10. Pelipur Lara yang tertinggal

963 114 9
                                    

Hembusan angin membawa rintik menusuk kulitku yang terbalut jaket tipis. Hazzelku masih setia menatap dedaunan yang terbang mengikuti arus angin membawanya. . meringis pelan saat kurasakan angin kencang kembali menerpa wajahku, kali-ini sedikit kencang hingga membuatku sadar berada diluar bukanlah hal yang bagus untuk saat ini.

Kaki ku melangkah, menapaki lantai kusam yang mungkin seumur hidup akan menjadi tempatku. Kursi tua yang hampir patah menjadi pelabuhan terakhirku. Kilasan demi kilasan kembali berputar didalam isi kepala yang mungkin saja sebentar lagi akan pecah, jangan katakan ini berlebihan. Salahkan takdir yang tidak memihak kepadaku.

Tangan kananku tertekuk menyanggah wajahku sebagai tumpuan, sedangkan tangan kiriku sedang asyik memegang korek api dengan gerakan memutar. . .

“ Ndah! “  aku menoleh sekilas, mepmerhatikan segelas susu yang kini berada dalam genggaman Rani.

“ Apaan? “

Rani menyerahkan segelas susu kearahku, sebelah tangannya ia gunakan untuk menyelipkan poninya yang mulai panjang kebelakang telinga. Saat matanya bertemu denganku, saat itu juga aku yakin ada sesuatu hal yang ingin ia katakan.

“ Ndah lo tau apa definisi Melodi? “ ucapannya menghentikan aktivitas tanganku yang memutar korek api. Aku mengambil nafas dalam dan menghembuskannya kasar.

“ Entahla, mungkin sebuah rangkaian nada yang disusun sedemikian rupa hingga menghasilkan suara indah “

“ Kalo arti Melodi Indah? “

Aku mengerenyit dan melayangkan sentilan kecil dikeningnya. “ Ya nama gue lah “

“ Nama lo itu bagus.. kadang Tuhan menciptakan keindahan bersamaan dengan penderitaan. Lo harus janji suatu saat nanti akan nemuin kebahagiaan dibalik nama indah lo? “

Semula aku hanya menanggapi ucapan Rani sebagai guyonan semata. Tapi entahla, sesuatu yang kuat dalam diriku penasaran dengan apa yang diucapkan Rani.

..

“ Kamu hati-hati dijalan “

“ Kalau ada waktu akan ku jemput “

“ Bye “

Begitu yang kudengar. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskanya datar. Sebisa mungkin aku menahan gejolak dalam diriku yang entah-itu-apa, berusaha untuk meyakinkan hatiku sendiri untuk menerima semua kenyataan meski pahit. Kenyataan yang kini tidak bisa lagi kurubah dengan cara kotor.

“ Masuk! “ aku terpelonjak sesaat, detik berikutnya sebisa mungkin aku ingin terlihat biasa didepannya.

Tanganku menyodorkan map berwarna merah dihadapannya, dari cara pandangku aku menyimpulkan saat ini dia sedang dalam kondisi tidak baik. Bukan bermaksud lancang, mengingat aku yang dulu pernah belasan tahun hidup bersamanya.

Tangan kokohnya tergerak mengambil pulpen hingga bergerak cepat diatas kertas.

“ ini silahkan keluar “ ucapnya datar tanpa mau menatapku.

“ Tunggu “ aku menghentikan gerakan tanganku yang hampir menyentuh knop pintu.

“ Ada apa, pak? “

Hening beberapa saat, hingga aku dapat melihat dengan jelas guratan lelah dari wajahnya. Dia nampak kacau dengan lengan kemeja yang tergulung sampai ke siku dan dasi yang entah sejak kapan terlepas dari kerah kemejanya.

“ Pulanglah “ suaranya merendah nyaris berupa bisikan. Sayang telingaku terlalu jeli untuk mendengarnya.

“ Maaf? “ tapi dia diam dan menutup matanya dengan kedua telapak tangan.

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang