Chapter 11

13.2K 659 41
                                    

11



Kedua mata itu kini digenangi cairan bening yang sepersekian detik mulai menetes. Cairan itu menetes semakin cepat hingga menimbulkan aliran kecil di kedua belah pipinya. Cairan yang mulai menghitam karena bercampur dengan maskara luntur yang menghias bulu matanya.

Tanganya bergerak cepat mengoyak lipstik merah menyala yang membalut bibir tebalnya, hingga lipstik itu terhapus dan membentuk noda yang keluar dari batas bibirnya. Ia mengerang, menatap nyalang cermin bernuasa Baroque Luxury di hadapannya. Yang memantulkan refleksi dirinya sendiri. Wanita itu terlihat frustasi, wajahnya seketika berubah menyeramkan akibat air mata hitam dan noda lipstik itu. Erangannya semakin mengeras hingga ia menangis meraung-raung bak orang yang paling putus asa di dunia.

"KAU MELIHATNYA, AMBRE!! SIALAN! KAU MELIHATNYA!" teriaknya sendu. Hingga muncul wanita lain di balik punggungnya yang bisa ia lihat melalui cermin. Kedua mata mereka bertemu di balik cermin. Tatapan prihatin bisa terlihat jelas dari mata wanita yang berdiri di belakangnya, Ambre Gaulle.

"Nyonyaku, aku..tidak sengaja. Aku kira kamar tamu memang selalu kosong. Aku tidak akan memberitahukannya pada siapa pun. Kumohon, jangan seperti ini, Mademoiselle."

Deru napasnya terdengar keras hingga bahunya tampak bergerak naik dan turun. Ia menahan sesuatu yang bercokol di dalam benaknya sejak lama. Sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang membuatnya menderita, sesuatu yang tidak bisa disembuhkan dengan obat atau yang lainnya. Rasanya sulit ia mengenyahkan sesuatu yang bercokol itu. Hanya amarah yang bisa membuatnya menjauh sejenak dari tekanan yang ia hadapi. Lydia tertekan.

"Tapi kau melihatnya, Ambre. Kau melihat Pierre yang telanjang, kau melihat Pierre yang bercinta, kau melihat Pierre dengan orang lain!"

Lydia berbalik, menatap Ambre dengan mata yang membelalak lebar. Air mata yang menghitam masih setia bercucuran mengaliri wajahnya. Ambre mundur beberapa langkah seraya menghela napas.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku bersumpah, Nyonyaku. Aku tidak akan memberitahu siapa pun. Kumohon, tenanglah."

Lydia tertawa getir di sela isak tangisnya. Tawa yang terdengar begitu..menyakitkan. Dengan air mata yang masih setia menggenang, ia masih bisa merasakan gusar yang mendalam. Jawaban Ambre yang meyakinkan sama sekali tidak membuatnya tenang. Ketakutan yang selama ini menghantuinya masih terasa. Karena bangkai yang selama ini ia sembunyikan dengan apik, bisa tercium perlahan oleh arus takdir yang terkuak.

"Aku malu sekali." bibir Lydia bergetar saat berbicara. "Aku memalukan. Aku tidak bisa menjaga suamiku dengan baik. Aku tertekan, anakku tertekan. Keluarga ini aneh, Ambre. Kau tahu itu 'kan?"

Lydia meraih pundak Ambre dengan tangan yang gemetar. Isakkan semakin terdengar jelas dari mulutnya. Sesekali ia menunduk mengeluarkan tangis yang semakin menjadi hingga tersedu-sedu. Sementara Ambre hanya bisa diam tanpa bisa mencerna semua itu dengan bijak. Ambre tidak bisa apa-apa.

"Suamiku tidak tertarik padaku lagi." Lydia tersenyum getir.

"Jadi, untuk apa aku cantik?" satu tangan Lydia bergerak kasar mengusap kedua matanya. "Tidak ada gunannya lagi."

Lalu kedua tangan Lydia bergerak semakin liar mengusap-ngusap wajahnya sendiri. Make up yang menghias wajahnya semakin hancur terkoyak menyedihkan hingga wajah Lydia terlihat tak karuan. Dan Lydia semakin terisak. Perih di matanya karena terkena maskara luntur membuat Lydia memejamkan mata. Ia mengerang, menangis dengan frustasi. Ia pun menjauh dari Ambre perlahan-lahan.

SLUT [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang