Chapter 25

10.7K 607 66
                                    

*budayakan vote sebelum baca:')

25

        Melihat Lydia serta penampilan anggunnya membuktikan bahwa dia baru saja kembali. Di tengah malam seperti ini? Astaga. Shay tentu mulai merasa gusar dan takut setengah mati. Bagaimana jadinya jika Lydia masuk sementara Justin ada di dalam kamarnya dan bahkan sudah merencanakan diri untuk menetap dan tidak mau kembali ke kamarnya sendiri.

        "Mademoiselle, ada apa? Apa yang terjadi?" bisik Shay panik, berusaha mengalihkan Lydia yang kini menangis tersedu-sedu.

        "Ijinkan aku masuk dan bicara di kamarmu."

        Shay mulai menampakkan wajah pias. "Tapi, Nyonyaku. Kurasa anda membutuhkan minuman hangat untuk menenangkan diri. Mari kita ke dapur, akan kubuatkan––"

        "Tidak, tidak perlu."

         Lydia menghela napas berat seraya mengusap pelan air mata yang menitik di pipinya, lalu membenamkan bibir seraya melangkah semakin dekat ke ambang pintu. Shay sontak semakin panik dan mulai kehilangan akal untuk menahan Lydia. Bagaimana ini, bagaimana ini!? batinnya panik. Jika Lydia melihat Justin ada di dalam, apa yang harus ia katakan? Shay merasa kerongkongannya tercekat melihat Lydia mendorong pintu kamarnya hingga perlahan terbuka semakin lebar. Sekujur tubuh Shay serasa membeku dan menegang. Ia tak bisa mengambil tindakan apapun lagi alih-alih terdiam dengan wajah pias.

        Pintu sudah terbuka, dan Shay memejamkan mata. Menunggu keterkejutan Lydia yang meledak jika melihat apa yang ada dalam kamarnya. Mendengar suara hak sepatu Lydia saat melangkah membuat jantung Shay berdegup lebih kencang, sesuai dengan ketukan sepatu Nyonya besar itu dari detik ke detik. Sialan. Akhir-akhir ini Shay selalu dirundung rasa takut. Namun beberapa detik Shay menunggu, tidak ada pekikan terkejut Lydia selain isakan kecilnya, bahkan suara hak sepatunya sudah tak terdengar lagi. Perlahan, Shay membuka mata lalu melihat sosok Lydia yang sudah duduk di tepi ranjang seraya membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan.

        Dan Justin tidak ada.

        Oh, syukurlah. Rasa lega Shay meluruh begitu besar melihat ranjang berantakan yang kosong, hanya Lydia yang terduduk di tepi ranjangnya. Bocah itu cukup gesit untuk bersembunyi dan Shay yakin Justin pasti bersembunyi di kamar mandi. Isakan Lydia membuatnya tersadar dari perasaan lega, ia segera menghampiri bufet di sudut ruangan seraya mengambil sekotak tisu. Lalu mengambil beberapa lembar dan memberikannya pada Lydia. Nyonya besar itu menerimanya dengan gerakan lemah, dan sungguh, Shay merasa begitu tidak tega saat maskara yang menghias mata indah Lydia luntur hingga menghasilkan noda hitam yang meluruh di kedua pipinya.

        "Apa yang terjadi, Mademoiselle?" ujar Shay seraya duduk di samping Nyonya besar itu.

        Lydia menggeleng, tampak begitu frustasi dan resah. Isakan kecil yang pilu kembali keluar dari celah bibirnya. Nyonya besar itu menunduk sembari menyeka bulir-bulir air mata kehitaman dengan tisu pemberian Shay. "Apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan." isak Lydia seperti mengatakan itu pada dirinya sendiri.

        Shay tidak tahu harus melakukan apa selain terdiam menunggu Lydia menangis. Ia kembali merasa segan untuk berani menenangkan Lydia dengan sentuhan karena mereka sudah jarang mengalami peristiwa se-intens ini lagi. Namun beberapa detik ia memandangi Lydia dengan pandangan iba, tiba-tiba wanita itu meraih tangan Shay yang terletak di atas tempat tidur lalu mengenggamnya. Begitu kuat. Seakan-akan Lydia membutuhkan penopang untuk kesedihannya.

        "Nyonyaku," bisik Shay lembut. Sungguh, ia masih tak mengerti akan kedatangan Lydia yang begitu mendadak tanpa kejelasan. Mon Dieu, bahkan Shay tengah berpelukan bersama anak Lydia sendiri sebelumnya.

SLUT [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang