Hyun-Jae menerawang jalanan di depannya. Salju yang semalam membungkus kota membentuk gundukan di sisi jalan. Beberapa orang sibuk membersihkan salju yang menutupi permukaan jalan.
Hyun-Jae kembali merapatkan jaketnya. Tubuhnya terlihat seperti akan tenggelam ke dalam jaket. Ia mengusap-ngusap kedua tangannya. Sesekali, matanya kembali mengecek notifikasi handphonenya yang tidak menunjukkan kehidupan sama sekali.
Lucu sekali dirinya, mengapa ia masih berharap gadis tersebut akan membalas pesannya walau ia tahu, itu semua mustahil. Hyun-Jae mengadah, memandang langit yang buram seperti suasana hatinya. Ia membuang napas sesak ke udara sehingga membentuk uap yang menghilang bersama angin musim dingin.
****
Ekor matanya melirik ke kursi di sampingnya. Dulu, selalu ada orang yang akan duduk di sampingnya. Menggenggam tangannya untuk memberikan kehangatan.
Namun kini, semua itu hanya sebatas kenangan. Kenangan yang selalu menorehkan luka di dalam hatinya. Menghancurkan hatinya yang sudah retak seperti permukaan es di atas aspal.
Hyun-Jae bangkit dari duduknya dan memasuki bus yang menepi di depannya Ia berhenti di tangga bus dan menoleh ke belakang. Sudut bibirnya tertarik ke ujung dan membentuk seulas senyum perpisahan.
Hyun-Jae kembali memasuki bus dan memilih bangku terakhir walau hari ini, bus sedang kosong.
Ia selalu memilih bangku terakhir setiap menaiki bus karena dari sini, ia bisa mengamati gerak-gerik para penumpang. Dan dari sini pula, ia bisa melihat sosoknya secara diam-diam. Namun sekarang, ia harus menghentikan kebiasaan tersebut.
Matanya kembali mengarah kepada bangku ketiga dari belakang yang berseberangan dengan tempat duduknya. Selaput bening membungkus sorot matanya yang menyimpan kerinduan. Dengan cepat Hyun-Jae menyembunyikan dengan sebuah senyuman. Sangat memalukan jika seorang pria menangis di tempat umum.
Rekaman di dalam memorinya kembali menanyangkan kejadian dua hari yang lalu.
****
Hyun-Jae mengerling ke arah jam tangan pemberiannya. Pukul sepuluh malam. Cepat-cepat ia membereskan peralatan menggambarnya dan berlari keluar dari gedung falkutasnya. Ah sialan, kalau hari ini dosennya tidak memberikan banyak tugas ia pasti tidak akan terlambat.
Hari ini, ia benar-benar harus mengalami banyak kesialan. Selama berlari, ia harus menahan rasa sakit pada bokongnya akibat terjatuh saat melewati lapangan yang licin karena ulah permukaan es.
Hyun-Jae berhenti di halte bus dekat kampusnya dan menemukan Choon-Hee sedang menunggu bus sambil tertidur. Entah mengapa, rasa sakit pada bokongnya mendadak menghilang saat mengtahui bahwa gadis tersebut baru saja menunggu. Hyun-Jae tidak kuasa menahan senyum geli melihat Choon-Hee yang tertidur sambil memeluk kertas partitur.
Ia berjongkok di hadapannya, lalu menarik kertas partiturnya secara hati-hati dan meletakannya di atas permukaan tas biola yang tersimpan di samping tubuhnya. Hyun-Jae selalu kagum dengan cara tidur Choon-Hee.
Ia bisa tidur di mana saja dan tidak pernah terbangun dengan gangguan-gangguan di sekitarnya walau sekali pun ada bencana alam. Tetapi, ia hanya akan terbangun apabila mendengar suara bus seakan tubuhnya memiliki alarm kedatangan bus.
****
"Sebegitunya kau mencintai musik hingga merelakan seseorang yang kau cintai." Hyun-Jae mengadah untuk menyembunyikan hatinya yang terluka. Ia kembali memandang gadis tersebut—lebih tepatnya rambut gadis tersebut karena wajahnya tertutup oleh rambutnya.
"Bukankah aku sudah pernah bilang untuk tidak berlatih hingga larut. Kau bisa sakit jika seperti ini terus." Senyum masam tersemat pilu di bibir Hyun-Jae. Ia menghela napas panjang. "Aku juga sudah bilang untuk memakai pakaian yang lebih hangat. Kau ingin mati kedinginan?"
Hyun-Jae melingkari syal miliknya ke leher Choon-Hee, lalu duduk di kursi paling ujung supaya ia tidak menyadari keberadaannya. Setiap malam, Hyun-Jae selalu datang ke halte untuk mengantar Choon-Hee pulang. Tidak aman jika seorang gadis pulang sendirian malam-malam.
Sesekali, matanya akan melirik Choon-Hee yang masih terlelap. Ingin sekali, ia duduk di sampingnya, namun semua itu hanya akan membuat Choon-Hee merasa tidak nyaman. Sekarang, mereka hanyalah sebatas dua orang yang tidak saling mengenal.
****
Choon-Hee langsung terbangun saat mendengar suara bus yang berhenti di depannya. Ia merapihkan barang-barangnya, lalu memasuki bus dengan mata yang setengah terpejam. Hyun-Jae mengikutinya dari belakang dan memilih bangku terakhir.Hyun-Jae menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu bangkit dari duduknya dan duduk di samping kursi Choon-Hee yang kosong.
Ia memindahkan kepala Choon-Hee ke bahunya supaya kepalanya tidak kembali terbentur permukaan kaca. Ia mengusap-ngusap kepala Choon-Hee dengan lembut untuk meringankan rasa sakit pada kepalanya walau Hyun-Jae tahu, gadis itu tidak akan sadar bahwa kepalanya telah terbentur kaca.
Mata Hyun-Jae mengamati wajah Choon-Hee yang sangat dekat dengan wajahnya. Seakan ada medan magnet yang menarik wajah Hyun-Jae untuk kian mendekat ke wajah Choon-Hee. Hyun-Jae menggenggam pipi Choon-Hee yang memerah dan terasa hangat di kulitnya.
Ia mengecup bibir Choon-Hee secara halus dan membiarkan matanya untuk terpejam. Tidak ada perasaan hangat yang mengalir ke dalam tubuhnya. Hanya ada rasa sesak yang kian membuncah dalam dadanya.
Aku mencintaimu, Choi Choon-Hee.
Hyun-Jae menjauhkan bibirnya dari bibir Choon-Hee dan sebutir air mata terlepas dari pelupuk matanya.
****
Hyun-Jae memejamkan kedua matanya untuk mengatur perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Ia kembali membuka matanya ketika bus telah menepi di halte tujuannya.
Hyun-Jae melangkah keluar dari bus dan menyusuri jalanan yang tertutup salju untuk tiba di tempat yang menyimpan kenangannya bersama Choon-Hee.
Langkah kakinya berhenti di depan tangga yang menjadi saksi dari kisah mereka. Berdiri di sini, mengingatkan memorinya kepada hari itu. Hari di mana semua kisah mereka berakhir.
****
"Kim Hyun-Jae, ada yang ingin kukatan." Hyun-Jae memandang Choon-Hee yang bangkit dari duduknya dan membelakangi dirinya. "Mari kita putus," ucap Choon-Hee tanpa menoleh sedikit pun. Hyun-Jae tertegun mendengarnya. Udara dingin berhembus di sekitarnya dan membekukan seluruh tubuhnya.
Ia hanya bisa memandangi punggung Choon-Hee tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia terlalu bingung untuk bereaksi seperti apa. Semuanya terlalu mendadak.
Choon-Hee berjalan menjauhi Hyun-Jae dan entah kekuatan dari mana, Hyun-Jae menahan pergelangan tangan Choon-Hee. Ia menghela napas dan berusaha untuk bertanya tanpa terpatah-patah. "Kau melakukan ini hanya karena kepindahanmu ke Austria?" Choon-Hee tetap bungkam. "Kita bisa melakukan hubungan jarak jauh, bukan? Lagi pula, banyak orang yang melakukannya." Hyun-Jae bisa merasakan tangannya yang bergetar ketakutan dan enggan untuk melepaskan tangan Choon-Hee.
"Kau bisa melakukannya, tetapi aku tidak bisa. Tidak semua hubungan jarak jauh itu berjalan mulus. Banyak orang yang gagal dalam menjalaninya" ujar Choon-Hee tanpa melihat Hyun-Jae walau begitu Hyun-Jae tahu bahwa Choon-Hee sedang menahan nangis. Ia bisa melihat dari punggung gadis tersebut yang bergerak naik turun. "Jadi lebih baiknya kita mengakhirinya di awal." Choon-Hee melepas tangan Hyun-Jae secara paksa dan meninggalkannya bersama rasa sakit.
Hyun-Jae hanya bisa melihat punggung Choon-Hee yang semakin lama semakin mengecil. Kata-katanya bagaikan cubitan kecil, namun menyakitkan untuk hatinya. Ia menghela napas keras, lalu mengerang. Butir-butir putih sehalus sutra berguguran dari kaki langit bagaikan serpihan pertama.
****
Hyun-Jae mengadah untuk merangkup butir-butir salju yang kembali luruh dari langit. Hyun-Jae tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa memiliki Choon-Hee sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Semusim
Romance[Spring] Cinta itu candu, kawan. Sekali kau merasakannya maka kau tidak akan pernah bisa terlepas darinya. Bayangan gadis tersebut selalu menempel di dalam memori sang pria seakan ada lem yang membuat bayangan tersebut sulit terlepas dari memor...