[Summer 3] Harapan

92 10 3
                                    

  Aku duduk di sebuah kursi kayu yang terletak di belakang toko buku. Kepalaku tertunduk dalam-dalam. Hatiku seperti sedang ditusuk oleh ribuan jarum. 

Sakit. Perih.

Selama ini, aku menantinya, tetapi kenapa harus gadis itu yang dipilihnya? Mataku membiarkan ribuan air mata untuk membawa pergi perasaan sesak yang menyelimuti dadaku. Aku mendesah berat, selamanya aku hanya akan menjadi bayangan yang tidak terlihat olehnya.

"Jia, paman Shu mencarimu. Ia khawatir karena kau tiba-tiba berlari keluar," sahut sebuah suara yang kuyakini suara Shuo. Aku mendesah berat, di saat-saat seperti ini mengapa masih ada setan pengganggu? "Jia, kepalamu akan sakit kalau menunduk lama-lama," lanjutnya membuat kesabaranku habis. Aku langsung berdiri dan berteriak kepadanya, "BISAKAH SEHARI SAJA KAU TIDAK MENGGANGGUKU!!?"

Shuo langsung terdiam mendengar teriakanku yang kencang. Mata cokelatnya memandang wajahku yang sembab. Sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tidak kupahami. Kupalingkan pandangan mataku dari sosoknya, lalu kembali duduk dengan wajah yang ditundukan dalam-dalam.

Aku bisa melihat Shuo yang duduk di sampingku. "Kalau kau terus menunduk seperti itu bisa-bisa badanmu bungkuk seperti nenek." Aku mengerling tajam kepadanya memberi tanda sekali lagi dia membuka suara akan kujahit mulutnya. Shuo menyerah, "Baik-baik, aku akan diam."

****

Aku tidak ingat, sudah berapa lama kami saling duduk terdiam di sana. Mataku yang memerah melirik Shuo yang sedang memandang laut dari kejauhan. Toko buku paman Shuo terletak di dekat laut sehingga banyak pengunjung yang berdatangan untuk menikmati laut sambil membaca buku.

Namun, jika kuperhatikan, aku seperti melihat sosok Shuo yang lain. Shou yang sadar sedang diperhatikan menoleh kepadaku sehingga kedua mata kami saling bertemu. Kualihkan mataku dari mata cokelatnya yang entah mengapa membuatku gugup.

Shuo mengeluarkan kartu pinjaman buku dari dalam tasnya dan menuliskan namaku sebagai pemilik kartu tersebut, lalu memberikannya kepadaku. "Untuk apa?" tanyaku bingung. "Anggap saja kartu ini sebagai tempat permohonan. Kau boleh menuliskan keinginanmu di tabel buku pinjaman dan aku akan mengabulkannya. Tapi, kau hanya boleh meminta satu keinginan dan jangan yang aneh-aneh," terangnya sembari menyodorkan bolpoin ke arahku.

Aku tidak langsung menerimanya melainkan mengamati wajah Shuo dengan dahi yang mengernyit. Apakah setan pengganggu salah minum obat pagi ini? Kenapa hari ini, dia terlihat begitu serius."Hei, ini kesempatan langka lho. Datangnya hanya sekali seumur hidup. Mumpung aku sedang berbaik hati kepadamu."

 Aku pun menerima kartu tersebut dan memikirkan keinginan apa yang akan kutulis. Bagaimana dengan Jiang putus dengan gadis itu? Aku menggeleng-gelengkan kepala, itu terlalu kejam. Selagi Jiang bahagia dengan gadis itu, aku harus bisa melepaskannya walau secara perlahan.

Aku memberikan kartu tersebut kepada Shuo yang baru keluar sambil membawa stampel—entah untuk apa. Wajah Shuo mengeruh melihat keinginanku melihat matahari terbenam dari atas bianglala, lalu dengan cepat ia kembali memasang wajah tidak pedulinya itu. Ia memberikan cap sebagai bukti resmi bahwa ia akan mengabulkan keinginanku.

****

Shuo menarik tanganku sehingga mencegahku menaiki bianglala yang akan membawa kami. "Sebentar saja," ucapnya sembari melakukan terapi pernapasan, lalu memanjatkan doa. Telapak tanganku bisa merasakan peluh dingin yang membasahi tangan Shuo. "Shuo, kau takut—" ia memotong ucapanku dengan menarikku masuk ke dalam bianglala tersebut.

Kisah SemusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang