13. Terpenjara Dalam Bisu

1.2K 108 25
                                    

Aku duduk di kursi meja rias. Kakiku yang telanjang menyusuri permukaan lantai kusam, mataku terpejam dengan kepala bersandar untuk menikmati angin dari kipas dilangit langit. Pertemuannya bersama Erick juga Andre juga berakhir dengan tidak baik karena selalu menimbulkan perperangan dingin. Reaksi pertamaku saat melihat Andre mendekat, juga melihat Erick yang mengeras adalah ingin mengusir mereka sejauh mungkin dari pandangan mataku. Tapi yang terjadi justru terbalik, aku yang berlari menjauh dari mereka . Nasib buruk tidak dapat dihindari saat kaki kecilku harus rela terjepit diantara pintu.

Ada suara ketukan dari arah jendela, sejenak aku tersentak. Tanganku membuka tirai dengan pelan, menatap titik titik keringat yang bermunculan di wajah Erick. Dia menatapku sedemikian rupa khawatirnya, entah berpura pura atau hanya alibi saja aku tidak ingin melibatkan perasaan untuk berasumsi lebih.

" Kakimu tidak apa-apa? "

Aku menelan ludah, berusaha untuk terlihat biasa saja dengan hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Erick membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu lagi, tetapi tertahan. Ada kebingungan dimatanya saat aku membuka jendela lebih terbuka hingga tidak ada penghalang diantara kami.

" Jika tidak segera diobati akan infeksi " dia menatap dalam kearah bola mataku. Aku mengamati dalam diam saat tangan besar miliknya menyentuh jemari kakiku yang terlihat memar.

Tidak menyukai tatapan mata dari laki laki ini, aku dengan ragu ragu menarik kakiku dari jangkauannya.

" Apa perlu ke Dokter? " tanyanya. Dan aku harus berjuang mati matian untuk tidak hanyut dalam kebaikannya. Karena semakin diriku terhanyut, semakin mudah juga rasa itu kembali muncul kepermukaan.

" Bukan patah hanya memar " koreksiku saat menganggap bentuk perhatiannya terlalu berlebihan.

Ada keheningan yang cukup panjang sebelum Rani muncul dengan aroma pelembut kain yang semerbak.

" Daripada Cuma diam kaya robot, mending bantuin jemur pakaian " Erick hanya tersenyum kaku, dan Rani menatapku dengan penuh maksud sebelum pergi meninggalkan kami yang terus terpenjara dalam diam.

" Kau cukup mendengarkanku, tidak perlu menjawab " Erick mengintruksi.

Aku memusatkan perhatianku pada dirinya sepenuhnya. Mata yang dulu hanya menatapku dingin perlahan mulai hidup dengan sorot yang melembut, bak ada sinar cahaya yang datang aku seakan memiliki harapan.

" Semua yang terjadi diantara kita bukanlah perkara yang mudah diatasi. Kemarahan, dendam, serta benci menjadi satu hingga berhasil menggelapkan sisi kemanusiaanku. Disini tidak ada yang benar, dan tidak ada yang salah. Semua hanya karena waktu, seandainya saja kau tidak menghilang dan aku tidak egois mungkin kita tidak akan seperti ini. "

Aku mengeluarkan napas yang tersenggal, percayalah sepenjang Erick berbicara sepanjang itu juga aku menahan napas.

" sebesar apapun rasa kecewaku, seberapa lama-pun kau menderita yang jelas kita sama sama terluka. Tapi kita memiliki cara sendiri untuk mengepresikannya. Beribu kali akan kuucapkan maaf meski tidak akan mudah bagimu untuk menerimanya. Aku hanya ingin awal yang baik, mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tidak ada maksud lain "

Erick menunggu jawabanku. Mataku menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong.

" Bicaralah sesuatu "

" Kau bilang aku hanya cukup mendengar, tidak perlu menjawab "

" Aku tau tidak akan semudah itu bagimu " dia menghela napas berat, membiarkan angin pagi membawa helai demi helai rambut hitamnya.

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang