Setiap musim gugur tiba, aku selalu menunggumu, tetapi kau tak kunjung datang. Menyakitkan mengtahui harapanku harus kembali pupus setiap saatnya. Anehnya, hatiku masih menyimpan harapan walau hanya sepersen saja hingga hari itu tiba dan aku berheti mengharapkanmu.
Kau datang ke kafe setelah bertahun-tahun menghilang. Aku yang sangat senang dengan kedatanganmu langsung membuatkan kopi kesukaanmu tanpa kau minta terlebih dahulu. Kau menerimanya sembari tersenyum manis kepadaku. Untuk pertama kalinya, aku melihatmu sangat bahagia.
Aku berniat memberitahumu jika aku lulus dengan nilai tertinggi di sekolah, namun aku mengurungkan niat tersebut saat kau memberikanku sebuah kartu undangan.
Kau mengatakan padaku, "Aku akan menikah."
Senyum manismu kian melebar, namun tidak membuatku semakin bahagia, melainkan patah hati. Seluruh tubuhku sulit untuk merespon ucapanmu. Mereka menolaknya mentah-mentah. Aku merasa seperti dibangunkan dari sebuah mimpi indah dan lansung dihadapkan oleh sebuah kenyataan pahit.
Lalu, apa gunanya penantianku selama ini?
****
Kau menggerak-gerakan tanganmu di depan wajahku sambil bertanya, "Apa kau baik-baik saja?" Aku pun menjawab dengan senyuman paling lebar yang kupunya, tetapi tidak membalas ucapanmu. Bagaimana bisa aku baik-baik saja jika orang yang paling kucintai akan menikah? Kemudian, kau memintaku untuk datang ke acara pernikahanmu, tetapi aku tidak berjanji. Bagaimana aku sanggup datang ke acara pernikahanmu jika semua itu hanya akan melukaiku?
Kau pun mulai bercerita tentang calon suamimu. "Ia adalah teman semasa kecilku. Kami selalu berdua dan sulit untuk dipisahkan sampai orang-orang menyangka jika kami adalah saudara kembar. Bukankah itu sangat lucu? Saudara kembar dari mana? Wajah saja beda jauh." Kau tertawa hingga pipimu memerah seperti tomat. Aku juga ikut tertawa walau harus dipaksakan.
"Ketika memasuki jenjang SMA, kami bertemu dengan kekasihku dan persahabatan kami bertambah satu anggota. Semenjak itu, kedetakatanku dengan calon suamiku mulai merenggang dan saat perpisahan sekolah, kekasihku menembakku. Aku tidak tahu bahwa ia terluka melihat semua itu walau begitu ia selalu di dekatku dan menghiburku ketika harus kehilangan orang yang paling kusayang." Kau mengambil jeda sejenak untuk menyeruput kopi yang menguarkan aroma harum dan kembali melanjutkan cerita.
"Namun, aku menjauhinya dengan membangun tembok tak kasat mata. Saat itu, aku benar-benar sedang kalut dan membutuhkan waktu untuk membenahi perasaanku yang berantakan. Aku sering memarahinya dan menyuruhnya untuk pergi saja, tetapi ia tetap di sisiku dan mengatakan bahwa ia mencintaiku dan akan selalu bersamaku walau aku akan selalu menolaknya. Dan, perlahan aku mulai membuka hati untuknya."
Kau cepat-cepat menyembunyikan senyum malumu dengan meminum kopi. Diam-diam, aku meremas celanaku untuk mengubur perasaan sesak yang kian mendesak dada. Kesempatanku sudah dicuri oleh pria tersebut.
Kau melirik ke arah jendela yang menampilkan pemandangan daun maple yang berguguran ke atas permukaan aspal. "Semenjak itu, aku mulai mencoba kembali berdiri dan mengikhlaskan kepergian kekasihku. Karena itu, aku jarang datang ke sini. Tempat ini selalu mengingatkanku dengannya. Tetapi, hari ini aku datang untuk mengatakan selamat tinggal kepadanya. Menurutmu, apakah dia akan bahagia dengan pilihanku ini?"
Kau kembali memandangku. Tatapan matamu yang setenang musim gugur masih mampu menggetarkan hatiku yang sudah kehilangan bentuk. "Dia pasti bahagia karena melihat orang yang dicintainya bisa kembali tersenyum lebar."
Bagaimana denganku? Apa aku bahagia melihatnya bisa tersenyum dengan leluasa tanpa harus menanggung sebuah? Aku tidak tahu. Ingin sekali aku berteriak untuk menumpahkan seluruh perasaanku ini.
"Terima kasih sudah mau menjadi teman berceritaku. Terima kasih karena tidak membenciku dan menganggap aku gadis gila. Dan, maaf jika aku terlalu banyak bercerita kepadamu," katamu sembari mengulum senyum paling tulus, lalu mengerling tajam kepada para karyawan yang suka membicarakanmu.
Kulepaskan cengkraman pada kain celanaku dan berusaha melebarkan kedua sudut bibirku untuk membentuk senyuman walau semua itu kian melukai hatiku.
****
Setelah menghabiskan kopi, kau berpamitan kepadaku karena masih memiliki keperluan lain. Aku mengangguk dan mengantarmu hingga depan pintu. Kau kembali mengingatkanku untuk datang ke acara pernikahanmu. Aku yang tidak ingin diingatkan harus kembali berpura-pura. "Baik. Baik, aku mengerti." Bibirmu mengulum senyum perpisahan sembari melambaikan tangan kepadaku.
Aku teringat dengan pertanyaanmu ketika itu, "Apakah kau pernah kehilangan seseorang?" Saat itu, aku tidak tahu, apa itu kehilangan? Tetapi sekarang, aku tahu jawabannya, aku pernah kehilangan seseorang dan orang itu adalah kau.
Namun asal kau tahu, satu hal yang paling menyakitkan untuk hatiku bukan karena kehilanganmu, melainkan karena rasa kecewa atas penungguanku selama bertahun-tahun.
Bagaimana pun juga aku harus tetap menerimanya karena ini semua adalah tanggung jawab atas pilihanku memilih menunggumu. Mungkin, saat ini aku belom sanggup merelakan kepergianmu, tetapi aku berjanji suatu hari nanti, aku akan mererelakanmu seperti pohon maple yang merelakan kepergian dedaunan yang selalu menghiasinya.
****
Sampai bertemu di kisah Winter:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Semusim
Romansa[Spring] Cinta itu candu, kawan. Sekali kau merasakannya maka kau tidak akan pernah bisa terlepas darinya. Bayangan gadis tersebut selalu menempel di dalam memori sang pria seakan ada lem yang membuat bayangan tersebut sulit terlepas dari memor...