Chapter 1

218 22 0
                                    

Hari ini hari sabtu, waktunya full time buat mikirin cerita yang nantinya akan aku bukukan menjadi sebuah novel. Nantinya... maksudku tau deh kapan? Hari Sabtu dan minggu selalu aku sempatkan untuk menulis cerita sekedar menuangkan penatku yang sudah bagaikan bukit menjulang. Ini semua karena skripsi sialan ku itu. Aku sudah mengulang skripsi-ku hampir 4 kali dengan ini. Bagaimana aku tidak membencinya?

"Hihhhh" memikirkan itu aku jadi bergidik ngeri sendiri.

Habis memikirkan itu aku jadi lapar. Aku menutup laptop-ku dan bangkit dari tempat duduk-ku menuju dapur untuk mengambil sereal yang biasa aku taruh di lemari kulkas. Aku mengambilnya dan menuangkannya beserta susu full cream kedalam mangkuk. Aku kembali duduk di tempatku semula dan mulai makan sambil sesekali melihat ke layar ponselku.

Aku menghabiskan sereal itu hampir tidak tersisa sedikit pun. Aku sangat lapar, semalam sehabis aku menjenguk ayah di rumah sakit aku tidak sempat makan dan langsung tertidur. Ayahku memang sedang sakit dan kini sudah menginjak tahun ke-4 ayah mengidap penyakit alzheimer.

Alzheimer merupakan sejenis sindrom apoptosis sel-sel otak dimana penderita sering merasa lupa pada hal-hal disekitarnya terkadang bisa sampai orang terdekatnya. Penyakit ini memang biasa terjadi karena faktor umur tapi berbeda dengan ayah, ini terjadi karena ayah depresi berat.

Ayah terkena depresi setelah tahu ibuku meninggal dunia. Saat itu aku, ibu dan ayah sedang mengunjungi rumah sahabat ayah di daerah Bandung sedangkan kami tinggal di Jakarta. Ayah bilang dia sangat berhutang budi pada sahabatnya karena telah membantu ayah dalam pembukaan restaurant-nya yang kini telah membuka cabang sebanyak 7 kali di daerah jakarta dan bandung.

Ayah baru belajar tentang bisnis dan mulai mencobanya sekitar 3 tahun yang lalu sebelum kecelakaan ini terjadi dan penyakit ayah yang membuatnya tidak bisa lagi mengurus resturant-nya. Dan kini beliau berhasil, meski belum terkesan banyak tapi untuk ukuran pembisnis baru sangatlah bagus kata ayah.

Tapi ternyata takdir berkata lain, mobil yang dibawa ayah olek ke samping kanan dan terbentur ke trotoar jalan tol. Saat itu aku tak sadarkan diri hampir satu minggu dan harus meneguk kabar pahit bahwa ibuku meninggal pada kecelakaan itu dan ayahku terkena depresi.

Saat itu aku menangis sejadi-jadinya, tak ada lagi tempatku untuk berkeluh kesah. Tidak ada lagi sosok wanita yang selalu memotivasi-ku, memarahi-ku, dan menasihati-ku. Dan ayahku? dia harus tinggal di rumah sakit. Ayah bilang hanya sementara, sampai keadaaannya mulai membaik. Ayah selalu berpura-pura baik di hadapanku walau sebenarnya aku tahu tidak ada yang baik dengan ayah.

Memikirkan itu membuatku benar-benar sedih dan aku jadi sangat merindukan ayah, padahal baru saja semalam aku kesana. Hari sabtu ini lebih baik aku menghabiskan waktuku di rumah sakit untuk menemani ayah. Soal cerita, aku akan membuatnya nanti malam.

$$$

Saat ini aku sudah berada di rumah sakit untuk bercanda gurau bersama ayah. Aku sudah membawa makanan kesukaan ayah -cumi asam manis ala Radeeca Ghilda Rurajandra.

Tadinya memang aku ingin ke kantin rumah sakit dulu, sekedar membeli minum untuk ayah. Tapi kulihat ayah sudah duduk bertengger disalah satu meja kantin. Aku langsung menemui ayahku yang sedang asik memainkan kartu remi miliknya.

"Ayah, sejak kapan duduk disini? Ayah kok gak dikamar? Pasti ayah bosan ya?" tanyaku pada ayah.

"Loh sejak kapan gadis ayah disitu?" tanya ayah padaku tanpa menjawab pertanyaanku terlebih dahulu.

Aku sedikit lega karena ayah masih mengingat ku sebagai anak gadisnya. Dokter pernah bilang padaku kemungkinan besar penderita alzheimer akan lupa pada seseorang disekitarnya.

"Ayah lihat dulu dong Disa bawa apa?" kataku bersemangat sambil menunjukkan kantong kresek yang berisi masakan ala kadarku. Jangan salah masakanku itu sangat enak.

"Sate ayam?!"

"Bukan ayah, ini cumi asam manis. Apa ayah lupa? Ini makanan kesukaan ayah, dulu ayah selalu bilang 'cumi asam manis itu makanan yang enak'" kataku berusaha mengingatkan ayah.

"Maksud ayah itu, kamu ini ayah kan hanya bercanda" ayah tertawa pertandakan bahwa ayah benar-benar hanya bercanda. Tapi aku tahu ayah hanya berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Aku sedikit khawatir dengan ayah, ayah lupa dengan makanan kesukaannya. Apa penyakit ayah bertambah parah? Tapi aku tetap harus bersyukur setidaknya ayah masih mengingat aku sebagai anak gadisnya.

"Ayah mau Disa suapin tidak?"

"Kamu pikir ayah ini anak kecil, kamu selalu saja menghabiskan waktu untuk kerumah sakit. Ayah tuh pengen gadis ayah satu-satunya ini cepat-cepat menikah. Ini punya pacar saja tidak" omel ayahku.

Aku hapal betul apa yang ayah omeli, pasti tidak jauh-jauh dengan 'Kamu kapan punya pacar Dis' selalu seperti itu. Hal itu membuat aku lelah untuk menjawabnya. Bukan karena apa, aku memang tidak punya pacar dan aku punya duniaku sendiri. Lagipula aku masih muda dan untuk soal menikah, astaga aku tidak menginkan menikah diusiaku 22 tahun ini. Aku tidak ingin hidup melarat setelah menikah. Kalian tahu kan aku saja belum lulus kuliah bagaimana aku nantinya menjalani hidup. Oh tidak!

"Ayahhh! Kan Disa juga masih kuliah, lagian Disa juga masih muda ayah baru 22 tahun!"

"Seorang ayah pasti ingin melihat anak gadisnya menikah dan bahagia Disa begitu pun ayah"

"Ayah selalu takut jika sewaktu hari ayah tidak bisa mengantarmu ke pernikahanmu nanti, ayah akan merasa lega jika kamu telah menikah Dis" lanjut ayah.

"Ayah bicara apa sih! Itu tidak mungkin terjadi yah"

Aku tidak suka saat ayah berbicara seperti itu, aku tidak suka saat ayah berbicara bahwa ia takut tidak bisa melihatku lagi. Apa maksudnya? Cukup dengan ibu meninggal dan ayah yang sakit seperti ini aku merasa sangat terpukul. Aku tidak ingin kehilangan ayahku. Setidaknya jangan bicara seperti itu karena setiap perkataanmu adalah doa begitu yang kutahu dari Ibuku. Sama dengan aku sesederhana itu mau ku.

"Karena kita tidak akan pernah tahu akan takdir hidup kita Dis. Ayah juga tidak menginginkannya tapi bagaimana jika takdir menginginkannya?"

Perkataan ayah menusuk tepat ke ulu hatiku, apa takdir hidupku sejahat itu?

"Ayah Disa janji suatu saat nanti di hari yang paling bahagia, pernikahan Disa. Pasti ada ayah disamping Disa, ayah hanya perlu berjanji pada Disa"

"Maafkan ayah Dis"

"Ayah ayo makan" aku membuka kotak bekal yang sudah kusiapkan dari rumah untuk ayah. Aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan ayah.

---------------

AnnoyanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang