sudah menjadi seorang ayah. Ditinggal oleh sang istri dengan seorang anak bukanlah hal yang mudah. Terlebih dia seorang laki laki, hal yang membuatku kagum akan ketegarannya.
Mungkin itu adalah alasan kenapa anaknya memanggilku dengan sebutan mama.

" Anda sendiri kenapa tidak bergabung dengannya? " dagunya terangkat seolah memberikan isyarat agar aku menoleh kearah belakang.

Kepalaku sedikit miring, dia disana. Berdiri kaku menatapku tak lupa dengan sorot dinginnya. Biarkan saja, malas menanggapinya.

" Tidak. Lagipula saya tidak melihat rekan rekan yang lain membawa sekertarisnya " kataku dan mengedikkan bahu tak perduli.

Sebelum pria itu berpamitan, dia menyempatkan diri untuk meminta nomer ponselku . awalnya aku enggan, tapi mengingat sikapnya yang sopan aku tidak menemukan alasan yang tepat untuk menolak.

" Mencari mangsa, huh ?  "
Suara ini yang daritadi kuhindari.

" Mencari perhatian lewat buah hatinya"
golok mana golok..

Alisku bertaut, tidak setuju dengan apa yang diucapkannya. Tapi sekali lagi keadaan mengingatkanku akan segalanya, dia maksudku Errick tidak akan pernah puas jika tidak melihatku menderita.

Selebihnya semua sindiran yang ia tujukan padaku hanya kuanggap angin lalu. Ibarat masuk telinga kanan, keluar dari telinga kiri. Untuk saat ini saja, aku ingin berdamai dengan keadaan.

Benda berukuran panjang yang terletak disisi kiriku bergetar, secepat kilat aku mengambilnya dan membuka pesan nya.

" Ini saya Andre, jika tidak sibuk Coco ingin bertemu denganmu " begitu sekiranya isi pesan tersebut.

Bermain dengan coco bukanlah hal yang buruk. Sebelum beranjak menemui coco aku menyempatkan diri untuk menemuinya, bermaksud meminta izin.
Tapi sekali lagi yang kudapat hanya makian, ntah aku mulai frustasi sendiri memikirkannya.

" Aku disini mengajakmu untuk berkerja! bukan untuk menemani mu mencari pasangan "  Nadanya mulai tinggi, dan bukan suatu pertanda baik.

" Maaf, tapi bapak sendiri sedari tadi tidak memberikan saya pekerjaan apapun " Kataku dan menekankan kata Bapak dalam ucapanku. Rasa sedih melingkupi hatiku, sekali lagi kesalahan masalalu yang telah kulakukan adalah sebab utamanya .

Dia menggeram, " Kita pulang malam ini juga "

*

Vomment ya gaes. Thx

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang