Chapter-11

82 1 3
                                    

Akhirnya aku harus kembali ke Surabaya setelah jadwal magang di BlackJack selesai. Aku tidak menyangka perjalanan magang ini begitu berkesan untukku. Banyak orang-orang yang ku temui. Lukman. Shinta. Teman-teman BlackJack lainnya. Dan juga seseorang dari masa laluku, Amel.

Selesai juga persiapanku. Semua barang-barang yang ku bawa dari kota pahlawan sudah ku masukkan kembali ke dalam tas. Kini aku sudah siap untuk kembali ke Surabaya.

Sesaat aku teringat berbagai macam kejadian yang ku alami selama berada di kota ini. Aku ingat saat pertama kali aku menemukan panci itu. Aku ingat pertama kali aku bertemu dengan Shinta di PVJ. Aku ingat ketika aku makan sate kelinci bersama Shinta. Aku ingat saat aku memegang perutnya karena aku kedinginan. Aku ingat saat aku mengikuti kompetisi cosplay dan bertemu dengan Amel di Ciwalk. Aku ingat ketika aku mengunjungi rumahnya. Aku ingat ketika Shinta ngambek sehabis aku pulang dari rumah Amel. Aku ingat Shinta memberikanku hadiah sebuah bros mungil yang dapat ku simpan di dalam dompetku. Aku ingat saat Shinta menciumku agar aku tidak berisik. Aku ingat sikap Shinta yang tiba-tiba berubah drastis padaku.  Aku ingat ketika Amel mengajakku bertemu di BSM. Aku ingat kami sempat berpegangan tangan di sebuah wahana. Aku ingat ketika Amel menciumku sebelum ia pulang bersama Mang Asep. Aku ingat ketika aku berusaha menyelamatkan Amel yang terjebak di dalam Red Zone. Aku ingat ketika Amel menusukku dari belakang. Aku ingat ketika aku terbangun di rumah sakit dan ingatanku kacau. Aku ingat ketika Shinta mengatakan kalau ia pacarku. Aku ingat ketika Shinta mengatakan kalau ia mencintaiku dan akan berjuang untuk melindungiku. Aku ingat ketika aku bertarung dengan Amel yang dikendalikan oleh Memor. Aku ingat ketika Amel sadar dan ia tidak mengingatku. Aku ingat ketika aku berubah menjadi sosok super hero yang mirip dengan super hero Jepang pujaanku. Aku ingat aku meledak bersama pesawat Memor yang aku serang.

Lalu bagaimana aku bisa selamat dari ledakan yang terjadi? Aku juga kurang ingat. Yang jelas setelah ledakan itu aku tersadar di sebuah rumah sakit yang berbeda dengan rumah sakit tempatku di rawat sebelumnya. Ketika aku terbangun aku melihat Shinta yang tertidur di kursi di sebelah tempatku terbaring. Lalu aku menyadari panci yang ada di kepalaku sudah tidak ada. Mungkin benda itu hancur saat ledakan itu terjadi. Walau benda itu hilang ternyata kekuatannya masih tersisa di dalam tubuhku. Aku hanya membutuhkan satu hari untuk memulihkan seluruh tubuhku. Bahkan kini aku tak memiliki bekas luka satu pun akibat pertempuran waktu itu. Seperti mimpi.

Lalu bagaimana dengan Amel? Amel baik-baik saja. Bahkan ia sudah mulai aktif siaran di K-Radio. Tapi ia tidak mengingatku. Bahkan ia merasa tak pernah mengenalku ketika aku coba menemuinya di stasiun radio itu kemarin. Biarlah. Bagaimana dengan jawaban Amel? Entahlah. Mungkin lebih baik aku tidak tahu apa jawabannya.

Lalu Shinta? Shinta mengungkapkan perasaannya lagi padaku. Ia sayang padaku. Ia cinta padaku. Namun aku tak bisa menerimanya. Bukan karena aku tidak suka padanya. Tapi aku memilih untuk tetap sendiri sampai suatu saat nanti ketika hatiku siap untuk menerima cinta yang lain.

Aku menutup dan mengunci kamarku. Beberapa kali aku mengelus pintu kamar ini yang mungkin tidak akan ku buka lagi. Aku turun ke lantai bawah dan mendatangi Lukman yang sudah siap mengantarku ke stasiun.

Kami pun melaju kencang di jalanan yang sebagian rusak karena gempa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Aku pikir kepulanganku akan tertunda karena gempa yang terjadi di dunia nyata. Tapi ternyata tidak. Seluruh kegiatan ekonomi di kota Bandung kembali normal dengan cepat.

“Koran-koran!! Bandung gempa!! Koran-koran!!”

Suara pedagang koran mengagetkanku. Gempa? Aku pikir orang-orang menyadari pertempuran kami yang terjadi di luar Red Zone. Tapi sepertinya tidak. Aku memanggil si pedagang koran dan membeli salah satu koran yang ia jual.

Akhirnya kami sampai di stasiun. Seluruh aktivitas stasiun terlihat normal. Seperti tidak terjadi apa-apa beberapa hari yang lalu. Aku turun dari motor dan sesekali menghirup nafas dalam-dalam.

“Ngapain lu Nji?” Tanya Lukman padaku.

“Menghirup udara Bandung Man. Ya sebelum pergi gue mau puas-puasin dulu.” Jawabku santai.

“Ada-ada aja lu Nji. Kan lu bisa kesini lagi kalo ada waktu luang.” Lanjut Lukman.

Aku hanya tersenyum padanya. Kemudian aku melepas helm yang ku pakai lalu ku berikan pada Lukman yang masih berada di atas motornya.

“Gue balik dulu Masbro. Kapan-kapan gantian lu yang ke Surabaya ya!” Kataku yang menyodorkan tanganku ke Lukman.

“Iya gampang. Nanti kalo ada waktu luang gue pasti main kesana.” Balas Lukman yang menyalami tanganku.

Setelah bersalaman aku masuk ke dalam stasiun. Sesekali aku menoleh ke belakang melihat Lukman yang mulai meninggalkanku. Ketika aku membalikkan kepalaku ke arah stasiun tiba-tiba terdengar suara yang akrab di telingaku.

“Panji!!”

Aku menoleh dan aku melihat Shinta berlari ke arahku.

“Loh? Kamu kesini?? Katanya gak bisa nganter??” Tanyaku yang terkejut karena kehadiran Shinta.

“Aku lupa ngasih kamu kenang-kenangan.” Jawab Shinta.

“Kenang-kenangan?” Tanyaku balik.

Shinta memberikanku sebuah bingkisan yang cukup transparan. Jam tangan?

“Makasih ya. Aku pikir kamu gak mau nganter gara-gara ngambek abis ku tolak.” Lanjutku dengan bercanda.

“Sebenarnya ngambek. Tapi aku belum ngasih kamu apa-apa. Jadi aku bawain ini buat kamu.” Lanjut Shinta dengan wajah yang sedikit jutek.

‘Cup’

Shinta mengecup pipiku. Aku hanya terdiam karena terkejut dengan apa yang dilakukan Shinta.

“Kalau kamu sudah bisa membuka hatimu, kembali kesini ya.” Lanjut Shinta dengan ekspresi yang sangat manis.

Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalaku.

“Ya udah. Hati-hati ya Nji.” Kata shinta lagi yang tersenyum padaku.

Aku pun tersenyum lalu membalikkan badanku dan berjalan ke petugas pemeriksa tiket. Setelah tiketku diperiksa, aku masuk ke ruang tunggu penumpang. Entah kenapa langkahku tiba-tiba terasa sangat berat. Seperti ada yang memaksaku untuk berhenti. Apa aku masih ingin lebih lama lagi di kota ini? Tidak. Urusanku di kota ini sudah selesai. Tapi apa yang membuatku berat untuk melangkah saat ini? Apa ada seseorang yang memperhatikanku? Aku segera menoleh ke belakang. Aku hanya melihat Shinta yang berjalan pergi dari tempatnya semula. Aku pun kembali menoleh ke depan. Entah kenapa aku masih kesulitan menggerakkan kakiku. Aku kembali menoleh ke belakang dan aku melihat Amel berdiri di posisi yang sama dengan Shinta tadi. Ia tidak memanggilku. Ia hanya tersenyum dan mengangguk padaku. Namun tak lama kemudian senyum itu hilang dari wajahnya dan ia terlihat sangat kebingungan lalu berbalik dan pergi dari tempatnya berdiri tadi. Aku hanya dapat tersenyum melihat itu semua. Mungkin benar meskipun di dalam ingatannya tidak ada namaku, tapi  jauh di dalam hatinya masih ada namaku. Dan aku pikir aku tahu jawaban yang akan ia katakan padaku. Ia juga mencintaiku. Sama seperti aku mencintainya. Terimakasih Amel. Terimakasih atas kenangan yang telah kita buat bersama selama ini. Dan terimakasih karena kamu juga mencintaiku.

‘TTTTTTTTTTEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTT’

Kereta berangkat dan membawaku pergi meninggalkan Bandung.

***Selesai***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Super Hero StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang