Aku tidak bisa membiarkannya sendirian. Jadi, aku membopong tubuhnya. Padahal kurus begini tubuhnya, tapi terasa berat begitu kuangkat. Merasa ragu kalau semisal cowok ini adalah fans berat Ai, aku menarik pelan rambutnya. Siapa tahu itu wig asal yang melekat.
Ternyata bukan. Yang ada adalah rambut asli yang justru menempel di kulit kepalanya. Aku melihat laki-laki ini menarik napas lembut dan teratur. Sesekali mendengkur halus dengan wajah polos.
Tu-tunggu, dia kok tidur?
Aku menepuk pipinya, tapi dia tidak kunjung terbangun juga. Tidur pulas seperti orang pingsan. Merepotkanku saja.
Tiba di sebuah penginapan terdekat yang kujejaki, langsung saja kumasuki. Beruntung masih ada sebuah ruangan yang sederhana. Dia akan kutampung di sini, kemudian aku akan pulang.
Dengan kemampuan yang kurasa cukup kuat sebagai perempuan, aku membanting (baca: menghempaskan) tubuhnya ke tempat tidur. Dia kunjung tidak terbangun juga. Sepertinya dia malas membuka mata. Aku merapikan selimut untuknya tapi kurasakan jemariku digenggam.
"Jangan tinggalkan ..., aku tidak mau sendiri ..., aku ..., takut," kudengar dia menggigau, masih memejamkan mata.
Aku menghela napas walaupun berbicara dengan orang yang berada dalam kondisi menggigau tidak akan nyambung, "Aku sudah harus pulang, sudah malam."
Yang membuatku terkejut, manik itu ternyata sudah terbuka perlahan menyambutku.
"Kau yang menolongku ya?"tanyanya yang sepertinya setengah sadar. Sadar ia telah terbangun dan berbagai urusan lainnya, aku segera melepas genggamannya.
Aku mendengus dengan wajah lelah, "Aku mau pulang. Sudah malam. Beristirahatlah. Sepertinya kau sangat kelelahan hingga tidur sepulas itu."
Aku bisa melihat wajahnya sedikit menampilkan garis merah.
Laki-laki itu tersenyum canggung dalam posisi terbaring, "Kau gadis yang baik. Namamu siapa?"
Aku melirik jam dinding yang menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Aku beranjak keluar kemudiam memegang gagang pintu tanpa berbalik badan.
"Namaku [Reader]. Selamat malam,"
Aku melihat maniknya yang terus mempertemukan diriku --tepatnya ia menatapku tanpa berkedip. Ia menarik senyum lebar.
"Namamu indah. Aku suka,"
Brak. Aku menutup pintu.
Cowok aneh.
Aku segera menggeleng cepat. Mungkin dia gila. Toh, aku yakin kami tidak akan bertemu lagi. Dia mungkin hanya fans Mikaze yang begitu berminat meniru secara identifikasi penuh. Lagi pula, Ai cukup terkenal. Aku ingin menceramahinya tapi segera kuurungkan. Itu haknya. Lagi pula, ada yang harus kukhawatirkan.
Soal keterlambatanku yang sangat sulit untuk ditoleransi. Dan dugaanku memang benar, Kurosaki sudah berdiri di gerbang. Membuat nyaliku kembali ke bangunan mewah ini jadi ciut saja.
"Kau ini preman atau petugas ronda malam, hah?" Kurosaki langsung menyemprotku.
Aku terkekeh kaku, "Ya, maaf deh, maaf."
Ia memutar bola matanya malas, mengacungkan walkie-talkie di hadapanku, "Cepat masuk sana! Aku capek ditanyai terus oleh Mikaze-sama via benda ini karena ulah nakalmu itu."
Berjalan dengan langkah diseret, itulah yang kulakukan. Aku menggosok lenganku yang merespon udara dinginnya malam sambil melewati lorong. Tidak ada siapapun selain aku di sana. Umumnya semua pihak sudah dalam kondisi terlelap dengan penerangan lentera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feel The Soul [END]
FanfictionDipertemukan oleh sang raja itu biasa. Namun, di masa lalu, dia adalah seorang mantan pemimpin perompak. Oh, dan satu lagi. Aku adalah gadis aneh dengan batu mistik di lengan kanan. Terkurung di menara seumur hidup tanpa mengetahui asal usulku. Keti...