Pertemuan [ Dua ]

1.4K 102 10
                                    

Langit cerah yang didominasi sengan teriknya sengatan sinar matahari membuat hariku terasa lebih melelahkan. Peluh keringat terus membasahi pelipisku hingga jatuh sampai kebagian punggung.

Tapi ini semua belum selesai. Sepulang kuliah aku harus kembali ke caffe untuk bekerja hingga dini hari.
Bahkan untuk tidurpun, aku hanya bisa memanfaatkan waktu 3-4 jam setiap harinya.

Tak sebanding dengan kerja kerasku, penghasilan yang kudapatkan sungguh jauh dari rata rata. Tapi aku bersyukur, setidaknya itu bisa membuatku bertahan hidup sampai sekarang. Meski tak dapat dipungkiri, apakah kedepannya aku masih akan tetap bertahan? Atau malah mati karena kelaparan?

Haha, lupakan. Aku terlalu mendramatisir keadaan.

Sebuah tepukan dibahuku membuat ku kaget setengah mati, sedikit membalikkan tubuhkku kearah belakang dan akhirnya aku melihat Alan.
Teman lelaki satu satunya yang mau bertahan bersamaku, meskipun dia tahu kebutuhan ekonomi ku sungguh tidak memadai.
Dan sekedar informasi, dia adalah kekasihnya Rani.
Huh, disaat semua orang yang sebaya denganku sibuk dengan pacarnya.
Aku malah memilih jalan lain dengan bekerja dan terus bekerja. Tentu saja tujuannya hanya satu, tentunya untuk bertahan hidup sendiri.

" Ke caffe? " Tanya Alan dengan senyuman khasnya. Senyuman yang bisa terbilang manis untuk ukuran pria dikampus.

Aku mengangguk dan membalas senyumannya.

" Gue antar? "
Tidak ingin merepotkan, aku menggeleng. Jarak dari kampus menuju caffe, hanyalah terpaut beberapa ratus meter. Dan aku pikir, kakiku tidak akan berubah lumpuh jika harus berjalan sendiri kesana.

" Ayolah, ada yang pingin gue omongin sama lo " Bibirnya mengkerucut, manampakkan wajah merajuknya didepanku. Cih kekanakan sekali, bahkan didepan Rani kekasihnya pun dia tidak pernah bertingkah konyol seperti ini.

Aku mengangguk pasrah. Lalu tangannya terangkat untuk mengenggam tanganku menuju parkiran mobilnya.
Tapi belum lama aku merasakan hangatnya jemarinya, tiba tiba saja aku merasa ada sesuatu yang menghantam jemari kami yang terpaut.
Semacam berusaha untuk melepaskan genggaman kami.

Aku menoleh, pupil mata ku melebar saat melihat seseorang itu. Dia, pria itu..
Sial, kenapa harus bertemu lagi.

---------

" Tindakan mu tadi sungguh tidak sopan " sunggutku sebal, bagaimana tidak? Bayangkan, dia muncul tiba tiba seperti setan kemudian dengan lancangnya menarikku kemobil ini yang sampai sekarang pun aku tidak tahu akan diabawanya kemana.

" Berlebihan " sahutnya datar. Aku berani bertaruh, pria ini pasti tidak bisa menyanyi! Dengar, suaranya saja tidak ada nada sama sekali. Apalagi jika bernyanyi? Mungkin jatuhnya akan terdengar fals , ckck.

Aku memilih memalingkan wajahku kearah kaca jendela. Dan detik ini juga aku tersadar mobil yang kutumpangi ini adalah Lamborghini.
Yatuhan, aku bersumpah jika orang melihatku menaiki mobil ini mereka akan menertawaiku.

Mana mungkin, upik abu seperti ku bisa menaiki mobil sekeren ini? Lamborghini coy,
Aku merasa lebih pantas naik gerobak daripada mobil semewah ini.

" Reno "

Dia menoleh, menatapku dengan cepat.
Tatapan matanya berubah menjadi lembut. Aku seketika merinding melihat wajahnya selembut ini, mungkin karena aku terbiasa melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi.

" Kita kemana? " Tanyaku, dan hanya dijawabnya dengan deheman saja.

" payah kalo ngomong sama robot yang cuma bisa ngangguk ngangguk doang "

" Ke kantorku " jawabnya yang terdengar seperti menahan geram.

----------------

" Kenapa sih membawaku kesini? " aku benci ditatap para karyawan yang seperti merendahkan ku. Aku tahu diri, aku memang tidak pantas berada disini . tapi dia, pria arogant ini yang membawaku kesini tanpa tujuan yang jelas.

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang