12. Bicara Banyak

1K 101 38
                                    


Aku bermimpi lagi. Mimpi tentang keindahan masalalu yang telah lama hilang dibawa oleh waktu, rasa rindu yang menggebu membuat keadaan terhanyut seperti nyata lewat sebuah mimpi. Aku menghembuskan nafas berat, menarik selimut untuk menutupi kaki dinginku. Semua terasa jelas bahkan hampir menyerupai nyata. Kalau boleh aku memilih, aku ingin tidur lebih lama agar bisa meneruskan mimpi indah itu.

Ya. . Mimpi indah yang selamanya akan menjadi mimpi, Indah tapi hanya mimpi. Seperti namaku Indah tapi hanya Indah lewat mimpi. Lalu kapan akan menjadi nyata? Nanti jika aku berkhayal lagi, hayalan semu yang bisa pergi begitu saja.

Suara ketukan pintu menyadarkanku dalam keheningan diam. Detik berikutnya aku melihat Rani menghampiriku dengan senyuman. Alih alih membalas senyumannya, jemariku semakin terpaut dengan erat hingga aku dapat merasakan dingin dibawah tanganku. Rani terdiam dalam posisinya, dia memperhatikanku begitu lekat dan aku tidak dapat menyembunyikan apapun didepan sahabatku. Rani berlutut dan menyeka keringat dingin dipelipisku, satu tangannya ia gunakan untuk menggenggam tanganku yang juga dingin.

" Kenapa? " dia bertanya dengan hati hati.

Aku menahan napas, melihat kearah angka angka berpendar yang terdapat di display jam, suara dentingan jam membawa jarum jam berada pada satu titik yang lurus. Pukul dua belas malam,

" Mimpi buruk lagi? " tebaknya dan aku hanya tersenyum kecut. Mimpi buruk? Tapi kenapa aku menganggapnya mimpi indah?

" Aku mau tidur lagi, berharap bisa bertemu dengan Tuhan lewat mimpi dan bertanya sesuatu hal yang selalu menjadi pertanyaan bagiku " gumamku tanpa sadar dan menenggelamkan wajahku pada cekukan bantal.

" Bertanya? "

" Kenapa keindahan itu selalu datang saat mataku terpejam? Kenapa ketika mataku terbuka hanyalah keburukan yang kulihat? Kenapa... " entah sadar atau tidak, aku merasakan berat pada mataku saat ini.

..

" Ndah, ada yang nungguin lo didepan " aku menghentikan gerakan tanganku yang mengoleskan selai pada roti.

" Siapa? " Rani mengangkat bahu

" Kurang tau, diluar masih gelap " serta merta aku menatap kearah jam yang masih menunjukan pukul empat pagi. Siapa yang berkunjung sepagi ini?

Aku berjalan melalui Rani, Cahaya kebiruan menyambutku saat aku mulai menapakkan kaki keluar rumah. Angin sejuk membuatku terhenti dan mengadah pada langit biru gelap yang berkilauan oleh bintang. Aku melihat bulan yang sebentar lagi akan menghilang sambil mendengarkan suara suara jangkrik disekitarku.

Suara decit ayunan teras membuatku menoleh, dalam remang remang cahaya aku masih bisa melihat Erick terduduk disana dengan tangan yang menepuk bagian bangku kosong disampingnya. Dia tidak membiarkan kursi goyang itu mengayun dengan menapakkan kakinya dilantai.

" Kita butuh bicara " ujarnya, tak mampu membuat posisiku beranjak membelakangi bulan.

Cahaya kebiruan ditempat itu membuat mata Erick semakin bercahaya, membuat langkahku terhipnotis mendekat kearahnya.

" Duduk, aku tidak akan memakanmu " dia menarik tanganku hingga tubuhku terjatuh sempurna disampingnya. Merasa terlalu kurang ajar, aku menggeser duduku agar sedikit memberi jarak. Sekilas aku melihatnya menatapku dengan sedih, tapi mungkin aku salah lihat. Tidak ada yang bicara setelah beberapa menit berlalu; haya ada suara decitan ayunan yang mengisi kesunyian.

" Kau tahu, penyesalan selalu datang diakhir bukan " Ucapnya tiba tiba, namun seperti bicara pada dirinya sendiri.

Aku tidak menjawab, membiarkan kaki kecilku mendorong ayunan dengan pelan.

Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang