[Autumn 2] Secangkir Mochaccino

63 10 0
                                    

"Sebenarnya yang menyukai kopi tersebut adalah kekasihku. Ia menyukai makanan dan minuman yang manis, sedangkan aku tidak terlalu menyukainya. Bukankah, itu sangat aneh? Biasanya seorang laki-laki sangat tidak menyukai yang manis-manis," ujarmu sembari tersenyum sedih ke arah kopi tersebut.

"Jadi untuk mengenangnya, aku selalu memesan secangkir mochaccino kesukaannya." Pandangan matamu beralih kepadaku. "Aku menyukai secangkir kopi hitam dan jangan menggunakan gula."

"Jika kau tidak keberatan, bolehkah aku tahu, ada apa dengan kekasihmu?"

"Aku belom selesai bercerita, tetapi kau sudah banyak bertanya," keluhmu kesal seraya mendelik kepadaku yang segera menutup mulut. Pandanganmu kembali terpusat ke pemandangan di depan kafe. Selaput bening membungkus kedua bola matamu. Membuahkan seulas senyum getir di bibirmu.

"Kekasihku telah meninggal setahun yang lalu tepat saat musim gugur tiba. Ia meninggal karena tabrak lari. Sebelum kepergiannya, kami bertengkar hebat hanya karena sebuah masalah kecil. Aku tidak pernah tahu bahwa sebuah masalah kecil bisa membawa dampak yang luar biasa. Aku meminta putus dengannya, tetapi ia menolak keputusanku dan mengejarku. Ketika ia sedang mengejarku, sebuah truk dengan beban berat berjalan cepat ke arahnya. Sang sopir berusaha mengerem,  namun sayangnya rem tersebut rusak sehingga ia kehilangan kendali. Dan..." Kau merapatkan kedua bibirmu. Selaput bening tersebut sudah menjelma menjadi butiran air yang berlinang di pipimu. "Menabrak pacarku. Aku harus kehilangannya tepat di depan mataku."

Kau menolehkan kepalamu ke arahku untuk mengamati reaksiku. Aku hanya menatapmu seperti sebuah patung. Aku  tidak tahu, reaksi apa yang harus kuberikan kepadamu? Kau letakan tanganmu pada sehelai daun maple yang menempel pada permukaan kaca, lalu kembali bercerita.

"Semenjak itu, semua orang menyalahkanku atas kematiannya. Keluarganya mengatakan kepadaku untuk mati saja. Mereka benar, aku memang lebih pantas mati. Lagipula, untuk apa hidup jika yang aku ketahuinya hanyalah rasa sakit?" Tawa hambar menguar dari mulutmu. Mendatangkan rasa sakit ke dalam hatiku.

"Tetapi, aku mengurungkan niat tersebut karena sebelum ia pergi, kita pernah saling berjanji di tempat ini. Ia memintaku untuk tetap hidup jika suatu saat nanti kita harus berpisah untuk selamanya. Saat itu, aku menganggapnya sedang bercanda karena ia terlalu sering berbicara omong kosong. Ia juga bilang kepadaku, jika aku merindukannya datanglah ke tempat ini." Kau menghela napas berat seakan ada sebuah benda yang mengganjal saluran pernapasanmu.

"Kekasihku adalah pecandu kopi. Ia sangat menyukai berbagai macam kopi, tetapi yang paling ia sukai adalah mochaccino di kafe ini. Ia juga bilang bahwa kopi di sini adalah kopi paling terbaik yang pernah ia minum karena itu kami sering datang ke sini. Kekasihku juga menyukai pemandangan musim gugur dari kafe ini; meminum kopi sembari memandang hamparan dedaunan maple yang menenangkan hati. Menurutnya, semua itu adalah pemandangan langka. Aku yang merasa ia terlalu berlebihan mengatakan, bukankah kafe-kafe lain juga memiliki pemandangan seperti ini? Ia hanya tertawa, lalu membalasnya dengan kau akan mengtahuinya suatu saat nanti. Dan akhirnya, aku mengtahui maksudnya itu."

Kau mengambil jeda sejenak untuk mengisi paru-parumu dengan udara baru. Ingin sekali, aku menghapus air matamu itu. Namun, aku bukan siapa-siapamu. Jadi yang bisa tanganku lakukan hanya saling memeluk dan mencegahnya untuk melewati batasan. 

"Setelah ia pergi, aku sering berkunjung ke sini setiap musim gugur untuk menenangkan hatiku. Aku memesan secangkir mochaccino kesukaannya hanya dengan itulah aku bisa merasakan keberadaannya. Ia seperti sedang duduk di hadapanku dan berbicara kepadaku melalui dedaunan maple yang tertiup angin. Karena itulah, aku sering berbicara sendiri untuk mengeluarkan seluruh beban di dalam hatiku, lalu menangis karena mengingatnya, dan tertawa karena tersadar bahwa ia sudah pergi. Sampai orang-orang menyangka jika aku ini gila."

****

Air matamu kian menderas membawa seluruh perasaan yang menggumpal dalam dadamu. Kau menoleh kepadaku dan mengamatiku yang masih membisu. Kau menghela napas kuat-kuat. Bibirmu bergetar karena menahan suara tangisan. "AKU BUKAN SEORANG GADIS GILA!" Kau berteriak kencang sehingga beberapa pengunjung menoleh ke arah kita. Aku meminta maaf kepada mereka dan kembali memusatkan perhatian kepada sosokmu. Kau menunduk dalam-dalam dan menangis tersedu-sedu di sana.


"Mengapa...tidak ada satu pun orang yang mengerti perasaanku? Aku...hanya lelah dengan orang-orang yang menyalahkanku atas kematiannya. Apakah mereka tidak tahu, perkataannya itu dapat menghancurkan hati seseorang hingga menjadi sebuah kepingan? Apakah mereka tidak tahu perkataannya itu bisa memutar balik sebuah kehidupan? Aku merasa bahwa akulah sang sopir yang menabraknya." 

Kau kembali mendongakkan kepala dan bertanya kepadaku, "Menurutmu apakah kematiannya adalah sebuah kesalahanku?"

Aku memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat. Aku belum pernah dihadapkan oleh sebuah masalah yang sepahit ini. Dan sekarang, aku harus menemukan jawaban dari masalah ini. "Menurutku, kematian bukanlah sebuah kesalahan. Kematian adalah takdir Tuhan yang tidak dapat diubah. Sejauh apa pun kau berlari dari takdir tersebut pasti suatu saat nanti kau tetap harus menerimanya," aku menjawab dengan ragu-ragu. 

Apakah jawabanku ini tepat? Tunggu, mengapa aku jadi terlihat bijak?

 Ah, sudahlah.

Kau tersenyum di antara air mata yang masih berlinang di pipimu. Merambatkan perasaan tenang ke dalam hatiku karena bisa mengukir senyuman di bibirmu dengan jawaban tersebut. 

"Kau tahu, satu hal yang paling kutakuti selain Tuhan adalah kehilangan. Karena saat itu, aku harus melepaskan sesuatu yang paling kusayangi. Sesuatu yang sudah melekat erat dalam hatiku. Dan saat itu pula, aku harus bisa bertahan di antara luka dan rasa sakit." 

"Sepertinya, aku sudah terlalu banyak bercerita."

Aku lekas menggelengkan kepala. "Aku senang mendengarnya."

****


Sebenarnya saat itu, ada yang ingin kukatan kepadamu, namun aku memilih untuk membungkamnya dan menyimpan kata-kata tersebut di dalam hatiku. Namun kini, aku akan mengatakan semuanya. Aku senang mendengar cerita tentang dirimu karena dengan itu aku bisa lebih dekat denganmu dan semua teka-teki tentang dirimu di dalam kepalaku dapat terpecahkan. Dan, aku bisa melihatmu dengan waktu yang lama dan jarak yang dekat.

"Tentang mochaccino ini, kau belum pernah mencobanya jadi kau bilang tidak menyukainya. Mungkin saja rasa manis dari mochaccino ini bisa membuatmu kembali bersemangat. Tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan?" ujarku sembari tersenyum manis. Kau memandang permukaan mochaccino yang beriak dan terlihat ragu-ragu untuk mencobanya. "Aku tidak bisa terlalu lama di sini karena harus kembali membantu yang lainnya," pamitku, lalu bangkit dari duduk.

Kuberikan sekotak tisu dari meja sebelah kepadamu. "Aku tidak suka melihat seorang pelanggan keluar dari kafe ini dengan menangis." Aku tidak suka melihatmu jadi berhetinlah untuk bersedih. Kau menerimanya dan berkata, "Terima kasih." Aku berlalu dari sana dan diam-diam masih memperhatikanmu yang sedang menyeruput mochacinno sambil menangis.

       ****

"Bos muda, kau telah berhasil," ucap Jack sembari membawa cangkir kopi pesananmu yang sudah habis. Senyuman lebar tersemat sempurna di bibirku. Jack memberikan secarik memo kepadaku sembari berbisik, "Darinya."

 Aku pun langsung menerimanya dan membaca tulisanmu sembari berseri-seri.

Kopi buatanmu sangat enak.

Dan, katakan kepada mereka bahwa namaku bukan gadis gila, melainkan Autumn.

Aku berlari keluar kafe untuk melihatmu. Kau berdiri  di antara deretan pohon maple. Tanganmu meraup sehelai daun maple dengan seulas senyuman yang menghiasi bibirmu. Senyuman yang mampu meluruhkan hatiku seperti angin yang mampu meluruhkan dedaunan maple.

Namun semenjak itu, aku tidak pernah melihatmu lagi.

Kisah SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang