"Ta, gua gak salah dengerkan tadi? Loe bilang, loe jadian sama Rudolf? Orang yang sering jailin loe? Orang yang selalu bikin loe naik darah? Orang yang selalu loe mak---"
"Iya," potongku cepat, tidak ingin mendengar apapun lagi.
Sinta –sahabat sejak kecil, yang setia dengan poni dora, rambut dark brown sepunggung lebih yang selalu di curly, dengan mata sedikit lebar, hidung mungil, kulit kuning langsat- menghela nafas lelah, matanya menatapku tajam yang kuhindari. Aku tau arti tatapan itu, aku tau dia ingin tau lebih banyak kenapa aku bisa menerima cinta Rudolf, padahal kemaren aku menolak pemuda itu mentah-mentah, dan sekarang aku bercerita kalau aku sudah jadian sama Rudolf, orang yang selalu menjailiku, mengusiliku sampai aku menangis, orang yang selalu memperlakukanku semena-mena, orang yang kubenci sepenuh hati, kini aku berpacaran dengannnya. Wow, betapa indahnya dunia.
Kuhempaskan tubuhku di ranjang Sinta, menatap langit-langit kamar Sinta hampa. Aku hanya bisa berharap, semoga keputusanku kemaren benar.
"Gua tau ada yang loe sembunyiin dari gua, Ta. Loe gak mungkin nerima Rudolf gitu aja, secara ini Rudolf loeh, Rudolf! Orang yang selalu jailin loe. Kalo loe nerima cinta kak Fauzan, mungkin gua bakal percaya gitu aja, tapi ini permasalahannya Rudolf! Cowok sarap yang selalu jailin loe, dari SD sampe kuliah. Apa loe ke sambet setannya Suzana?!"
Aku terkekeh mendengar perkataan Sinta, memiringkan tubuh, menatap Sinta yang masih menatapku dengan heran.
"Gua gak lagi ke sambet sentannya Suzana atau si manis jembatan ancol. Gua sadar se sadarnya waktu nerima cinta Rudolf." Kataku geli. Kembali menelentangkan tubuh.
"Rudolf kan Playboy, loe paling anti sama cowok Playboy bukan? Trus kenapa loe malah nerima dia?" tanya Sinta yang masih terlihat tidak rela aku jadian sama manusia bercula lima belas itu.
Getaran di ponselku mengintrupsi jawaban yang ingin kuberi sama Sinta, meraih handpohone yang tergeletak begitu saja di nakas Sinta, membuka pesan yang ternyata dari Rudolf.
'Gua jemput sekarang, gua udah pulang dari rumah Ranti.'
Kepalaku menoleh dan tersenyum manis, duduk di ranjang king sizenya yang ber seprai hello kitty.
"Sori ya, gua harus balik sekarang, Rudolf udah pulang dari rumah Ranti." Kataku berdiri, berjalan menghampiri rancel yang tergantung di kamar Sinta.
"TUHKAANN!!" teriaknya heboh.
Aku terkekeh, mencangklongkan rancel di kedua pundakku.
"Dia udah pacaran sama loe aja masih deket-deket sama tuh nenek sihir satu yang notabandnya mantan tersayang dia. Loe yakin mampu ngejalanin hubungan yang absurd kayak gini? Please deh Ta, loe itu satu-satunya sahabat yang gua punya, gua gak mau lihat loe nangis bombay karena cowok sarap satu itu." Kata Sinta berjalan ke arahku, mengguncang tubuhku, se olah ingin menyadarkanku yang lagi kerasukan setan.
"Gak usah lebay juga kali Sin, se jahat-jahatnya Rudolf, dia gak mampu liat gua nangis. Loe inget? Dulu dia sering jailin gua sampe gua nangis, tapi dia juga yang nenangin gua kan? Loe tenang aja deh, ini jalan yang terbaik dari jalan terbaik lainnya." Kataku menyakinkan, menepuk kedua pundaknya beberapa kali dan melenggang pergi dengan senyuman manis.
Sinta tidak perlu tau ke napa aku menerima Rudolf, dia tidak perlu tau cinta terlarang ku yang menjijikan. cukup aku, tuhan dan om Andre yang tau. jangan sampe ada orang tau lagi. kalau itu sampai terjadi, aku tidak tau mau taruh mana mukaku ini.
"Siang Nte, aku pulang dulu ya Nte," pamitku pada perempuan paruh baya yang sedang berkecimpung di dapur. Rambut hitam bergelombangnya di ikat tinggi-tinggi, wajah bulat dan mata sedikit besar mirip Sinta tersenyum tipis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ajarkan Aku Mencintaimu
Teen Fictionmencintai seseorang bukanlah hal yang sulit, yang paling sulit itu membenci orang yang kita cintai sepenuh hati, mencoba melupakannya meski kenyataanya kita masih dan terus mengingatnya, membayangkannya, mengharapkannya untuk selalu di sisi kita. T...