Chapter 8°2

8K 417 36
                                    

8-2

Di malam hari, semua nanny mulai berhamburan memasuki kamar masing-masing. Jam sudah menunjukan pukul 9 malam, menandakan bahwa nanny sudah bisa berhenti bekerja.

Diam-diam, Justin bersembunyi di balik pilar yang berjajar di sisi lorong. Matanya terpancang ke arah pintu dapur yang terbuka lebar. Beberapa nanny terlihat keluar sembari berbincang. Dan Justin menunggu, menunggu para nanny benar-benar pergi. Lelaki itu tengah mencari seseorang.

Setelah memastikan para nanny yang sudah keluar dari ruang dapur itu, Justin mulai melangkah. Dengan gerakan defensif, matanya memicing ke segala arah, tampak mengawasi. Lalu, ia mengintip di sekitar kusen pintu. Justin menelusuri ruang dapur yang tampak bersih, sepi, dan hanya menyisakan satu orang nanny yang tengah melamun di dekat bak cuci piring.

Dia, Liqiu Meifen. Lili.

Justin menghela napas sejenak, lantas berjalan tenang memasuki dapur. Derap langkah kakinya yang tak bersuara membuat Lili yang berdiri membelakanginya sama sekali tidak sadar. Hingga Justin sampai di hadapan Lili, ia meraup satu pundaknya.

Lili berbalik, lunglai. Tidak terkejut atau pun panik. Namun saat Lili menyadari siapa yang meraup pundaknya, ia baru berjengit. Dan perlahan, Lili pun mendongak.

"Tu..tuan muda." Bisik Lili salah tingkah.

Justin meneliti setiap inci wajah Lili. Wajahnya tampak muram, berminyak, namun tetap terlihat manis. Justin melihat dengan jelas mata Lili yang sembab meski ruang dapur tengah redup karena beberapa lampu yang sengaja dimatikan. Bibir tipis Lili pucat, dan hati Justin mencelos kala melihat telapak tangan Lili yang terbalut perban.

"Désolé, je suis désolé. (Maaf, aku menyesal)."

Iris mata hazelnya menatap Lili semakin dalam. Suaranya yang lirih begitu menelusup lembut ke lubang telinga Lili. Hati Lili seketika bergetar mendengar semua penuturan Justin. Matanya mulai berair, berkaca-kaca, lantas menggenang dan nyaris menetes.

Justin tersenyum, sangat tipis. Ia mengusap lembut pipi Lili sekilas. Dan setelah itu, ia berlalu pergi. Meninggalkan Lili, sendirian.

***

Shay menelusuri area halaman belakang keluarga Rousseau dengan wajah pias. Ia melihat dua Truk pengangkut banyak barang yang menepi di pelataran parkir. Pikiran Shay langsung menyimpulkan dengan baik, pikap itu pasti membawa barang untuk membenahi kamar Justin yang hancur.

Setelah Shay selesai melakukannya kemarin, ia langsung berbenah dan pergi. Ia tidak membantu Justin yang terikat sama sekali. Meninggalkannya begitu saja. Entah bagaimana Justin membuat alasan, Shay yang sudah gusar menunggu surat pemecatan atau teguran dari Pierre maupun Lydia, sama sekali tak mendapat panggilan hingga pagi ini.

"Jessica!"

Suara Lili membuat Shay tersentak. Ia menoleh lantas menyunggingkan senyum tipis. "Ini." Ucapnya sembari memberikan koper milik Lili.

Lili menerimanya dengan sumringah. Ia lantas memberikan koper besar itu pada supir taksi yang telah menunggunya di depan gerbang belakang. Wajah Lili begitu bahagia, terlihat segar. Bahkan perban yang membalut kedua telapak tangannya tidak membuat Lili terganggu sama sekali. Sontak Shay mengernyit.

"Kau senang bisa pulang?" Tanya Shay bingung. Ia ingat bagaimana sedihnya gadis itu ketika memutuskan untuk pergi. Apalagi, Shay terus dirundung rasa bersalah atas kejadian kemarin. Shay merasa jadi wanita paling bodoh. Oh, entahlah. Bahkan Shay tidak tidur semalaman karena memikirkan perasaan bersalahnya pada Lili.

SLUT [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang