Chapter 12°2

14.5K 646 32
                                    

12-2


Rumah bernuansa Baroque modern yang megah nan besar itu semakin lengang dengan para penghuninya yang saling mengurung diri, menjauh satu sama lain. Sisa suasana canggung dan menegangkan masih samar-samar terasa. Dan kehangatan yang selalu melingkupi setiap rumah seakan berangsur hilang di dalam sana.

"Jessica."

Shay menghela napas panjang. Ia menoleh dan mendapati Torey yang kini tengah menatapnya dengan wajah muram tak bergairah. Kedua tangannya menyangga nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat.

Shay menghentikan pekerjaannya sejenak. "Ada apa?"

Torey tampak gamang. Ia mengernyitkan hidungnya sekilas. Bahunya mengedik hingga nampan yang berada di pangkuannya ikut terangkat.

"Aku..tolong antar ini ke kamar Nyonya ya?"

"Kau yang ditugaskan. Kenapa harus aku?" ujar Shay datar lantas kembali melanjutkan pekerjaannya. Yakni membersihkan debu di sekitar lemari hias.

"Aku.." Torey mendesah. "Aku tidak mau melihat Nyonya. Kau tahu kan maksudku? Semalam dia benar-benar seperti orang gila. Aku takut."

Shay sempat terkejut mendengar penuturan Torey. Cih! Ada sepercik rasa tak suka saat Shay mendengar itu. Torey hanya tidak tahu jika Lydia..kesulitan.

"Kalau kau menganggap majikanmu gila, harusnya kau pergi dari sini." sindir Shay tajam seraya berbalik lantas merebut nampan yang berada di tangan Torey. Tanpa menanggapi respon Torey lagi, ia berderap menuju lantai dua.

Banyak sekali orang munafik di dunia ini. Batin Shay merutuk.


***



"Mademoiselle?" bisik Shay lembut. Dan Lydia diam tak bergeming, tetap berbaring dengan posisi membelakangi Shay yang berdiri di samping ranjangnya.

Shay tahu Lydia terjaga. Ia tahu Lydia tidak pernah tertidur di siang bolong seperti ini. Dan Shay tahu bahwa Lydia berusaha menyembunyikan kehancuran yang terpancar di wajahnya. Meski amukan Lydia semalam terlampau sadis, tapi Shay berusaha memakluminya. Sekali lagi, lagipula semua itu bukan urusannya.

"Anda harus makan, Nyonya." Shay mengerjap. "Jangan sampai buburnya dingin."

Keheningan cukup panjang menerpa. Shay tetap berdiri di posisinya selama beberapa menit, sementara Lydia masih saja terdiam tak bereaksi. Waktu berdetik dan terus melajukan jalannya, Shay mulai menyerah lantas menghela napas. Ia pun menyimpan perlahan nampan yang ia bawa di atas nakas.

"Aku menaruh santapan anda di sini, Mademoiselle. Aku harus kembali bekerja. Permisi."

Shay sudah bersiap untuk berbalik, sampai suara parau Lydia membuatnya terdiam seketika.

"Pierre pergi ke Chicago, mengurus proyek hotelnya. Dan dia tidak mengajakku." lirih Lydia. "Apalagi yang harus aku lakukan, Nona Connell? Apa kau punya solusi untuk semua yang kualami ini?"

Selalu begitu, Lydia selalu mencegah Shay untuk pergi. Selalu membuang waktu Shay saat ia ingin menghindar dari skandal keluarga Rousseau. Shay benar-benar tidak ingin tahu. Semuanya terlalu rumit.

"Maaf jika aku lancang. Jika aku bertanya, mengapa Nyonya tidak menceraikan Monsieur? Sementara anda sekarat seperti ini? Bagaimana Nyonya akan menjawabnya?" tukas Shay cepat dalam satu tarikan napas. Shay mulai jengah, persetan jika ia dipecat sekali pun.

SLUT [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang