Tanganku mencoba menggapai sebuah buku yang tersimpan di rak paling atas, namun karena tubuhku yang pendek, aku hanya bisa meloncat-loncat seperti seekor kelinci yang menyedihkan. Aku menghela napas panjang. Sudah lima menit, aku berusaha mengambilnya, tetapi tetap gagal. Sepertinya selesai dari sini, aku harus lebih banyak minum susu untuk membantu pertumbuhan tinggi badanku.
Mataku memandangi buku tersebut seperti seekor kelinci yang mendambakan sebuah wortel. Kali ini, aku harus berhasil. Bagaimana pun juga caranya. Kurapatkan tubuhku ke rak dengan ujung jari kaki sebagai tumpuan badanku. Telapak tanganku yang lebar berusaha menarik buku tersebut.
Ketika tanganku berhasil memegang buku tersebut, sebuah tangan membantuku menariknya sehingga tangan dan bahu kami saling bersentuhan. Sentuhan tangannya yang sehangat musim panas mengalir ke sepanjang ragaku dan bermuara di dalam hatiku.
Aku menoleh ke belakang dan menemukan Jiang—waktu itu, aku belum mengtahui namanya—yang berdiri di belakangku dengan jarak yang bisa kuukur dengan jengkal tanganku. Aroma maskulin menguar dari tubuhnya, lalu memasuki indra penciumanku dan membangunkan kupu-kupu yang tertidur panjang di dalam perutku.
Mata hitam kami saling mengunci pandangan. Kupu-kupu di dalam perutku mulai menari-nari membentuk gemuruh yang mempercepat alat kerja jantungku. Bibirnya mengulum senyuman sebelum berlalu dari hadapanku. Senyuman yang mampu membekukan seluruh ragaku. Dan, senyuman yang meninggalkan cinta sebagai jejaknya.
****
"Saya dengar dari paman Shu, kau adalah karyawan baru di sini," katanya mengembalikan kesadaranku ke dunia nyata. Namun, ketika aku ingin membalas perkataan Jiang, sang setan pengGanggu datang secara tiba-tiba. Kugigit bibirku dengan kesal, aku harus memikirkan cara untuk melenyapkan Shuo secepatnya supaya dia tidak menggangguku lagi.
"Jia, aku tidak bisa menemukan komik naruto." Aku mendelik Shuo tajam "Kau bisa mencarinya sendiri. Kalau tidak, minta bantuan paman Shu, aku sedang sibuk." Shuo yang tidak memiliki rasa simpati sedikit pun berkata, "Aku sudah mencarinya, tetapi tetap saja tidak ketemu. Aku juga sudah meminta bantuan paman Shu, tetapi ia menyuruhku untuk meminta bantuan kepadamu."
Ingin sekali kuhancurkan wajah Shuo yang terlihat acuh itu. Kalau tidak ada Jiang, aku pasti sudah menendang bokong Shuo sampai membuatnya tersungkur ke lantai. "Sepertinya, kau harus pergi," ucap Jiang dan dengan setengah hati kuturuti.
Kuseret kakiku yang masih tidak rela berpisah dari Jiang ke rak yang memuat komik-komik. Aku berjongkok di depan rak, sambil mencari komik Naruto permintaan Shuo. "Apa matamu buta? Komik sebesar ini saja tidak terlihat," ujarku kesal sambil mengambil komik tersebut yang terselip di belakang komik lain. "Carilah sampai teliti sebelum meminta bantuan orang lain," lanjutku galak.
Shuo dengan tampang tidak pedulinya itu berkata sambil menyipitkan kedua matanya, "Mataku sedikit bermasalah jadi kesulitan untuk melihatnya secara jelas." Aku mendengus kesal karena aku tahu, ia pasti sedang bergurau. "Bisa tidak sehari saja, kau tidak membuatku kesal?" Seruku kencang sehingga beberapa pengunjung menoleh ke arah kami. Aku langsung menundukkan kepala, meminta maaf. "Tidak bisa," balasnya santai sambil membawa komik tersebut dan membacanya di sebuah kursi dekat meja paman Shu.
Dasar menyebalkan!!
****
Aku kembali membantu Jiang yang sudah menyusun setengah buku-buku tersebut, namun lagi-lagi Shuo menggangguku. "Jia, aku tidak bisa mengambil buku yang ada di sana," ujarnya sambil menunjuk ke sebuah buku yang tersimpan di rak paling atas. Apa dia ingin menghinaku yang bertubuh pendek dengan berpura-pura meminta bantuan mengambilkan buku? "Badanmu tinggi jadi tidak perlu meminta bantuan.""Kakiku sedang sakit. Kalau kau tidak percaya, aku bisa menunjukkannya," tukasnya sambil membuka kaus kakinya yang bau—entah sudah berapa lama ia tidak mencucinya—dan menunjukkan luka di kakinya. Aku menghela napas frustasi dan dengan terpaksa menuruti permintaannya.
****
Kuberikan buku tersebut kepadanya dan berkata sebagai bentuk ancaman. "Sekali lagi kau mengangguku akan kuusir kau dari sini."
"Kalau kau mengusirku sama saja kau meminta paman Shu untuk memecatmu. Di sini, pengunjung yang memegang kekuasaan tertinggi dan kau hanyalah rakyat jelata." Aku melakukan terapi pernapasan untuk meredakan amarahku yang sudah sampai ubun-ubun.
Aku berlalu dari sana, tetapi Jiang sudah mau pergi. Benar-benar anak itu merusak kesempatanku untuk menghabiskan waktu bersama Jiang. "Terima kasih, sudah mau membantuku. Aku jadi merasa tidak enak hati karena kau yang lebih banyak mengerjakannya."
Jiang yang baik hati menganggukan kepalanya. "Sama-sama. Tidak perlu sungkan. Kalau begitu, sampai bertemu besok, Jia," pamitnya sambil tersenyum manis. Jiang mengtahui namaku! Aku yang tidak mampu berkata-kata hanya bisa melihat punggung Jiang yang menjauh dan menghilang dari pandangan.
****
Semalaman, hatiku merasa tidak enak hati karena membuat Jiang harus bekerja jadi hari ini, aku berencana untuk mengajaknya ke festival kembang api sebagai bentuk terima kasihku kepadanya. Sejujurnya, aku juga berencana untuk mengakui perasaanku yang sudah tertimbun lama di dalam hati.
Aku memasuki toko buku dengan langkah ringan, kemudian menyapa paman Shu dengan wajah berseri-seri. Paman Shu yang sadar akan tingkah lakuku yang berubah dratis dari kemarin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Kutelusuri deretan rak buku, kemudian berhenti sejenak untuk kembali membaca tulisan pada memo yang akan kuberikan pada Jiang. Segaris senyuman terkulum malu-malu di bibirku.
Aku kembali melangkah setelah memastikan tidak ada kesalahan kata. Senyuman di bibirku kian melebar saat melihat Jiang yang sedang menyusuri deretan rak buku. Aku melangkah mendekatinya, namun langkah kakiku berhenti ketika melihat seorang gadis berdiri di belakang Jiang.
Senyuman di bibirku tersapu oleh pandangan gadis itu yang menggenggam tangan Jiang. Jiang menoleh kepadanya, lalu mengecup kening gadis itu dengan sayang. Sorot mata Jiang yang menyiratkan kelembutan kepadanya menghancurkan hatiku.
Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan situasiku saat ini. Semuanya terlalu menyakitkan. Pondasi harapan yang selama ini kubangun perlahan runtuh dalam waktu sekejap saja. Suara-suara di sekitarku berdengung hebat seperti sekumpulan lebah. Pandangan mataku memburam oleh air mata. Tanganku yang kebas tidak kuasa lagi menggengam memo tersebut. Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba saja aku berlari dari sana.
Meninggalkan sebulir air mata yang melebur bersama luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Semusim
Romance[Spring] Cinta itu candu, kawan. Sekali kau merasakannya maka kau tidak akan pernah bisa terlepas darinya. Bayangan gadis tersebut selalu menempel di dalam memori sang pria seakan ada lem yang membuat bayangan tersebut sulit terlepas dari memor...