[Autumn 1] Seorang Gadis Aneh

80 10 0
                                    

Kau pernah bilang kepadaku, satu hal yang paling kau takuti adalah kehilangan. Namun bagiku, satu hal yang paling menakutkan adalah rasa kecewa.

Mengapa?

Karena ia mampu menghancurkan hatimu hingga berebentuk serpihan. Apakah aku terlalu berlebihan? Tetapi, kau akan mengerti jika membaca suratku ini.

****

Kau selalu datang ketika musim gugur tiba dan duduk di samping jendela yang menampilkan pepohonan maple yang sedang mengugurkan daun-daunnya. Dan hari ini, kau kembali berkunjung. Membawa aroma musim gugur yang menenangkan, namun terasa menyesakkan untukku. Sebelum kau memesannya, aku sudah menyiapkan secangkir kopi kesukaanmu.

Aku tidak pernah melupai kopi kesukaanmu karena kau adalah pelanggan pertama yang tidak pernah menghabiskan kopi pesanan. Menyentuhnya saja kau tidak pernah dan malah sibuk menonton dedaunan kering yang menumpuk di jalan.

Memang apa yang menarik dari dedaunan tersebut?

Terkadang pula, kau akan berbicara sendiri, lalu menangis dan tertawa sehingga orang-orang menyangka kau adalah gadis gila yang menyasar masuk ke dalam kafe ini. Namun di mataku, kau terlihat istimewa. Baru kali ini, aku melihat orang yang sangat jujur sepertimu.

Selama ini, aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan topeng karena status keuangan keluargaku. Mereka berteman denganku hanya untuk memanfaatkan status tersebut. Walau aku mengtahuinya, aku tetap berteman dengan mereka karena kalau tidak, mereka akan mengataiku sombong karena hanya mau berteman dengan orang kaya lagi.

Dengan terpaksa, aku harus ikut berperan bersama mereka. Jujur saja, aku merasa muak dengan semua itu. Aku lelah hidup di antara kebohongan. Aku iri denganmu yang bisa begitu bebas mengekpresikan perasaan tanpa peduli dengan omongan orang.

****

Ada satu hal yang membuatku bingung dengan isi pikiranmu itu. Mengapa kau selalu membiarkan kopi pesananmu mendingin seperti udara di musim gugur? Kau tahu, kafe ini terkenal dengan cita rasa kopinya yang tinggi. Biji-biji kopi di sini juga memiliki kualitas menengah ke atas karena itu banyak pengunjung yang berdatangan dari berbagai tempat hanya untuk mencicipinya. Mereka juga tidak segan-segan memberikan bintang lima untuk kopi di kafe ini, tetapi kau?

Kau hanya melihat kopi tersebut sekilas, lalu kembali asyik dengan tontonanmu itu. Kau beruntung karena aku tidak pernah memberitahu ayah tentang hal tersebut. Ayah sangat tidak suka dengan pelanggan yang tidak menghabiskan kopi di kafenya walau kopi tersebut tinggal sedikit lagi.

Kau tahu, jika ayah mengtahuinya, ia pasti akan mendatangkan para bartender terkenal dari berbagai penjuru hanya untuk membuat kopi pesananmu hingga kau bersedia meminumnya.

Bukankah itu terlalu berlebihan?

Namun kali ini, aku pasti akan membuatmu meminum kopi tersebut hingga habis. Diam-diam, aku ikut menyimak obrolan para karyawan tentangmu. "Aku berani bertaruh, gadis itu tidak akan meminum kopinya lagi," ujar Jack sambil mengeluarkan uangnya sebagai bahan taruhan dan diam-diam melirikmu.

"Bukankah dia aneh? Untuk apa datang ke sini jika hanya ingin melihat sampah daun kering? Bukankah di dekat rumahnya juga ada?" ungkap Jo sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sudah kukatan jika gadis itu tidak waras,"bisik Lin yang berdiri di samping Jo.

Aku yang sudah tidak tahan mendengarnya membuang napas kesal. "Kalian tidak ingin dipecat bukan? Jadi kembalilah bekerja," perintahku tegas membuat mereka kembali melanjuti pekerjaannya. Jack menawarkan diri untuk membawa pesananmu, tetapi aku menolaknya karena ingin memberikannya langsung kepadamu.

****

Aku mendekati mejamu dan meletakan kopi pesananmu ke atas meja. "Ini pesananmu, Nona. secangkir mochacchino dengan sehelai daun maple yang menghiasi permukaannya. Dan, tidak lupa taburan kayu manis yang memberikan warna pada permukaan daun." Kuukir senyum hangat di permukaan bibirku sambil menahan debaran jantung dalam dadaku.

Mana mungkin ada seorang gadis gila yang memiliki wajah secantik dirimu?

Kau tetap memandangi dedaunan tersebut bagaikan seorang anak kecil yang sedang mendambakan mainan keinginannya. Aku mengetuk permukaan meja untuk menarik perhatianmu. Kau menoleh ke arahku sembari memaksa sang bibir untuk mengulas senyuman. Aku kembali mengulangi perkataanku tadi karena mungkin saja kau tidak mendengarnya. Kau mengangguk, lalu menatap kopi tersebut sekilas dengan pandangan yang sulit kuuraikan.

Banyak sekali yang ingin kutanyakan kepadamu selama ini, tetapi sebelum aku menanyakannya kau sudah terlebih dahulu bertanya, "Kau pernah kehilangan seseorang?" Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaanmu dengan apa karena selama ini apa yang aku inginkan pasti akan terwujudkan. Dari kecil, semua keinginanku langsung dituruti oleh kedua orangtuaku jadi aku tidak tahu seperti apa rasanya kehilangan. Jadi yang bisa kulakukan hanya membungkam sang mulut.

Bibirmu membentuk seulas senyum kecut. Kau menatap kedua mataku sehingga aku bisa melihat kedua matamu yang serupa dengan warna daun maple. Namun, yang kutemuan dalam sorot matamu hanya kehampaan.

Tidak ada semangat hanya ada luka.

****

"Maukah kau menemaniku mengobrol?" tanyamu, tetapi aku tidak mengubrisnya karena terlalu sibuk menebak isi pikiranmu lewat kedua matamu. "Bodoh sekali aku ini, tidak mungkin ada orang yang mau mengobrol dengan seorang gadis gila," komentarnya dengan nada menyiratkan kekecewaan, lalu kau kembali memandang ke arah luar jendela.

Aku yang tidak bermaksud seperti itu langsung duduk di hadapanmu untuk memberikan penjelasan,"Bukan begitu maksudku. Aku hanya penasaran, mengapa kau tidak pernah menghabiskan kopi pesananmu? Karena itu, aku sibuk menebak jawabannya melalui kedua matamu sehingga tidak mendengar pertanyaanmu tadi. Ibuku bilang bahwa mata tidak bisa berbohong."

"Karena aku tidak menyukainya."

"Jika kau tidak menyukainya, mengapa kau memesannya? Kau bisa memesannya dengan yang lain, bukan?" Kau terkekeh geli mendengar pertanyaanku. "Aku merasa seperti seorang penjahat yang sedang diintrogasi oleh seorang polisi hanya karena tidak menghabiskan kopi di kafe yang sangat terkenal."Aku memainkan arah pandangku untuk menyembunyikan rasa maluku, namun diam-diam tetap memperhatikanmu.

Kau tersenyum walau hanya sedikit, namun bukan sebuah senyum paksaan, melaikan senyum tulus. Menghantarkan aliran listrik ke sepanjangan ragaku yang meninggalkan desiran hangat nan lembut di dalam hati.

"Kau pasti sangat penasarn tentang hal tersebut?" Aku menganggukan kepala membenarkannya. Kau pun mulai bercerita tentang dirimu.

Sesaat, aku merasa seperti sudah mengenalmu sangat dekat, namun ketika alasan tersebut terungkap aku sadar bahwa aku belum mengenalmu dengan baik. 

****

Autumn akan dibagi menjadi tiga part seperti Summer. Untuk part kedua akan lebih banyak dialog. Saya minta maaf  jika Winter akan telat di post karena kesibukan saya sebagai kelas sembilan, tetapi saya akan mengusahakannya untuk tidak telat. Saya juga ingin berterima kasih kepada kalian yang sudah berkenan membaca Kisah Semusim. Saya berharap kisah ini dapat mengaduk-ngaduk perasaan kalian. Dan, jangan lupa untuk meninggalkan vote biar saya tambah semangat:))

Selamat membaca:)











Kisah SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang