Sambil merasakan sakit yang berdenyut, aku memegang lenganku. Kugunakan sepasang kakiku yang menjadi penopang agar aku bisa berdiri.
Laki-laki yang menyambutku itu adalah seseorang yang tidak kukenali. Memakai jas putih kedokteran, rambut hitam acak-acakan, dan sebingkai kacamata hitam. Ia membuang puntung rokoknya kemudian menginjaknya dengan sol sepatu.
"Ka-kau siapa?" aku mundur beberapa langkah.
Laki-laki itu terkekeh, "Seseorang yang seharusnya mengincar asetmu sejak awal."
"Kalau kau mengincarnya, langkahi nyawaku dulu,"
Laki-laki paruh baya itu menoleh ke arah belakang, disusul aku yang menatap eksistensi di hadapanku.
Ai!
Laki-laki yang menggores lenganku itu kini menghampiri Ai. Bertepuk tangan dengan senyum mengerikan. Bagaikan pertemuan yang ia alami adalah kejutan indah -- namun sebenarnya ia sedang membawa kehancuran.
"Kutemui dirimu, wujud replika,"
Deg.
Ai menunjukkan pedang panjang dengan ketebalan yang tipis itu -- rapier. Tatapan yang selalu tenang itu kini sedikit berkerut ditemani raut wajahnya yang mengeruh.
"Sekali kau lukai dia lagi, kau mati,"ancam Ai menodongkan pedang tipis itu, menyisakan jarak dua sentimeter dari leher pria itu.
Namun meskipun diancam, laki-laki itu melipat tangan dengan santai, "Jadi kau mau membunuh 'ayah' sendiri?"
Aku mengernyitkan dahi. Tidak ada kemiripan sama sekali di antara mereka secara fisik. Syo dan Shinomiya segera menyusul berada di belakang Ai.
"Aku tidak ingat punya 'ayah' yang kau maksudkan," Ai menatapnya sinis.
"Mikaze-sama!" Kurosaki berlari menghampiri situasi yang terjadi di antara kami.
Aku mengepalkan tanganku, menghampiri laki-laki paruh baya itu. "Katakan kepadaku apa maksudnya wujud replika?"
Aku bergantian menatap mereka -- tidak ada di antara mereka yang terlihat bingung apalagi terkejut. Ketika aku usai bertanya, laki-laki itu malah tertawa keras.
"Dia itu adalah ciptaanku,"
Jantungku seolah berhenti berdetak. Seolah darah berhenti mengalir. Aku langsung merasakan goyah terhadap keseimbangan memijak daratan pun jatuh terduduk.
"Kau tidak tahu? Sepertinya hanya kau saja yang syok,"kekeh pria itu lagi.
Ai mengarahkan rapier-nya, beralih menusuk kerah kemeja pria itu sampai berlubang namun sengaja tidak membiarkan jejak luka, "Kenapa kau datang lagi di saat kau membuangku?"
Aku hanyut dalam lamunan singkat. Sepertinya aku ingat bahwa aku dilarang melakukan sesuatu.
Ah iya, Ittoki mencegatku di episode empat.
"Jangan berikan ini kepada Mikaze-san, ya,"
Mungkin inilah jawabannya. Bahwa Mikaze bukanlah manusia dan aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal itu. Aku tidak menyalahkannya karena baru mengetahui kenyataan itu tetapi batinku perih.
Gerbang yang didobrak dari luar secara terus menerus itu perlahan hancur -- tidak akan lama lagi. Pria itu merapatkan letak kacamatanya kemudian berjalan menjauhi kami.
Daripada menjawab pertanyaan Ai, pria itu menjauhi kami, "Lainkali kita pasti akan bertemu lagi, tentu saja dalam waktu dekat,"
Suasana saat itu begitu panik tetapi aku belum bisa meresapi informasi singkat namun membawa makna dalam itu sepenuhnya. Jadi aku masih terduduk dengan kaki bersimpuh namun kurasakan rangkulan yang menopang tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feel The Soul [END]
FanfictionDipertemukan oleh sang raja itu biasa. Namun, di masa lalu, dia adalah seorang mantan pemimpin perompak. Oh, dan satu lagi. Aku adalah gadis aneh dengan batu mistik di lengan kanan. Terkurung di menara seumur hidup tanpa mengetahui asal usulku. Keti...