Chapter 3

146 19 3
                                    

Pagi-pagi begini aku masih setia tidur didepan laptop dengan kacamata yang sudah turun ke hidungku. Semalaman aku menghabiskan waktu didepan laptop untuk menulis cerita yang akan aku bawa ke penerbit nanti siang dan aku benar-benar kerja keras menyelesaikan ceritaku ini dan baru tertidur pukul 2 pagi.

Dan sekarang aku baru bangun jam 11, jika ayah tau anak gadisnya baru bangun jam segini bisa kena amuk masa aku. Oh tunggu..............

"Sial! Kalau begitu aku telat dongggg" aku merutuki diri sendiri.

Dasar ceroboh aku niatnya akan ke penerbit jam 10, sekarang sudah lewat satu jam.

Aku bangkit dari tempat dudukku sekaligus tempat tidurku jika aku ketiduran dan langsung menuju ke kamar mandi. Tidak perlu waktu lama untuk mandi cukup 5 menit dan aku sudah selesai, mandi bebek.

Aku memakai sweater berwarna hitam yang kubeli di Yogya tahun lalu dan juga celana panjang berbahan jeans. Rambutku yang panjang ku ikat cepol mengurangi panas Jakarta yang sangat terik dan menyilaukan. Aku juga tidak lupa memakai kacamata hitam untuk menghindari radiasi saat terkena cahaya matahari. Padahal aku pakai mobil tapi tak apa menjaga kesehatan mata itu baik.

Setelah selesai dengan urusan mandi, berpakaian dan beberes rumah serta menyusun kertas yang akan aku bawa kepenerbit. Aku langsung menyalakan mesin mobil dan melesat keluar rumah.

Sudah hampir lima penerbit aku kunjungi tapi tidak ada satu pun yang menerima ceritaku. Mereka bilang ceritaku tidak bermutu, mana ada yang mau beli, tulisannya acak-acakkan. Aku jadi emosi sendiri. Heh, mereka pikir mudah apa bikin cerita. Butuh ide, penghayatan, perasaan dan kejelian, terus seenaknya saja mereka bilang ceritaku tidak bermutu, jelek, acak-acakkan. Setidaknya mereka harus menghargai seorang penulis dong.

"Tulisan macam apa seperti ini? Apa kamu tidak mengerti tentang tata bahasa dan penggunaan EYD?"

"Ya Tuhan kalau aku terbitkan ini apa ada yang menjamin untuk membelinya"

"Konfliknya aneh sekali, alurnya berantakan, aku tidak merasa dapat feel dicerita ini"

Cukup sudah aku menerima berbagai celotehan yang dikeluarkan para penerbit. Kalau memang mereka tidak ingin menerbitkan ceritaku aku terima dengan sangat. Tapi tak bisakah untuk tidak mengejeknya?

Satu-satunya penerbit terakhir yang akan aku kunjungi sekarang adalah penerbit yang dulu sering aku datangi, PT. Indah kata. Mereka juga sama saja sering menolak ceritaku. Tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja. Seorang penulis itu tidak mudah menyerah. Mereka akan terus berusaha mempersembahkan karya mereka.

Sekarang aku baru saja sampai di gedung penerbit PT. Indah kata, berharap ceritaku akan diterima dengan baik. Aku sering kesini dan sering juga ceritaku ditolak. Mereka bilang aku masih harus belajar menulis lagi. Dan sekarang aku datang dengan cerita baruku.

"Mba Fian aku mau kirim cerita baruku, mungkin Mba Fian berniat untuk membukukannya" kataku pada Mba Fian selaku penerbit PT. Indah kata yang sekarang berada diruangan tempat Mba Fian bekerja.

Aku memang sudah kenal dengan Mba Fian, kan aku sudah bilang. Aku sering kesini dan ceritaku sering ditolak. Jadi Mba Fian hafal betul dengan wajahku yang cantik ini.

"Mba harap ceritamu tidak mengecewakan Dis" kata Mba Fian padaku.

"Tenang saja Mba, Mba kan yang menyuruhku untuk belajar menulis lagi. Aku belajar terus dan sekarang akan mempersembahkan hasil tulisanku heheh" kataku sambil nyengir kuda.

Mba Fian sepertinya masih sibuk membaca tulisanku itu. Jadi aku lebih baik diam saja. Aku yakin kali ini pasti berhasil, meskipun sudah ditolak 5 kali oleh penerbit yang lain, tetap saja yang sekarang pasti aku akan berhasil.

1

2

3

"Disa, bagaimana kamu mau mba terima kalau ceritamu seperti ini. Dis kamu tuh harus memerhatikan setiap kata yang kamu buat. Ini sih banyak typo dan acak-acakkan. Ceritamu sama saja seperti yang lama hanya beda nama tapi satu topik. Kamu tuh Dis, gimana sih! Mba kira kamu bener-bener udah belajar menulis yang benar" kata Mba Fian geram sendiri padaku.

Baru saja aku yakin bahwa cerita ku akan berhasil. Lagi, lagi dan lagi malah di tolak mentah-mentah.

Aku hanya bisa menundukkan kepalaku mendengar celotehan dari Mba Fian pasalnya aku sudah 6 kali ke kantor penerbit Mba Fian dan semuanya ditolak dengan alasan ceritaku sama saja seperti yang sebelumnya dan tidak pernah ada perkembangan. Aku jadi sedih sendiri.

"hahahaha tulisan macam apa ini? Acak-acakkan ngga jelas lagi" kata laki-laki yang sama sekali tidak aku ketahui namanya.

Laki-laki itu ketawa ketiwi sendiri melihat tulisanku. Padahal isi tulisanku itu penuh dengan kesedihan tapi kenapa sekarang ia malah ketawa. Mana pakai acara ngejek-ngejek tulisanku lagi.

"Heh! kalau punya mulut dijaga dong. Tulisanku memang jelek, acak-acakkan, tidak jelas, tapi bisakan hargai tulisanku, gak usah ketawa-ketawa! Memangnya ada yang lucu?!" kataku penuh dengan emosi. Seenaknya saja dia ketawain ceritaku.

Aku langsung merebut ceritaku dari tangannya dengan kasar.

"Loh kamu kok asal masuk aja sih, baca-baca cerita orang lagi!!" omel Mba Fian pada si laki-laki yang tidak ku ketahui nama dan asalnya dari mana. Memangnya enak rutukku dalam hati. Siapa yang tidak takut jika dimarahi Mba Fian. Aku saja tidak bisa bergeming melihat sorot mata Mba Fian saat memarahiku tadi.

"Lagian tadi Mba sibuk marah-marah sama si penulis yang karyanya gak jelas ini" apa yang dia katakan barusan? Aku ingin sekali melemparnya dari muka bumi yang indah ini.

"Apa-apaan kamu?! Tidak jelas bagaimana?! Ada juga kamu tuh yang tidak jelas, masuk-masuk gak jelas! Ketawa gak jelas! Muka gak jelas! Dasar gak jelas!!!" kataku emosi padanya. Siapa yang terima karyanya dihina? Aku? Jelas tidak terima.

"Kenapa?! Memang tulisanmu itu tidak jelas! Enak saja kamu bilang aku tidak jelas, memangnya kamu tidak kenal aku?! Hm?"

"hhh dasar sombong! Kamu pikir kamu siapa?!! Perdana menteri, artis papan atas?! Bukan kan?"

"ohh jadi kamu benar-benar tidak kenal saya?" lak-laki itu memicingkan matanya.

"Ya jelas lah aku tidak kenal kamu, orang sombong begini mana ada yang mau kenalan!" jawabku menantang.

"Oh ya?" katanya sembari menunjukkan senyumannya. Senyum yang menjengkelkan, apa-apaan dia! Memang senyumannya itu bagus, melihatnya saja sudah membuatku muak setengah ember.

Aku benar-benar sudah geram dengannya. Pengen aku cakar-cakar aja rasanya. Hih dasar sombong!

"Heh sudah-sudah! Kalian berdua ini, apa-apan sih. Ini tuh gedung penerbit bukan gedung adu argumen" kata Mba Fian menengahi konflik antara aku dengan laki-laki itu.

"Mba sepertinya aku harus pulang. Maaf Mba mungkin aku udah ngecewain Mba atas tulisanku ini. Kalau begitu aku permisi Mba" pamitku pada Mba Fian.

Kalau terus disini kepalaku bisa pecah mendengar laki-laki menjengkelkan itu menyombongkan dirinya.

"Dis Mba nggak bermaksud buat kamu pesimis begini, Mba cuma mau kamu lebih baik lagi jadi seorang penulis"

"Mba tenang aja, aku udah lama kenal Mba Fian. Mba Fian baik selama ini, masih memberi nasihat atas tulisanku. Jadi aku pamit pulang dulu ya Mba" kataku pada Mba Fian.

Sebelum pergi aku tidak lupa memberikan tatapan tajam pada laki-laki itu. Seenaknya saja sih bilang tulisanku tidak jelas. Yang ada dia yang tidak jelas.

Dia malah membalas tatapan tajamku dengan tatapan tajam juga. Hih dasar bukannya minta maaf malah nambah nantangin. Sayangnya aku tidak mau mati muda-muda karena terserang penyakit darah tinggi. Jadi lebih baik sebelum emosiku memuncak, aku harus cepat-cepat pergi dari ruangan ini.

"Mba aku pulang dulu" pamitku sekali lagi pada Mba Fian.

"Sudah pulang! Kenapa masih disitu? Apa sudah ingat bahwa aku ini siapa?" heh apa-apaan dia, mengingat apa. Aku mengerutkan dahiku bingung. Siapa dia? Lihatnya aja baru sekarang.

"Kamu ini!" omel Mba Fian pada laki-laki iti.

"iya Dis, hati-hati dijalan" ujar Mba Fian padaku yang kubalas anggukan dan senyuman.

----------------------------

AnnoyanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang