Hate That I Love You -Prolog-

4.5K 88 3
                                    

PROLOG

Sial. Hari pertama setelah liburan musim panas, aku justru terlambat datang ke kampus. Semua gara-gara Bibi Felma yang cerewet itu hingga Mom terlambat membangunkanku pagi ini. Semoga saja si tua Freddickson tak menghukumku karena terlambat menghadiri kuliah pertamanya. Yeah, dosen satu itu memang senang sekali menghukum mahasiswanya. Tidak terkecuali aku yang tentu saja sudah puluhan kali membuat kesalahan. “Annabelle Parker,” Oh... tidak. Kurasa si tua berkaca mata bulat itu bisa membaca pikiran orang lain. “Miss Parker, kau mendengarku?”

Kuputar tubuhku menghadapnya. “Hai Mr. Freddickson,” balasku sambil meringis. Sementara kudengar bisikan-bisikan lirih dari seisi kelas. Pasti mereka sedang menertawakanku sekarang.

“Kurasa kau tahu apa kesalahanmu. Cepat keluar kelas!” perintahnya sambil memperbaiki letak kacamatnya yang kurasa tidak terlalu cocok dengan wajahnya yang bulat itu. Errgh... aku memang sial. Si tua itu tidak pernah menolerir siapapun yang datang terlambat ke kelasnya. 

Well, tapi kurasa tidak mengikuti mata kuliahnya bukanlah hal yang buruk. Lebih baik, daripada aku harus tertidur di kelas karena mendengarkan ocehannya yang sama sekali tak menarik itu. Sayangnya, mata kuliah ini termasuk mata kuliah wajib yang harus kuambil semester ini. Kalau tidak, tentu saja aku tak akan repot-repot mengambilnya.

“Dihukum lagi?” Suara menyebalkan itu. Sepertinya kesialanku belum berhenti sampai di sini. Lihatlah, kini aku harus bertemu si kurus Megan Holmann yang sok cantik itu. Rupanya ia belum mau berhenti menggodaku.

“Apakah itu urusanmu?” balasku ketus. Tidak peduli dengan pandangan meremehkannya yang ditujukan padaku. Entah mengapa, aku selalu sial karena harus terus-terusan bertemu dengannya. Sejak masih di sekolah dasar, hingga kini aku dan dia masuk universitas yang sama. Yeah... walau jurusan yang kami ambil berbeda. Tapi tetap saja itu menyebalkan.

“Oh... ayolah Ann, kau akan lebih cepat tua kalau sering marah dan cemberut begitu honey!” Errgh... rasanya perutku mual hanya karena mendengar gaya bicaranya yang sok centil itu. Aku tahu ia hanya bermaksud mengejekku. Siapa yang tidak mengenal si gadis sombong yang satu ini.

“Pergilah, aku tak butuh ceramahmu!” semburku marah. 

Well, aku sudah memperingatkanmu. Jangan salahkan aku kalau nanti timbul kerutan di wajahmu yang... tidak seberapa cantik ini.” Apa dia bilang? Tidak seberapa cantik? Rasanya kepalaku sudah penuh dengan api sekarang. Kalau dia tidak segera meninggalkanku, pasti sudah kutarik hidung palsunya itu. Menyebalkan! Setidaknya aku tak pernah keluar masuk klinik kecantikan hanya untuk memperbaiki bentuk tubuhku.

***

“Ann, Mr. Freddickson memanggilmu ke ruangannya!” Apalagi yang diinginkan si tua berkacamata itu dariku? Semoga bukan sesuatu yang membuatku sial untuk yang ketiga kalinya hari ini.

Aku segera beranjak dari kursi cafetaria, dan menyuap sandwich terakhirku. Sayang sekali kalau tidak dihabiskan, perutku sudah melilit karena pagi tadi Mom belum sempat memasak sesuatu untuk kumakan. “Thanks Jane,” balasku sambil menepuk pelan pundak teman sekelasku itu.

Kuketuk pintu coklat tua di hadapanku, tak berapa lama setelahnya si tua Freddickson mempersilakanku masuk ke ruangannya. “Duduklah Miss Parker,” perintahnya. Kulihat ia tidak sendiri di ruangan ini. Ada seorang... oh, pemuda Asia yang kini duduk di salah satu kursi di hadapannya. Mendadak perasaanku menjadi tak enak. Semoga saja ini bukan kesialan lain lagi. “Miss Parker, untuk menebus kesalahanmu pagi tadi. Aku mau kau membantuku,” mulai si tua itu, yang aku yakin permintaannya ini bukanlah hal kecil yang dapat kutanggung dengan senang hati. “Kau bersedia Miss Parker?” tanyanya ketika aku tidak menjawab, oh... ayolah, kurasa ia tidak sedang memberiku tawaran yang bisa kutolak begitu saja.

“Apa aku bisa menolaknya Mr. Freddickson?”

“Tentu saja tidak,” balasnya tenang. Lihat. Lalu apa gunanya ia menawarkan padaku? Benar-benar tidak berpendirian. “Oke, kurasa permintaanku takkan sulit untukmu Miss Parker,” tambahnya sambil memilin kesepuluh jari-jari pendeknya-gembulnya menjadi satu di depan dada. “Aku hanya ingin kau membantu pemuda ini untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus barunya.”

What the... ternyata benar dugaanku. Si tua sialan ini tak berhenti memberiku masalah. Kulihat pemuda Asia itu kini melirikku sambil tersenyum. Oh... sial. Aku belum menceritakan kalau aku sangat membenci pemuda Asia sepertinya. Well, bukan karena mereka tak menarik. Tapi karena kehadiran mereka mengingatkanku pada seseorang yang sangat kubenci. Seseorang yang telah membuat hati Mom terluka dan hingga kini belum juga ditemukan obatnya. Dad. Si orang Asia tak berperasaan yang telah mempermainkan perasaan Mom yang sebaik malaikat hanya demi mengejar kekayaan keluarganya. Rasanya aku tak ingin mengakui diriku sebagai keturunan yang sama dengan mereka. Tapi sialnya, mata sipit, rambut gelap dan tubuh tak seberapa tinggi yang kumiliki tak dapat menampik kenyataan itu.

“Bagaimana Miss Parker?” Mr. Freddickson kembali bertanya. Sebenarnya ia ingin mempermainkanku atau bagaimana? Sudah jelas-jelas tadi ia bilang aku tak dapat menolaknya.

Well, kalau saja aku bisa menolak Mr. Freddickson,” balasku pasrah. Kurasa tak ada gunanya berdebat dengan si tua ini.

Good. Kurasa kalian bisa berkenalan lebih dekat lagi mulai sekarang,” tambah si tua itu untuk terakhir kalinya sebelum kami—aku dan si pria Asia itu—dipersilakan keluar dari ruangannya.

“Hai Miss Parker, namaku Aiden Lee,” aku menoleh ketika kudengar si pria Asia itu memperkenalkan dirinya, masih dengan senyum yang tadi ditunjukkannya padaku. Sial, kuakui dengan berat hati, senyumnya memang mempesona.

========================

Hai-hai... aduh, aku baru gabung di Wattpad, dan ini cerita pertamaku yang kupost di sini. Semoga berkenan buat teman-teman semua. Sebelumnya cerita ini sudah pernah dipost di blog pribadi dan di facebook :)

Hate That I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang