Hoaam...
Sudah kelimabelas kalinya aku menguap di pelajaran kimia ini. Aku benar-benar gagal paham jika Bu Rena menjelaskan tentang ini itu.
"Ada yang bisa menjawab?" tanya beliau ketika selesai menulis satu soal di papan tulis. Membacanya seperti aku membaca tulisan ceker ayam paling parah yang ditulis oleh seorang alayers.
"Silakan jawab soal ini......................, Shera."
Deg!
Mati aku! Mati aku! Mana gue gak ngerti lagi. Itu caranya gimana coba? Gue bisa pingsam mendadak kalo gini caranya. Apa gue ijin ke toilet aja ya? Ah udah telat kali. Bu Rena ga asik ah, pake milih gue segala buat ngerjain, umpatku dalam hati.
"Shera?" panggil Bu Rena.
"E-eh iya, bu?" jawabku gagap.
"Ayo, kerjakan soal di papan tulis. Ibu lihat kamu menguap terus daritadi, jadi ibu pikir kamu dapat mengerjakannya."
Pikirannya ibu ga bener nih. Ga beres deh bu. Saya nggak bisa dan nggak sanggup bu. Lagian, gue nguap gara-gara bosen sama males, bukannya udah paham.
Seakan melihat pelangi di musim kemarau, lebih baik dari pelangi deng.
"Saya saja bu yang menjawab!" Dira mengajukan dirinya untuk menjawab.
"Saya menyuruh Shera, bukan kamu Dira."
"Ah, ibunya ga asik ah!" ceplosku. "EH!" Aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan.
"Kamu bilang apa barusan, Shera?"
"Ibunya tau banget sih kalo saya bisa jawab." Jawaban tergeblek yang pernah aku ucapkan. DAN KENYATAAN PAHITNYA, GUE GABISA NGERJAIN!
"Kalau begitu, silakan maju ke depan dan kerjakan."
Pasrah, aku berjalan ke depan kelas dengan perasaan campur aduk.
Sesampainya di depan papan tulis, aku menggigit bibir bawah dan keringat dingin mengucur dari dahiku.
Ini gimana coba? Tuhan, tolong aku...
Aku menghembuskan napas dan mulai menulis apa yang muncul di otakku.
Setelah selesai, aku memberikan spidolnya ke Bu Rena dan kembali duduk.
"Jawaban yang tepat sekali, Shera. Anak pintar," puji Bu Rena.
Akhirnya aku bisa bernapas lega.
***
"Lo parah banget tadi! Asli, gue ngempet ngakak tau ga sih!" Setelah Bu Rena keluar kelas, Dira langsung nyerocos gitu aja. Emang bener-bener ni anak, luarnya aja yang kalem, cool, pendiem. Dalemnya, BAH, LO GAK AKAN NYANGKA!
"Lo enak ngempet ngakak, gue ngempet pingsan tadi!" balasku kesal.
"Masih baik gue berusaha bantuin. Bu Rena nya aja yang gitu-gitu banget," komentar Dira. Aku meliriknya dan menjawab, "Hmm."
Tiba-tiba entah ada angin sepoi-sepoi darimana, cowok yang gue tabrak tadi tiba-tiba nongol di depan kelas gue. Tanpa ngetok pintu, dia langsung masuk gitu aja.
"HEH! KALO MASUK KELAS ORANG KETOK PINTU DULU KALI!" seruku. Aku tahu ia kaget setengah hidup (karena setengah mati udah menstrem).
"Terserah gue lah, kok lo yang sewot," cibirnya.
"Cih, ngeselin banget." Aku memanyunkan bibir.
"Bebek," komentar Dira datar. Aku menatapnya dengan pandangan mematikan.
"Apalo liat-liat?" Aku pun hanya mengangkat bahu.
"Eh Dir, itu loh cowok yang gue tabrak tadi. Ganteng ya, tapi ngeselin banget. Tampang sama sikap beda banget," ujarku.
"APA LO BILANG?" teriak cowok tadi.
"LO GANTENG!" balasku berteriak sambil menggeret tangan Dira berlari keluar kelas.
***
Aku pun berhenti berlari saat sampai di kantin, tempat nongkrong paling enak nyaman aman sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.... Loh? Kok jadi ngapalin UUD '45 sih?
"Faisal."
Satu kata keluar dari mulut Dira yang membuatku menatapnya cukup lama.
"Apaan sih lo liat-liat gue? Nge fans bilang aja kaleeee!" Dan ia pun mulai ke-GR-an.
"Siapa juga coba yang nge fans sama orang pe'a kaya lo? Ga sudi gue!"
"Eh btw btw, Faisal itu siapa?" tanyaku.
"Orang."
"Gue serius, Dir."
"Cowok tadi namanya Faisal."
Oh, jadi namanya Faisal. Keren juga namanya. Kece gitu.
"Lo tau darimana?"
"Dia ketos, geblek," jawabnya menoyor kepalaku asal.
"Oh ya? Kok gue gak tau ya?" tanyaku melongo.
"Lo aja yang kuper," ledeknya.
"GUE GAK KUPER, DIRAA!" bantahku mentah-mentah.
Dira hanya mengangkat bahu dan berkata, "Terserah."
Benar-benar cewek yang cuek bin judes bin aneh. Dan lebih mengherankannya lagi, kok bisa gue sama dia sahabatan padahal sifat kami sangat bertolak pinggang? Eh bertolak belakang?
Secara, dia tomboi, populer, cuek, judes, kalem, cool (itu secara luar, kalo sifat aslinya sih, tau sendiri lah). Dan gue cukup feminim, ga populer, cerewet minta ampun, lebay (oke aku mengakui itu), toa banget-_-, suka teriak-teriak, dll.
Emang ya, sahabat ga mandang apapun.
***
"ADUH!" Tanpa sengaja, aku menabrak orang, lagi.
"Kalo jalan pake mata...."
"LO?!" seru kami berdua. Dan yeah, aku menabrak Faisal, lagi.
"LO ITU JALAN PAKE APA SIH? MATA ITU DIPAKE BUAT NGELIAT BUKAN CUMA BUAT PAJANGAN, HIASAN WAJAH DOANG!" serunya.
"Pake mata. Emang kenapa? Masbuloh? I don't care," jawabku yang segera pergi dari hadapannya. Males banget debat sama dia mulu.
"Eh lo!" panggil Faisal.
Gak salah? Dia manggil gue? Atau guenya yang ke-GR-an doang?
"HEH LO YANG TADI NABRAK GUE!" panggilnya lagi. Dan aku yakin panggilan itu untukku, karena hanya aku yang menabraknya, dua kali.
"Apa?" tanyaku to the point.
"Faisal." Dia mengulurkan tangannya. Aku melihat uluran tangannya, lalu menatapnya.
"Shera." Aku menempelkan ujung jariku di ujung jarinya. Ya, bukannya gue belagu atau apa, secara gue sama dia kan bukan muhrim. Jadi ga salah dong gue kaya gitu.
Aku pun langsung pergi.
"EH LO SHERA! JANGAN BELAGU LO JADI CEWE!" teriaknya.
"Toa banget," komentarku pelan.
Aku pun memasang earphone di telingaku, sementara Faisal masih saja berteriak-teriak mengumpat dan memaki diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
F A K E
Teen FictionTrue friend itu yang gak munafik, yang gak nggosipin lo, yang gak baik di depan doang, yang gak nusuk lo dari belakang, dan yang gak nikung lo. Fake smile, fake laugh, and fake me. Welcome to my world - Cashera Andristia - [[PRIVATE STORY]]