Chapter 10

2.7K 75 2
                                    

Sejak kejadian sobeknya buku catatanku, sudah semakin jelas Max mem-bully ku habis-habisan. Sepatuku hilang ketika aku menaruhnya diloker karena aku ada pelajaran olah raga yang materinya adalah berenang.

"Emma, kau tau dimana sepatuku?" Tanyaku pada Emma

"Aku gak tau Jaz. Bukannya tadi kau simpan di lokermu?"

"Iya. Aku masih ingat kalau aku tadi menyimpannya di loker, tapi kenapa sekarang gak ada?"

"Ayo kita cari sama-sama"

Kami pun mencari sepatuku. Dari semua loker cewek hingga cowok. Aku tak memberi tahu guruku karena aku tak ingin masalah ini lebih besar.

Untung saja, pelajaran olah raga yang terakhir. Kalau tidak anak-anak pasti sudah menertawakanku karena aku gak pakai sepatu.

Pada akhirnya aku pulang ke rumah tanpa sepatu. Kakiku benar-benar sakit. Aku seperti seorang tunawisma. Sampai dirumah kakiku lecet semua dan esok harinya, aku jalan terpincang-pincang. Aku tau kalau ini pasti kerjaannya Max, tapi aku tak pernah memperdulikannya. Nanti lama-lama dia juga capek sendiri.

"Kau kenapa jalan pincang seperti itu mrs. Byrne? Kemarin tidak memakai sepatu ya waktu pulang ke rumah?" Ucap Max dengan suara keras. Pada akhirnya satu ruang kantin tertawa karena mendengar ucapannya.

"Kau!!" Ucapku geram. Aku pun berjalan keluar dari kantin dengan pelan. Aku mendengar dia tertawa terbahak-bahak dengan teman-temannya

Hal lainnya yang dilakukan oleh Max, aku dikunci dari luar di kamar mandi sepulang sekolah

"Shit! Siapa yang kunci aku dari luar?!" Teriakku. Tak ada yang menjawabnya. Tapi aku mendengar suara tawa seorang laki-laki.

"Max, aku tau itu kau yang melakukan ini semua. Please buka pintunya" aku memohong padanya.

"Buka aja sendiri kalau mau. Aku duluan. Bye Jazmyn"

"Max!! Max!!" Suaraku semakin meninggi. Dia sepertinya sudah tak ada di depan pintu. Akhirnya aku menghubungi Eleanor untuk kembali ke sekolah dan membukakann pintu kamar mandi.

Dan yang terakhir, Max tau kalau aku memiliki rambut berwarna ungu, dan sejak saat itu anak-anak memandangku aneh.

Bagi mereka (murid-murid di sekolah ini), anak yang mencat rambutnya, itu sama aja dia memiliki hidup yang buruk atau dia sudah bosan dengan hidupnya a.k.a pernah melakukan bunuh diri. Padahal kenyataannya aku tak pernah mencoba bunuh diri. Never!

"Oh ternyata Mrs. Byrne memliki rambut berwarna ungu. Sudah bosan dengan hidupmu, mrs?" Ucapnya dengan nada mengejek. Mukanya dekat sekali dengan mukaku. Mukanya sekarang berubah menjadi datar. No expression. Aku mulai menitihkan air mata, aku tutup mukaku dengan telapak tanganku untuk beberapa saat. Ketika aku sudah bisa mengontrol emosiku dan tangisku, aku mendorong bahu Max dengan semua kekuatanku, dia terperanjat kebelakang dan berdiri ditempat asalnya. Aku tak tahan dengan ini semua. Aku benar-benar muak. Aku selalu menghindar dari keberadaan Max sejak kejadian itu.

Setiap kali aku bertemu dengannya dikoridor, aku akan berjalan lebih cepat, dan menunjukkan ekspresi bahwa tak ada siapa-siapa didekatku. Datar sekali.

Tapi yang semakin aneh, orang misterius yang menolongku a.k.a my life saver semakin sering mengirimku sesuatu. Mulai dari boneka, gelang, coklat , dan barang-barang antik lainnya yang aku tak tau namanya apa. Dan yang terakhir bunga lilly. Aku sangat suka bunga lilly.

Tanpa sengaja aku melihat Max berada di depan lokerku sepulang sekolah. Ngapain dia? Suasana sekolah sudah sepi karena bel sudah berbunyi setengah jam yang lalu.

Aku pun melihatnya dengan sembunyi-sembunyi. Dia memasukkan sesuatu. Sebelum dia beranjak pergi, aku memanggilnya

"Max!"

Dia terlihat gugup setelah aku mendatanginya.

"Kau ngapain di sini?" Tanyaku penuh selidik. Aku langsung membuka lokerku dan menemukan kado dengan cover sama yang selalu diberikan oleh 'my life saver'. Aku pun terkaget.

"Kau ternyata..." Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku menutup mulutku dengan tanganku

"Yeah, I'm your life saver Jaz"

"Gak mungkin!"

"You see Jaz"

"Tapi kenapa kau begitu jahat padaku Max?" Tanyaku

"Karena aku ingin" jawabnya enteng.

"Apa salahku hah?!" Aku membentaknya namun juga tak terasa air mataku jatuh

"Kau masih belum sadar juga? Kau mempermalukanku di depan anak-anak dengan menolak perkenalanku"

"Its not a big deal, Max"

"Its a big deal!" Teriaknya padaku. Aku semakin takut padanya. Aku mundur selangkah ke belakang. Gelang itu, ya aku harus mengembalikan padanya.

"Kau simpan saja gelang itu. Aku tak sudi memakai gelang itu setelah kau pakai" ucapnya ketika aku mulai melepas gelang itu.
Ya Tuhan, kasar sekali perkataannya. Ucapnya lalu meninggalkanku. Aku jatuh terduduk dan menangis sepuasnya.

Ternyata cowok yang selama ini aku cintai, my life saver itu adalah Max.

Max's POV

Aku tak tega melihatnya menangis. Aku ingin sekali memeluknya. Tapi rasa gengsiku lebih besar. Aku tau kalau itu bukan masalah besar tentang penolakannya waktu itu. Aku hanya melakukan ini untuk have fun. See?

Max's POV end

----------------------------------------------------------------------------------------------------

the right pic is when ekspresi Max ketika mukanya berada dekat sekali dengan Jazmyn. datar sekali bukan?

Bad Boy vs Good GirlWhere stories live. Discover now