Bumi sedang menangis, sejak tadi pagi langit sudah menumpuhkan air matanya, memberi tahu warga bumi kalau mereka sedang berduka.
Ku ketuk kaca rumah tanpa minat, pandanganku focus menatap rintikan hujan dengan tatapan menerawang. Dulu saat papa masih sibuk dengan dunianya sendiri, dulu saat aku berpikir kalau papa membenciku, dulu ya dulu sekali, kejadian yang membuat hidupku terasa berbeda, lebih berwarna dan bermakna.
Bibirku tersenyum kecil mengingat hal dulu, saat hujan, papa mencariku karena keluar apartemen tanpa pamit, aku marah sama papa, karena melupakan janjinya untuk datang ke sekolah yang sedang melaksanakan pameran. Saat itu aku bertemu wanita yang kupikir mama kandungku, karena wajah mereka sama, dan yeah sekarang dia menjadi mama ku. Orang penting dalam hidupku.
Membahas masalalu tidak akan pernah ada habisnya, mengingat itu secara spontan aku mengingat Rudolf. Masih ingatkan kita berteman waktu masih kecil?.
Waktu itu aku baru pulang sekolah kehujanan dan jatuh sakit, sedangkan pas di hari itu mama serta papa sedang ke luar kota, aku tidak ikut karena sedang menghadapi UN sekolah dasar. Seharusnya ada nenek di rumah, tapi beliau sedang tidak ada, entah pergi kemana.
Aku masih ingat dengan jelas, waktu itu aku sakit di rumah yang sepi, di rumah ini tidak ada bibi karena mama tidak suka. Dan entah secara kebetulan atau memang takdir, Rudolf mampir ke rumahku dan melihatku yang meringkuk kedinginan di sofa.
Baju sekolahku masih melekat sempurna, karena memang aku belum berganti baju, kepalaku mendadak pusing kala itu. Dan aku pun masih ingat dengan jelas ekspresi Rudolf yang panic luar biasa, dia menjerit memanggil mamanya seperti anak gadis melihat bangkai tikus.
Aku tersenyum geli mengingat hal itu. Tidak terasa sekarang semuanya sudah berubah, Rudolf mungkin melupakan hal itu, tapi aku tidak, itu adalah kenangan manis. Kalau dulu Rudolf tidak mampir ke rumah mungkin sekarang sudah berbeda, aku pasti sudah terkubur dalam tanah karena hipotermia.
"Loe kenapa senyum-senyum sendiri kayak orang gila gitu, It?"
Jantungku berhenti berdetak sedetik dan kemudian berdetak lebih keras dari sebelumnya. Nafasku tercekat. Dengan kesal kepalaku menoleh kebelakang, melihat Rudolf sedang menatapku heran.
"Loe ngapain ngagetin gua, sih?" sentakku kesal bukan main.
Rudolf tersenyum geli. "Gua udah salam dari tadi, nyokap loe aja udah manggil loe berkali-kali, ngasih tau kalau gua datang, eh loenya lagi sibuk sendiri."
Keningku berkerut tidak percaya. "Bohong!"
"Yee... Tanya aja tuh sama tante, lagian loe hujan-hujan ngalamun, kesambet setan hujan tau rasa loe."
Aku mencibir mendengarnya. "Lah loe sendiri ngapain ke sini?!"
Rudolf tersenyum sok cakep dan duduk di kursi sampingku, matanya menatap halaman belakang yang basah terguyur air hujan, daun-daun melambai gembira tertiup angin.
"Gua pengen ngajakin loe hunting." Katanya menoleh kearahku.
Kuputar kedua bolamataku malas. Seharusnya dia tau jawabannya tanpa bertanya.
"Ngapain? Bikin capek aja,"
Rudolf tersenyum geli, matanya melirikku dengan pandangan mencemooh.
"Daripada loe di rumah terus kayak ayam mau bertelur, mending ikut gua, Refreshing."
"Ogah." Tanpa berpikir banyak aku menjawab pertanyaan Rudolf tanpa minat.
"Terus loe ngapain di rumah terus? Dunia ini terlalu indah untuk loe sia-sia in, It."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ajarkan Aku Mencintaimu
Teen Fictionmencintai seseorang bukanlah hal yang sulit, yang paling sulit itu membenci orang yang kita cintai sepenuh hati, mencoba melupakannya meski kenyataanya kita masih dan terus mengingatnya, membayangkannya, mengharapkannya untuk selalu di sisi kita. T...