Pagi ini suasana di kampus terasa berbeda. Aku bukan orang yang mudah membaca suasana, tapi hari ini memang terasa berbeda. Aku merasa di telanjangi bulat-bulat oleh semua anak di fakultasku. Mereka melakukannya secara terang-terangan. Berbisik sambil menunjukku, itu yang membuatku yakin kalau mereka memang sedang membicarakanku.
Sebetulnya aku tidak perduli dengan tingkah anak di kampus, toh selama ini juga aku tidak terlalu peduli dengan mereka, dan entah kenapa hari ini aku benar-benar terusik, mereka bukan menelanjangiku secara harfiah, tapi juga ingin membunuhku. Dimanapun aku melangkah, selalu ada mahluk yang ingin memakanku mentah-mentah.
Ku gelengkan kepala, mencoba berpikir logis, mereka tidak mungkin seperti itu, itu hanya prasaanku saja. Aku bukan cewek popular di kampus, aku juga bukan cewek cerdas yang mendapat beasiswa. Wajahku biasa saja, kata orang manis, tapi aku bukan gula! Jadi aku tidak manis. Hidungku pas-pasan, sama seperti mataku. Bingung? Aku juga bingung. Tinggi badanku cukup lumayan, 170 cm, lumayan tinggi untuk orang indo. Dan kulitku kuning langsat khas orang jawa. Nothink special about me. Semuanya standart.
Selama dua tahun aku kuliah, tidak pernah ada yang memandangku, mereka mengenalku saja mungkin tidak. Why? Karena aku kurang pandai bergaul, sahabatku bisa di hitung pakai jari. Mereka masih betah di dekatku saja itu hal yang cukup mengagetkan.
Kata orang, omonganku sarkas, suka bertindak semaunya, ceroboh. Dan yang paling menonjol, moody-anku yang tidak bisa terkontrol. Aneh kan? Ya, aku memang aneh. Mama saja selalu marah-marah kalau aku di rumah, katanya aku selalu ngancurin apapun yang ada di dekatku. Sedikit lebay memang. Tapi yah, itulah mamaku.
"Ita!!" panggil suara yang kuhapal dengan cempreng. Dua orang yang mempunyai suara cempreng di sekitarku, kalau bukan Joana ya Jeana. Mereka kembar, tapi wajah mereka tidak ada kembar-nya sama sekali. Kata mereka itu Fraternal. Jika aku menjelaskan apa itu Fraternal bisa satu buku hanya untuk membahas hal ini.
Aku menoleh kesamping, melihat siapa yang memanggilku, Jeje, atau Jeana si biang rusuh yang entah kenapa kita bisa bersahabat, padahal sifat kita bertolak belakang. Jauh di belakang. Kalau di ibaratkan transportasi, Jeje itu kereta brisik, dan aku speda ontel. Perumpamaan yang menyebalkan.
"Hm," sahutku acuh dan kembali berjalan.
"Loe beneran pacaran sama Rudolf?"
Kakiku sontak berhenti, kepalaku menoleh kearah Jeje bingung, prasaan aku belum memberitahu dia tentang ini. Apa Sinta? Tapi Sinta mulutnya tidak pernah bocor kok selama ini, dia amanah orangnya. Tapi kalau bukan Sinta, siapa? Gak mungkin Rudolf-kan yang ngasih tau?.
Jeje masih menatapku penasaran, keningnya berkerutan seolah tidak mengerti, tatapan matanya menandakan hal yang aneh, hal yang tidak aku mengerti apa itu.
"Loe tau darimana?" sadar kalau Jeje itu bukan Sinta yang mudah menebak jalan pikiran orang, aku memilih menyuarakan apa yang ada di otak.
"Anak-anak pada gossip." Jawabnya acuh sambil menjuding kebelakang, "Jadi itu bener, Ta? Kok bisa? Bukannya loe gak suka sama Rudolf? Loe bilang loe sebel sama dia, terus kenapa loe jadian sama dia?" runtutan pertanyaan Jeje membuatku menghela nafas.
"Satu-satu, Je." Kataku acuh dan kembali berjalan.
Jeana menggelengkan kepala, raut wajahnya menunjukan ketidak puasan. "Jawab yang mana aja dulu, yang penting JAWAB!" katanya memaksa dan menekan di akhir kalimat.
Aku menghela nafas. Terserahlah. "Iya."
Mataku melirik kearah Jeje yang sedang mengerutkan kening, matanya menatapku menuntut.
"Kok bisa?"
"Kenapa gak bisa?"
"Bukannya loe bilang benci sama Rudolf?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Ajarkan Aku Mencintaimu
Teen Fictionmencintai seseorang bukanlah hal yang sulit, yang paling sulit itu membenci orang yang kita cintai sepenuh hati, mencoba melupakannya meski kenyataanya kita masih dan terus mengingatnya, membayangkannya, mengharapkannya untuk selalu di sisi kita. T...