Kalau malam hari sangat dingin menusuk tulang, maka siang hari terasa sangat menyengat menusuk kulit.
Menu makan siangku adalah telur dan bacon. Tidak cukup mewah, tapi karena aku memang lapar apapun yang masuk perut berakhir tanpa sisa.
Aku mendesah menatap tumpukan buku yang luar biasa banyak menguasai ruanganku. Sepertinya tempat tidurku bahkan lebih bisa kusebut rak buku karena kasurku hampir tidak terlihat. Aku mengintip ventilasi yang dilapisi jaring besi itu.
Terdengar suara ribut yang terdengar sampai di menara, tepatnya tempat di mana aku terkurung. Belum lagi, sebenarnya ini membuatku merasa heran. Menara ini berada di atas lautan luas.
Oh, dan keributan itu berasal dari suara mesin kapal yang tidak jauh dari menara estate ini.
"H-hei, bukankah kita harusnya berjaga di bawah?"
Suara itu tentu saja bukan berasal dari kapal, tapi di balik jeruji besi di mana diriku terkurung. Lagi-lagi prajurit laki-laki payah yang senang bergosip itu memulai topik pembicaraan ketika aku tanpa sengaja mau tidak mau menguping karena jarak yang hanya dibatasi oleh sebuah dinding berwarna merah bata.
"Tapi ini kemauan Nyonya untuk mengurus [Reader]. Dia sudah seperti benda keramat yah, selalu dijaga selama 24 jam penuh."
Aku melengos. Dia kira aku mau dikeramatkan seperti batu akik /eh ngawur. Tenang saja, kalian akan merasa lega ketika kalian tidak perlu mengemban tugas menyusahkan ini lagi.
Semua orang ingin kebebasan. Termasuk aku.
Semua orang ingin punya rasa ingin tahu. Termasuk aku.
"Tapi kita sebentar lagi tidak perlu menjaganya seperti ini,"ungkap suara prajurit lain tetapi memiliki intonasi agak lebih tinggi.
"Be-benarkah? Syukurlah. Aku sudah sesak berada di ruangan ini. Oksigen di sini minim sekali!"
Aku bahkan sudah muak di sini, dasar prajurit sialan. Seumur hidupku, dan mereka, memiliki jadwal yang bergantian untuk mengomentari masalah mereka.
"Iya. Alasan berdasarkan rumor, dia akan dijual oleh perompak. Kasihan ya,"
Aku langsung meneguk ludahku.
Tu-tunggu. Aku mau dijual? Transaksi jual beli yang menghasilkan lembaran uang haram itu? Aku dianggap barang? Ya Tuhan, ini sudah jelas-jelas berbahaya kan?
Sepertinya aku memang harus membuang batu sialan ini agar aku tidak dijual sebagai benda keramat atau melarikan diri. Kucoba opsi pertama, tapi setengah mati kucoba tetap saja gagal. Batu ini sudah seperti tanda lahir di tubuhku. Aku geram karena detik berikutnya, lenganku memerah karena usaha sia-siaku.
Kulirik jaring besi yang setia mengunci rapat ventilasi. Lingkungan versi mini yang hanya bisa disajikan oleh indra penglihatanku. Semua benda di sekitarku sepertinya tidak memberikan petunjuk yang pasti untuk melarikan diri. Tentu saja aku tidak akan kabur melalui ruang utama.
Apa waktu kematianku sudah dekat? Aku sekarang akhirnya mengerti ketakutan akan kematian sangat mencekam. Kematian itu gelap bukan? Akhirnya aku sadar kenapa semua orang takut mati apalagi jika itu belum waktunya.
♡ ♡ ♡ ♡ ♡
Terdengar suara alarm rumah yang berdering keras. Biasanya hunian mewah ini tidak akan berbunyi apapun. Entah situasi sedang gawat atau tidak, aku seolah memilih pasrah. Memeluk lutut sambil menyandarkan diri di sudut dinding.
Prajurit yang bergosip tadi juga sudah menghilang. Mereka sudah pasti menyelamatkan diri lebih dulu. Aku mengintip dari jeruji besi yang menjadi batas wilayah untuk mengurung diriku. Aku mengintip dan menemukan benda yang sepertinya memunculkan bohlam imajiner di atas kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feel The Soul [END]
FanfictionDipertemukan oleh sang raja itu biasa. Namun, di masa lalu, dia adalah seorang mantan pemimpin perompak. Oh, dan satu lagi. Aku adalah gadis aneh dengan batu mistik di lengan kanan. Terkurung di menara seumur hidup tanpa mengetahui asal usulku. Keti...