2 September 2008
Tom mulai memasukkan kardus kardus yang sudah terbungkus rapi ke dalam mobil, untuk dikirim sepertinya.
"Dikirim kemana?"tanyaku
"Kemana ya?" Ujar Tom nanya balik seraya mengangkat kardus.
"Ko?"
"Tunggu," setelah ia menaruh semua barang di bagian belakang kursi, ia merogoh kantong celanya dan mengeluarkan secarik kertas dan membacanya.
"Um," "Oh iya!" Bagai orang bekerja sendiri ia mengambil lakban dan gunting, untuk apa? Dengan cepat pertanyaanku terjawab.
Tom menempelkan kertas yang berisi alamat alamat rumah atau perusahaan yang dituju di kaca kursi depan, tempat dimana aku sering duduk.
"Bantu ya?" Pinta Tom seketika, belum sempat menjawab ia melanjutkan "Bacakan saja, alamatnya. Jadi, gampang, tinggal muter muter." Aku mengangguk.
Jika aku ditakdirkan untuk menolongnya, maka akan aku tolong.
Jika aku ditakdirkan untuk menghiburnya, maka akan aku hibur.
Jika aku ditakdirkan bersamanya, maka aku akan tinggal.
Jika aku ditakdirkan untuk meninggalkannya, maka aku akan pergi.(Flashback )
Entah harus merasa senang atau sedih karena saat ini aku sedang jalan dengan Radit, ia yang mengajakku tadi sepulang sekolah. Aku pasrah saja mau dibawa kemana, karena aku percaya padanya dan ini bukan pertama kalinya kita menghabiskan waktu bersama.
Ternyata, ia membawaku ke warung kecil di pinggir jalan tidak jauh dari rumahku. Saat aku tanya kenapa kesini, ia jawab
"1) aku lapar dan kamu harus ikut makan, 2) dekat dari rumahmu, jadi kamu tidak akan pulang malam."
Jawabannya bagus, kataku. Disana Radit beli mie kuah, lucu, panas panas makan mie kuah pedas. Tapi aku ikut juga, karena tidak tahu harus pesan apa lagi.
Saat selesai, ia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan permen karet.
"Minta dong!" Pintaku buru buru, karena kepedasan, Radit juga kepedasan keliatannya, karena ada keringat di dahinya dan bibirnya merah.
"Gak." Jawabnya singkat seraya mengunyah permen karetnya. Sontak aku kaget, kukira bakal dikasih, karena itu hanya permen karet, apa ruginya?
"Pedes dit!"
"Ya sudah minum!" Ia menjawab tidak serius, tanpa menatapku malah.
"Udah!"
"Berarti udah ga pedes. Yu pulang." Ujarnya, lalu ia berdiri dan memakai jaketnya. Aku mengikutinya dari belakang.
"Itukan cuma permen karet." Ucapku tiba tiba, tidak tahan lagi ingin ngatain kalau Radit itu pelit!
"Terlalu berharga untuk dibagi." Jawabnya, sadar pelit, aku bisa membelinya sekarang juga dan melemparkannya ke wajahnya!
"Nih," tiba tiba ia menyodorkanku tisu, entah dapat dari mana. Aku hanya menatapnya bingung.
"Kalo pedeskan, keringetan, ini buat elap keringat."
"Gak usah." jawabku bete.
"Marah?"
"Enggak."
"Oh, ya sudah, untukku saja."
Dasar menyebalkan!
Dijalan pulang, aku diam, kalaupun Radit ngajak ngomong, aku tidak terlalu menanggapi, paling hanya jawab iya, tidak, terserah. Biar tahu aku ini sedang kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
40days
AcakAkhirnya aku menyadari bahwa semua ini bukan tentangku dan bukan juga tentang mereka. Namun ini tentang mereka dalam kenanganku. Lalu semuanya terlihat pudar yang kulihat gelap dan aku merasa....menghilang